HomeHeadlinePrabowo-SBY: Tomorrow’s Legacy

Prabowo-SBY: Tomorrow’s Legacy

Kecil Besar

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Di balik momen saling puji Prabowo dan SBY di Universitas Pertahanan, tersirat warisan besar dua jenderal: menjadikan pendidikan sebagai medan strategis. Kedisiplinan, nasionalisme, dan karakter menjadi jawaban mereka atas disrupsi generasi cemas dan krisis moral di era digital.


PinterPolitik.com

Dalam sebuah momen hangat di Kampus Universitas Pertahanan (Unhan) kemarin (11/6), dua tokoh sentral dalam sejarah militer dan politik Indonesia, Presiden RI Prabowo Subianto dan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), saling melontarkan pujian.

Prabowo menyebut SBY sebagai negarawan visioner yang menggagas berdirinya Unhan, sementara SBY memuji Prabowo atas keberlanjutan dan ekspansi gagasan strategis di bidang pendidikan nasional.

Di balik gestur saling hormat ini, agaknya tersirat sebuah pesan ideologis, yakni pendidikan strategis bukan hanya soal ilmu pertahanan, tetapi juga tentang membentuk watak kebangsaan, kedisiplinan, dan daya tahan generasi muda Indonesia.

Keduanya adalah jenderal bintang empat yang bertemu dalam keyakinan bahwa masa depan Indonesia sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan, terutama pendidikan yang mampu membentuk karakter, bukan hanya sekadar mengasah keterampilan.

Dengan penguatan Unhan sebagai institusi strategis dan perluasan gagasan melalui program “Sekolah Rakyat” serta kurikulum kebangsaan oleh Presiden Prabowo saat ini, terlihat kesinambungan antara fondasi yang dibangun oleh SBY dan arah baru yang sedang dirumuskan oleh Prabowo.

Di permukaan, hal ini kiranya bukan semata sinergi politik atau gestur simbolik, melainkan kesinambungan narasi ideologis tentang pentingnya menanamkan nilai kedisiplinan dan nasionalisme dalam sistem pendidikan nasional.

Lalu, mengapa hal ini menjadi sangat krusial dan patut untuk disorot lebih dalam?

Antitesis Generasi Cemas

Untuk memahami relevansi pendekatan SBY dan Prabowo terhadap pendidikan, pentingnya pendidikan berkarakter tampak jadi tajuk utama di mana tidak hanya fokus pada aspek kognitif, tetapi juga pada pembentukan watak, terutama dalam hal moral knowing, moral feeling, dan moral action.

Dalam konteks Indonesia dan beberapa negara lain di dunia, moralitas ini sering kali bersinggungan langsung dengan nilai-nilai nasionalisme dan kedisiplinan. Sampel konkret pendidikan dengan karakteristik seperti ini dapat ditemukan dalam literatur serta capaian di Jepang, Tiongkok, Vietnam, hingga Singapura.

Baca juga :  Auto Damage Teddy, AHY, Sherly?

Prabowo dan SBY, sebagai produk dari pendidikan militer dan pengalaman geopolitik, agaknya melihat bahwa kedisiplinan adalah fondasi utama dari ketahanan nasional.

Kedisiplinan di sini bukan hanya dimaknai sebagai kepatuhan struktural, tetapi juga sebagai kemampuan mengendalikan diri dalam era keterbukaan informasi yang sering kali menggiring generasi muda pada ekspresi tanpa kendali.

Masuknya era digital dan media sosial mempercepat disrupsi ekspresi di kalangan generasi muda. Ledakan kekhawatiran “generasi cemas” (anxious generation) yang terus eksis kiranya dapat menjadi refleksi, di mana kebebasan berekspresi yang berlebihan tanpa penanaman nilai-nilai mendasar justru menghasilkan kegamangan identitas dan rapuhnya daya juang.

Di titik inilah Presiden Prabowo kiranya memperkuat dan memperluas warisan SBY dengan gagasan “Sekolah Rakyat”, sebuah program yang bertujuan membumikan kembali pendidikan moral, kebangsaan, dan keterlibatan sosial melalui pendekatan komunitas.

Pendekatan dan kurikulum kebangsaan yang didorong oleh Presiden Prabowo pun seakan menegaskan bahwa pendidikan tidak bisa dibiarkan “netral ideologi”.

Negara harus hadir bukan untuk mengontrol, melainkan mengarahkan. Bukan mencetak robot ideologis, tetapi membentuk warga negara yang sadar sejarah, memiliki daya tahan, dan siap berkontribusi.

Penguatan gagasan ini juga tampak terlihat melalui upaya pemerataan pendidikan serta peningkatan kesejahteraan guru. Dalam kerangka John Dewey, pendidikan adalah alat demokratisasi masyarakat.

Namun tanpa kehadiran negara dalam menjamin akses dan kualitas, pendidikan bisa menjadi alat reproduksi ketimpangan.

Maka, penyatuan antara visi militeristik (disiplin dan ketahanan) dengan pendekatan egalitarian (akses dan keadilan) menjadikan narasi Prabowo-SBY sangat relevan untuk menjawab tantangan pendidikan hari ini.

Pertanyaannya kini adalah mengapa pendekatan ini penting, dan apa implikasinya terhadap masa depan Indonesia?

sby prabowo the two progressive generalsartboard 1 2

Roh Zaman Pendidikan?

Pertama, suka atau tidak dan disadari atau tidak, Indonesia sedang menghadapi tantangan moral disorientation di kalangan remaja. Menurut laporan UNICEF dan KPAI, tren perilaku menyimpang, kekerasan di sekolah, hingga kecanduan digital meningkat tajam pasca pandemi dan seiring pesatnya perkembangan media sosial.

