Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Direspons kritik hingga skeptis, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 Tentang BUMN yang telah disahkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto justru dinilai jadi titik balik positif bagi progresivitas perusahaan plat merah. Mengapa demikian?
Perjalanan panjang reformasi badan usaha milik negara (BUMN) di Indonesia kembali memasuki fase krusial dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 sebagai revisi ketiga dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Meski menuai kritik dan skeptisisme dari sejumlah pengamat serta pegiat antikorupsi, tak sedikit pula yang menilai regulasi ini sebagai titik balik positif dalam membangun ulang fondasi manajemen BUMN.
Salah satu poin yang dianggap paling kontroversial adalah perubahan status hukum direksi dan komisaris BUMN yang tidak lagi dikategorikan sebagai “penyelenggara negara”.
Banyak pihak mengkhawatirkan bahwa klausul ini berpotensi memperlemah kemampuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Kejaksaan Agung dalam menjerat dan mengungkap kasus rasuah di tubuh BUMN.
Namun, kritik tersebut kiranya perlu dilihat secara lebih jernih dan proporsional, yakni apakah benar ini bentuk impunitas terselubung, atau justru desain baru untuk memperkuat akuntabilitas melalui mekanisme hukum yang lebih tepat sasaran dan kontekstual?
Apalagi, rekam jejak BUMN dalam satu dekade terakhir memang tak menggembirakan. Berdasarkan data dari 2016 hingga 2025, sedikitnya 18 direktur utama BUMN telah terjerat kasus korupsi dengan estimasi kerugian negara yang telah menyentuh nomenklatur kuadriliun rupiah.
Torehan itu seakan membenarkan julukan “kastil vampir” BUMN yang justru menghisap kekayaan negara alih-alih menyuburkannya.
UU BUMN edisi 2025 hadir bukan dalam ruang hampa, melainkan lahir di tengah tuntutan global terhadap reformasi korporasi negara yang lebih adaptif, kompetitif, dan terbuka.
Lantas, mengapa postulat tersebut bisa saja relevan?
State Corporatism to Hybrid Governance?
Untuk memahami signifikansi UU ini secara teoritis, kiranya perlu ditelusuri dua konsep penting dalam studi tata kelola negara dan perusahaan negara, State Corporatism dan Hybrid Governance.
State corporatism merujuk pada sistem di mana negara menjadi aktor dominan dalam mengatur organisasi-organisasi sosial dan ekonomi, termasuk perusahaan negara.
Dalam model ini, BUMN kerap menjadi perpanjangan tangan kekuasaan politik, bukan semata entitas bisnis yang harus bertanggung jawab pada efisiensi dan keberlanjutan ekonomi.
Karakteristik utamanya adalah politisasi jabatan, konflik kepentingan antara target ekonomi dan tujuan politik, serta imunitas institusional terhadap pengawasan publik yang efektif.
Model inilah yang selama ini dianggap mewarnai struktur pengelolaan BUMN di Indonesia. Status direksi dan komisaris sebagai penyelenggara negara memperkuat dominasi negara dalam ruang manajemen, sekaligus membuka ruang abu-abu bagi penyalahgunaan wewenang karena percampuran antara otoritas publik dan logika bisnis.
Sebaliknya, hybrid governance adalah konsep tata kelola yang mencoba memadukan mekanisme pasar, prinsip korporat, dan akuntabilitas demokratis secara seimbang.
Dalam model ini, BUMN tetap dimiliki oleh negara, tetapi tunduk pada aturan korporasi dan standar profesionalitas yang setara dengan perusahaan swasta.
Kunci keberhasilannya adalah pemisahan antara fungsi pengawasan dan fungsi manajerial, serta penguatan akuntabilitas berbasis audit, transparansi kinerja, dan keterbukaan informasi.
UU BUMN teranyar seolah menunjukkan langkah awal menuju model hybrid governance. Dengan menghapus status direksi dan komisaris sebagai penyelenggara negara, UU ini secara tidak langsung melepaskan beban politis dari manajemen korporasi, dan mendorong terciptanya iklim profesional di mana pengambilan keputusan bisnis tidak selalu harus menunggu restu politik.
Tentu, dengan catatan bahwa proses rekrutmen direksi dan komisaris dilakukan secara terbuka, meritokratis, dan bebas dari intervensi oligarki kekuasaan.
Lebih jauh, arah ini berusaha mengintegrasikan prinsip corporate legal personality sebagaimana ditegaskan dalam berbagai kerangka hukum komersial global—bahwa sebuah perusahaan, meskipun dimiliki negara, adalah entitas hukum independen yang tunduk pada peraturan komersial (Companies Act di Singapura, Akta Syarikat di Malaysia, KUHD di Indonesia).
