Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Babak baru hubungan PDIP dan Anies Baswedan terus terjalin dan yang terbaru terlihat di momen HUT Jakarta. Dari rival menjadi sekutu potensial, kerja sama ini bisa membuka jalan koalisi besar 2029 dan bisa saja menjadi alternatif yang signifikan dampaknya.
Dalam momen perayaan HUT Jakarta ke-498, sebuah momen simbolik muncul dari komentar Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Ketika diminta menggambarkan Anies Baswedan dalam satu kata di sebuah program Metro TV, ia menjawab: “Capres.” Sebuah ucapan yang singkat, tapi sarat makna, mengingat sejarah ketegangan politik antara keduanya sejak Pilkada Jakarta 2017. Kini, suasana tampak berbeda.
Sedikit flashback dan sebagai background relasi, kemenangan pasangan Pramono Anung–Rano Karno dalam Pilkada Jakarta 2024 menjadi titik balik penting.
Tak sedikit analis menilai bahwa endorse dan dukungan dari Anies, yang tak dicalonkan dan mencalonkan diri, namun memainkan peran simbolik sebagai kingmaker Jakarta, memberi kontribusi signifikan pada kemenangan pasangan usungan PDIP tersebut.
Momentum ini menjadi sinyal penebal bahwa hubungan PDIP dan Anies telah memasuki babak baru. Dari sebelumnya berada dalam kutub yang berseberangan secara ideologis maupun elektoral, kini keduanya membuka peluang kerja sama menuju Pemilu dan Pilpres 2029.
Dan hal ini tampaknya bukan hanya tentang taktik jangka pendek, tetapi potensi konsolidasi kekuatan politik dalam lanskap yang berubah cepat pasca-Pemilu 2024. Mengapa demikian?
Reposisi Anies-PDIP?
Pasca kekalahan dalam Pilpres 2024, PDIP mengalami tekanan internal dan eksternal. Di internal, bukan tidak mungkin muncul pertanyaan besar mengenai siapa pemimpin masa depan partai setelah Megawati Soekarnoputri dan para pembuat keputusan.
Di eksternal, dominasi pemerintahan Prabowo–Gibran membuat PDIP menghadapi dilema strategis, tetap sebagai oposisi atau bermain cantik dengan merapat ke lingkar kekuasaan.
Untungnya, kemenangan Pramono–Rano di Jakarta adalah salah satu reposisi strategis, PDIP menempatkan tokoh dari lingkar dalam (Pramono) yang juga dekat dengan semua spektrum kekuatan, dan kemudian merangkul endorsement Anies sebagai kekuatan elektoral yang masih kuat di Jakarta. Ini bisa saja menjadi laboratorium kecil untuk skenario 2029.
Sementara itu, Anies Baswedan, pasca kekalahan dalam Pilpres 2024, berhasil menjaga brand politiknya sebagai simbol oposisi intelektual dan representasi suara perubahan.
Dalam teori spatial model Anthony Downs, pemilih rasional akan memilih kandidat/koalisi yang paling dekat dengan preferensi mereka. Anies kini memposisikan dirinya di tengah spektrum, membuka ruang kerja sama dengan siapa pun yang tidak berada dalam orbit penuh pemerintahan.
PDIP, yang sedang menghindari hegemoni penuh Prabowo–Gibran, bisa saja menjadi mitra potensial yang logis.

Simbiosis Politik?
Kerja sama Anies–PDIP memang tampak menjanjikan secara taktis, tetapi masa depan aliansi ini akan sangat ditentukan oleh beberapa variabel kunci.
Pertama, jika PDIP memilih untuk tetap berada di luar pemerintahan dan memainkan peran sebagai oposisi ideologis dan elektoral, maka poros bersama Anies sangat mungkin terbentuk.
Namun jika PDIP mengambil sikap ambivalen atau pragmatis, merapat demi mempertahankan akses kekuasaan, maka kerja sama dengan Anies bisa kembali renggang.
Di sinilah keputusan strategis Megawati dan kandidat kuat penerus Puan Maharani sangat krusial. Jika mereka melihat Anies sebagai jalan tengah untuk menjaga eksistensi PDIP di tengah kekuasaan yang sangat terkonsolidasi oleh Prabowo, maka simbiosis ini akan dijaga.
Namun, jika mereka lebih memilih jalan kompromi dengan lingkaran Prabowo, maka Anies akan ditinggalkan.
Kedua, pertanyaan besar yang belum terjawab hingga pertengahan 2025 adalah siapa yang akan menggantikan Megawati sebagai pemegang kendali politik PDIP.
Jika Puan Maharani naik secara penuh, maka probabilitas kecenderungan strategisnya apakah ia akan melanjutkan gaya konservatif Megawati atau membuka PDIP untuk modernisasi dan kerja sama lintas spektrum?
Jika Puan melihat keberhasilan Pramono–Rano (yang dekat dengan Anies) sebagai model yang bisa direplikasi untuk 2029, maka pintu koalisi akan semakin terbuka.
Tetapi, jika ia melihat hal itu sebagai anomali dan berbahaya untuk fondasi ideologis PDIP, maka kerja sama Anies–PDIP akan menghadapi hambatan internal.
Ketiga, Presiden Prabowo, yang memiliki legitimasi kuat, diprediksi masih akan menjadi kingmaker 2029. Jika ia memutuskan untuk maju lagi, atau mengorbitkan penerus seperti Gibran atau figur militer lainnya, maka akan terbentuk poros kekuasaan baru yang dominan.
Dalam skenario ini, kubu oposisi harus solid dan jelas. Poros Anies–PDIP bisa menjadi alternatif tandingan.
Namun jika Prabowo berhasil merangkul PDIP ke dalam orbit kekuasaannya, maka Anies bisa terisolasi. Oleh karena itu, poros ini hanya mungkin terbentuk jika PDIP benar-benar memosisikan diri di luar kekuasaan Prabowo.
Keempat, meskipun tak lagi menjabat, Jokowi masih memegang pengaruh sebagai another kingmaker.
Jika ia aktif mendorong calon baru yang menjadi representasi legacy-nya (entah Gibran atau lainnya), maka konstelasi politik akan bergantung pada bagaimana PDIP dan Anies merespons arah gerak Jokowi.
Jika Jokowi dan PDIP tetap berselisih secara strategis, maka Anies bisa menjadi tempat PDIP “berteduh” untuk menjaga jarak dari hegemoni kekuasaan Prabowo, maupun Jokowi. Namun, skenario lain jika Jokowi dan PDIP berdamai, maka jalan Anies akan lebih menantang.
Kemenangan Pramono Anung–Rano Karno di Jakarta 2024 menjadi bukti bahwa peta aliansi politik bisa berubah drastis. Dari musuh bebuyutan, kini Anies dan PDIP tampak saling memberi manfaat. Namun, relasi ini tampak masih bersifat fungsional dan transaksional.
Bagaimanapun, andai masih berambisi, Anies membutuhkan partai besar dan jaringan struktural. Sementara di sisi lain, PDIP membutuhkan figur populer yang bisa merangkul segmen pemilih urban, Islam moderat, dan kaum muda.
Dalam dunia politik yang cair, Puan–Anies bisa saja menjadi jawaban atas sebuah poros tandingan kekuasaan yang digerakkan bukan oleh nostalgia ideologi, tetapi oleh kecerdikan membaca zaman.
Jika politik adalah seni kemungkinan, maka poros Anies–PDIP bukan hanya mungkin. Ia mungkin sedang dikerjakan dalam diam dan penuh perhitungan. (J61)