Dengarkan artikel ini:
Presiden Prabowo berencana membangun sekolah khusus untuk anak-anak cerdas-pandai dari kelompok masyarakat miskin: Sekolah Rakyat. Program ini dimaksudkan untuk memberantas kemiskinan dengan memutus rantai warisan kemiskinan turun-temurun dengan menggunakan jalur pendidikan. Ini sebuah warisan penting yang akan diingat dari era Prabowo.
Ada pemandangan yang jarang muncul dari seorang presiden. Dalam sebuah acara Halal Bihalal bersama para purnawirawan TNI di Balai Kartini, Jakarta, Presiden Prabowo Subianto menampilkan foto seorang anak perempuan bernama Naila. Ia anak dari keluarga miskin, hidup dengan penghasilan kurang dari satu juta rupiah per bulan. Tapi wajahnya ceria, polos, dan penuh semangat. “Sisa hidup saya, perjuangan saya adalah untuk merubah nasib Naila-Naila di Indonesia,” tegas Prabowo.
Pernyataan ini bukan sekadar retorika. Presiden Prabowo mengumumkan program pembangunan minimal 100 sekolah berasrama setiap tahun khusus untuk anak-anak dari keluarga paling tidak mampu. Sekolah ini bukan sekadar tempat belajar, tapi rumah kedua yang menjadi jalan keluar dari jeratan kemiskinan struktural.
Verifikasi calon siswa akan dilakukan melalui data dari Kementerian Sosial, Kementerian PAN-RB, dan Badan Pusat Statistik. Artinya, negara secara sistematis akan turun tangan memilih anak-anak dari kelas sosial paling bawah untuk diberikan jalan hidup baru.
Targetnya, 53 sampai 55 sekolah pertama akan beroperasi mulai Juli 2025. Ini bukan proyek mercusuar. Ini adalah misi untuk memutus rantai kemiskinan yang diwariskan dari ayah ke anak, dari generasi ke generasi. “Kalau bapaknya pemulung, anaknya tidak boleh jadi pemulung,” ujar Prabowo.
Di tengah isu ekonomi yang masih timpang, gagasan ini menjadi angin segar. Selama ini, pendidikan kerap jadi ruang paling mahal bagi mereka yang lahir dari garis nasib yang sial. Sekolah negeri penuh pungutan. Sekolah swasta tak terjangkau. Program Prabowo tampaknya ingin membalik logika itu. Negara hadir bukan untuk sekadar menyamakan akses, tapi memberikan keistimewaan bagi yang paling papa.
Inilah yang membedakan sekolah rakyat Prabowo dari sekadar pembangunan sekolah biasa. Ia bukan proyek infrastruktur pendidikan. Ia adalah strategi redistribusi sosial. Sekolah bukan lagi milik kalangan mampu, tapi menjadi alat afirmasi untuk rakyat jelata.
Pertanyaannya adalah bagaimana program ini harus dimaknai?
Relasi Abadi Pendidikan dan Kemiskinan
Untuk memahami mengapa langkah ini krusial, kita perlu melihat bagaimana ilmu sosial membaca hubungan antara kemiskinan dan pendidikan. Tiga teori besar bisa membantu menjelaskan urgensi dan dampak dari program seperti ini.
Pertama, teori reproduction of inequality dari Pierre Bourdieu. Bourdieu menyatakan bahwa pendidikan adalah alat utama yang digunakan untuk mereproduksi struktur kelas sosial. Sekolah bukan tempat netral. Ia membentuk habitus dan cultural capital yang justru mendiskriminasi anak-anak miskin.
Anak dari keluarga kaya lebih paham “bahasa sekolah” dan lebih siap menyerap kurikulum. Maka, program Prabowo yang menciptakan sekolah khusus bagi anak miskin bisa dibaca sebagai upaya membalik logika reproduksi itu. Negara secara sadar menciptakan ruang sosial baru agar anak miskin tak terus-menerus kalah sebelum bertanding.