Namun, pelepasan dari status penyelenggara negara bukan berarti impunitas. Justru, UU BUMN terbaru dinilai akan memperjelas jalur hukum untuk menjerat pelanggaran direksi dan komisaris melalui mekanisme hukum pidana korporasi, hukum perdata, dan aturan etik internal.
Dalam banyak kasus, pendekatan korporat justru lebih cepat dan efektif menjatuhkan sanksi serta memulihkan aset negara daripada membiarkan kasus terkatung-katung di wilayah abu-abu antara hukum administrasi dan pidana publik.
Terlebih, Danantara akan menjadi vocal point pengelolaan dana negara yang mayoritas berasal dan seputar perusahaan BUMN.

Tantangannya Banyak?
Dalam kerangka kebijakan publik, UU BUMN tidak bisa berdiri sendiri, melainkan bagian dari arsitektur hukum yang lebih luas, yang menuntut reformasi simultan dalam beberapa lini.
Pertama, agar efektivitas UU ini terjamin, pemerintah bersama DPR agaknya harus segera mengesahkan RUU Perampasan Aset.
Tanpa instrumen hukum yang mampu menyita dan mengembalikan kekayaan negara secara efisien, reformasi tata kelola BUMN akan kehilangan daya gigit.
Tak hanya dalam kerangka regulasi, seperti yang sempat disebutkan sebagai catatan di atas, dalam kasus Temasek Holdings atau Khazanah Nasional Berhad, pemulihan aset menjadi salah satu elemen penting dalam menjaga integritas dan keberlanjutan nilai perusahaan negara.
Kedua, sistem audit independen dan pengawasan publik tentu harus diperkuat. Jika meniru Temasek, maka akuntabilitas bukan hanya kepada pemerintah sebagai pemilik saham, tetapi juga ke parlemen dan publik melalui laporan tahunan, audit keuangan terbuka, dan sistem reward-punishment berbasis kinerja.
Dalam konteks Indonesia, transparansi dan mengikis stigma “rahasia umum kemudaratan” peran BPK, OJK, dan lembaga audit swasta independen menjadi mutlak.
Ketiga, regulasi baru tersebut agaknya juga harus dibarengi dengan reformasi rekrutmen jajaran direksi dan komisaris.
Tanpa pengamanan dari nepotisme, patronase politik, dan kooptasi oligarki, maka semangat profesionalisme hanya menjadi jargon. Perlu dibangun platform seleksi terbuka, berjenjang, berbasis rekam jejak dan integritas, yang dapat diawasi oleh publik.
Keempat, diperlukan desain baru dalam hubungan antara kementerian teknis, Kementerian BUMN, dan entitas BUMN itu sendiri. Jangan sampai BUMN hanya berganti bentuk dari ”alat politik” menjadi “alat bisnis para elite”.
Kiranya harus ada kejelasan pembedaan fungsi pemilik saham (state as shareholder) dengan fungsi regulator atau pembuat kebijakan. Ini untuk mencegah konflik kepentingan dan penyalahgunaan informasi asimetris.
Kelima, update version UU BUMN ini harus menjadi momentum pembelajaran kolektif bahwa korupsi di BUMN tak cukup diselesaikan dengan pendekatan hukum reaktif, tetapi harus didesain ulang secara sistemik.
Seperti yang dikatakan Francis Fukuyama dalam Political Order and Political Decay, institusi yang efektif lahir bukan dari niat baik semata, tapi dari kombinasi antara insentif struktural, profesionalisme birokrasi, dan sanksi yang konsisten.
Kembali, kritik atas kemungkinan melemahnya pengawasan antirasuah harus dijawab bukan dengan penolakan mentah-mentah, tetapi dengan desain pengawasan baru yang lebih presisi dan adaptif terhadap logika korporasi modern.
Pergeseran status direksi dan komisaris dari penyelenggara negara ke entitas korporat agaknya bukanlah akhir dari akuntabilitas, melainkan permulaan dari babak baru tata kelola yang berbasis integritas, efisiensi, dan profesionalisme.
Indonesia tidak bisa terus berada dalam “jebakan state corporatism” yang bercampur aduk antara kuasa politik dan bisnis. Jika ingin mengejar Temasek atau Khazanah, maka arah ini boleh jadi adalah awal yang menjanjikan.
Sebagaimana dikatakan Peter Drucker, “The best way to predict the future is to create it.” Melalui UU BUMN terbaru, pemerintahan Prabowo Subianto mungkin mulai menulis masa depan barunya, bukan dengan menyingkirkan negara dari BUMN, tapi dengan membangun negara yang tahu kapan harus memegang kendali, dan kapan harus memberi ruang bagi profesionalisme bekerja. (J61)