Baca juga :  Politik Pendidikan Brilian Presiden Prabowo

Ini tentu tidak bisa dijawab hanya dengan pengetatan regulasi atau sensor konten, tetapi memerlukan penguatan pendidikan karakter sejak dini.

Kedua, diskursus publik tentang pendidikan semakin terjebak dalam dikotomi kreatif vs konservatif. Pro dan kontra terhadap batas kreativitas di media sosial mencerminkan belum matangnya kerangka moral publik yang mampu menimbang kebebasan dan tanggung jawab secara berimbang. Di sinilah peran sekolah dan orang tua sebagai agent of moral mediation sangat vital.

Ketiga, pendidikan strategis yang digagas dua jenderal ini juga memberikan strategic culture baru, yaitu melihat pendidikan bukan hanya sebagai sektor teknis, tetapi sebagai ruang kontestasi ideologi, pertahanan budaya, dan pembangunan karakter nasional.

Ini selaras dengan pendekatan critical pedagogy dari Paulo Freire, yang menempatkan pendidikan sebagai ruang pembebasan, namun tetap dalam kerangka moral dan kebangsaan.

Kampus Unhan, Sekolah Rakyat, kurikulum kebangsaan, hingga perhatian pada kesejahteraan guru, dan segala rencana progresif lain di bidang pendidikan lainnya tampak adalah bagian dari grand design yang melihat Indonesia tidak akan kuat hanya karena APBN besar atau kekuatan militer kuat, tetapi karena rakyatnya berkarakter, gurunya dihormati, dan sistem pendidikannya merata dan bermartabat.

Dan, warisan dua jenderal ini menunjukkan bahwa nasionalisme tidak selalu hadir dalam bentuk slogan keras, tetapi justru lewat pembangunan institusi yang menciptakan manusia-manusia tangguh.

Prabowo dan SBY mungkin berasal dari medan dan generasi yang berbeda, tetapi mereka satu suara dalam menjadikan pendidikan bangsa saat ini sebagai medan strategis paling menentukan bagi Indonesia ke depan. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Gen Z is Going Corrupt?

Publik diramaikan dengan pembahasan tersangka kasus korupsi yang tengah diusut KPK atas nama Nur Afifah Balqis yang masih berusia 24 tahun.

AS-Tiongkok = Sasuke-Naruto? 

Hubungan Amerika Serikat dan Tiongkok tidak sesederhana permusuhan atau persaingan semata. Di balik rivalitas yang sering muncul di permukaan, ada sejarah panjang kerja sama dan keterkaitan yang membentuk keseimbangan global. 

Trump dan Soccer Super Power?

Kehadiran Presiden Donald Trump di final FIFA Club World Cup 2025 kiranya bukan sekadar tontonan, tapi simbol ambisi Amerika Serikat menjadi kekuatan global baru di sepak bola. Dari Beckham di LA Galaxy, Messi di Inter Miami hingga Task Force Piala Dunia 2026, AS tampak serius membentuk identitas baru, soccer super power.

Filosofi Kopi Prabowo Subianto?

Presiden Prabowo Subianto dikenal dengan kebiasaannya meminum kopi hitam. Apa sebenarnya filosofi kopi ala Prabowo?

Prabowo’s International Political Dance

Prabowo bisa dibilang menjadi salah satu presiden yang paling aktif dalam politik internasional. Ini kontras dengan presiden sebelumnya, Jokowi, yang tak begitu getol dalam panggung internasional kecuali jika berhubungan dengan masalah ekonomi.

King Indo Linguistic Flex

Bahasa Indonesia agaknya makin mendominasi ruang digital negara lain, khususnya Malaysia, dari TikTok hingga ruang kelas. Fenomena ini tampaknya bukan sekadar soal bahasa, tapi ekspansi soft power Indonesia di Asia Tenggara. Apakah ini adalah gejala menuju lahirnya “King Indo Digital Empire”?

The Gibran’s Gambit?

Penugasan Wakil Presiden Gibran dalam percepatan pembangunan Papua membuka ruang analisis baru dalam dinamika kepemimpinan nasional. Di balik mandat kelembagaan ini, tersirat peluang pembentukan citra politik yang lebih otonom dan strategis.

Mythical Leaders from Gunung Lawu?

Gunung Lawu, menjulang gagah di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, bukan sekadar gunung. Ia adalah jantung rahasia Jawa, tempat para leluhur dipercaya masih bersemayam, dan panggung abadi bagi narasi kepemimpinan yang tak lekang oleh waktu.

More Stories

Trump dan Soccer Super Power?

Kehadiran Presiden Donald Trump di final FIFA Club World Cup 2025 kiranya bukan sekadar tontonan, tapi simbol ambisi Amerika Serikat menjadi kekuatan global baru di sepak bola. Dari Beckham di LA Galaxy, Messi di Inter Miami hingga Task Force Piala Dunia 2026, AS tampak serius membentuk identitas baru, soccer super power.

King Indo Linguistic Flex

Bahasa Indonesia agaknya makin mendominasi ruang digital negara lain, khususnya Malaysia, dari TikTok hingga ruang kelas. Fenomena ini tampaknya bukan sekadar soal bahasa, tapi ekspansi soft power Indonesia di Asia Tenggara. Apakah ini adalah gejala menuju lahirnya “King Indo Digital Empire”?

Byurr! Pramono, Politik Banjir Kiriman?

Ketika Pramono menyebut “banjir kiriman” sebagai hal yang given, publik dihadapkan pada dilema klasik antara penjelasan dan penyelesaian. Apakah ini sekadar narasi lama yang diulang, atau sinyal kegagalan kolektif menangani krisis air Jakarta secara tuntas dari hulu hingga hilir?