Kedua, teori capability approach dari Amartya Sen. Dalam pendekatannya, Sen menekankan pentingnya memampukan manusia untuk memiliki pilihan hidup. Pendidikan, dalam hal ini, adalah alat pembuka capabilities.
Anak-anak dari keluarga miskin kerap tak punya opsi. Mereka tak bisa bermimpi jadi dokter atau insinyur karena hidup mereka sejak awal sudah dibatasi oleh keadaan. Dengan sekolah berasrama ini, Prabowo membuka capabilities baru bagi anak-anak seperti Naila. Mereka diberi kesempatan, bukan hanya akses.
Ketiga, pendekatan intergenerational poverty traps dari studi ekonomi pembangunan. Banyak penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan tidak berhenti di satu generasi. Ketika seorang anak gagal mengakses pendidikan yang baik, ia akan bekerja di sektor informal, bergaji kecil, dan kembali melahirkan anak yang juga miskin.
Maka, pendidikan bukan hanya soal masa depan individu, tapi alat paling efektif untuk memutus lingkaran kemiskinan. Program 100 sekolah ini adalah intervensi struktural yang secara langsung menyerang akar dari poverty trap itu.
Dengan tiga teori ini, kita bisa melihat bahwa program Prabowo bukan sekadar proyek belas kasihan. Ia adalah bentuk keberpihakan negara untuk merombak struktur sosial yang timpang. Sekolah bukan hanya tempat belajar, tapi arena perjuangan kelas.
Power School dan Proyeksi Politik
Secara politik, program ini bisa menjadi warisan terbesar Prabowo. Selama kampanye, isu populisme kerap disematkan padanya. Tapi dengan program sekolah rakyat ini, populisme itu berubah bentuk. Ia bukan hanya soal narasi membela rakyat kecil, tapi langkah konkret menyiapkan generasi baru dari kelas bawah untuk naik kelas sosial.
Jika berhasil, ini bisa menjadi lompatan politik luar biasa. Bayangkan ketika 10 tahun ke depan, ratusan ribu alumni sekolah ini muncul sebagai profesional, pemimpin lokal, bahkan politisi. Mereka bukan hanya suara dukungan, tapi juga simbol keberhasilan kebijakan Prabowo.
Program ini juga memperkuat posisi moral Prabowo di tengah ketidakpercayaan publik pada elite. Saat banyak politisi sibuk menyelamatkan oligarki, Prabowo datang dengan gagasan menyelamatkan anak-anak miskin. Ini adalah narasi yang kuat dalam lanskap politik Indonesia yang sering kali sinis.
Namun, tantangan tentu tak kecil. Pertama, masalah kualitas guru dan kurikulum. Apakah sekolah ini hanya akan jadi panti asuhan yang diperluas, atau benar-benar tempat tumbuhnya manusia unggul?
Kedua, masalah pembiayaan dan kesinambungan. Apakah program ini hanya kuat di tahun-tahun awal pemerintahan? Ketiga, risiko politisasi. Apakah sekolah ini akan jadi alat kampanye terselubung atau benar-benar bersih dari kepentingan jangka pendek?
Jika Prabowo mampu mengelola ketiganya, ia bukan hanya menciptakan kebijakan transformatif, tapi juga memperkuat legitimasi politik yang berakar pada kerja nyata.
Lebih dari itu, program ini bisa jadi penentu wajah masa depan Indonesia. Negara ini terlalu lama membiarkan pendidikan dikuasai oleh pasar. Sekolah menjadi ladang bisnis, bukan ruang emansipasi. Dengan mengambil kembali peran negara secara aktif, Prabowo sebenarnya sedang menanam fondasi republik yang lebih adil.
Power School adalah pertaruhan besar. Tapi jika berhasil, ia bisa menjadi “legacy” terbesar Prabowo. Bukan karena membangun infrastruktur raksasa, tapi karena berhasil mengangkat anak-anak dari lorong gelap kemiskinan menuju panggung masa depan yang lebih terang.
Dalam politik, tak semua warisan diukur dari monumen. Kadang, warisan terbesar adalah wajah seorang anak yang akhirnya bisa bermimpi lebih tinggi. Seperti Naila. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)