HomeHeadlinePrabowo & Drama Pinggir Jurang 2025?

Prabowo & Drama Pinggir Jurang 2025?

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Di menit krusial, Presiden Prabowo Subianto akhirnya merespons dua isu penting, yakni vonis “agak laen” kasus korupsi timah dan menegaskan kebijakan pemberlakuan PPN 12 persen. Hal itu agaknya sedikit mengurangi tekanan psikologis kolektif rakyat +62 dalam dimensi sosial, ekonomi, hingga poliik jelang pergantian tahun yang dinilai nyaris berada di titik nadir dan bisa saja menjadi pangkal instabilitas.


PinterPolitik.com


Saat menyinggung bahwa rakyat di “pinggir jalan” yang tak abai dengan vonis ringan koruptor kasus timah, Presiden Prabowo Subianto tentu sangat memahami bahwa diskursus media massa & media sosial tentang isu politik-pemerintahan dan penegakan hukum sangat memengaruhi perspektif publik yang muaranya pada stabilitas negara.

Ya, jelang tutup tahun 2024, rakyat Indonesia dengan akses informasinya masing-masing, dibuat meng-“hadeh” karena beberapa isu lintas dimensi, baik ekonomi, sosial, politik, hukum, dan pemerintaan.

Setelah tak bisa melupakan begitu saja residu politik-hukum yang membentuk hasil Pemilu & Pilpres 2024, publik ditimipa beban psikologis dalam kehidupan sosial, politik, berbangsa, dan bernegara dengan wacana yang bertendensi minor.

Dari banyaknya isu yang berkelindan, isu pertama yang cukup mengganggu adalah drama penegakan hukum Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang ditetapkan tersangka oleh KPK.

Hasto dan PDIP mengklaim penetapan itu sebagai kriminalisasi dan memberikan gestur perlawanan dengan klaim kepemilikan bukti skandal para elite politik yang bahkan disebut lebih buruk dari Skandal Watergate di Amerika Serikat.

Selain isu dimensi politik Hasto yang jamak dikaitkan dengan konflik Joko Widodo dan PDIP,  isu penegakan hukum juga membuat geleng-geleng kepala dan tertanam di benak rakyat Indonesia.

Itu setelah hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis sangat-sangat ringan Harvey Moeis, koruptor rasuah timah yang meski tak secara harfiah, telah mengakibatkan kerugian senilai Rp300 triliun.

Ironisnya, sehari setelah pidato Presiden Prabowo yang menyentil hakim, meminta Jaksa Agung dan Kejaksaan untuk banding, serta menyoroti lapas mewah koruptor kelas kakap, vonis “ngawur” diulangi jajaran hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang diketuai Rianto Adam Pontoh.

Tak hanya itu, kebijakan PPN 12% pun menjadi salah satu yang sangat disorot karena memengaruhi hajat hidup orang banyak dan semakin membebani masyarakat, baik secara konkret maupun tekanan psikologis menuju tahun 2025 dan di awal momen penting pemerintahan Prabowo-Gibran.

Bernadya bilang “untungnya..”, Presiden Prabowo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan penegasan bahwa PPN 12 persen hanya berlaku untuk barang-barang mewah yang daftarnya telah beredar di media massa dan media sosial. Menariknya, hal itu diumumkan hanya beberapa jam sebelum pemberlakuan 1 Januari 2025.

Kendati dipertanyakan teknis implementasinya apakah akan benar demikian karena hal itu telah tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang wajib DPR untuk revisi atau pembatalannya, pidato Presiden Prabowo kiranya harus tetap menjadi salah satu acuan utama kebijakan.

Isu-isu yang membebani rakyat dan sekali lagi, bisa saja memantik instabilitas itu kemudian membuka ruang interpretasi untuk memaknai lebih dalam hakikat sistem politik Indonesia dan implikasi penerapan serta relevansinya kini dan di masa depan.

Baca juga :  PDIP Perlu Ngaca?

hashim, sri mulyani ter smack downartboard 1 1



Bagian Dari Siklus?



Beberapa realita yang terjadi dan disebutkan di atas akan tercatat dalam dinamika perjalanan bangsa di tahun 2024. Permasalahan yang seolah laten selama dua dekade lebih pasca Reformasi membuat diskursus menarik turut mengemuka.

Hal itu tak lain mengenai esensi demokrasi seperti apa yang sebenarnya akan, setidaknya, meninimalisir permasalahan mendasar seperti korupsi, ketimpangan kapital, oligarki, hingga formula terbaik dalam mengelola perjalanan negeri yang pada 2045 akan mencapai usia emas.

Presiden Prabowo pernah menyiratkan bahwa tidak semua variabel yang tertulis dalam hakikat politik demokrasi tepat diaktualisasikan semua negara.

Ketua Umum Partai Gerindra itu pun pernah menyebut “demokrasi khas Indonesia” yang memiliki karakteristiknya sendiri sesuai dengan kondisi dan musyawarah mufakat dalam kehidupan berpolitik, pemerintah, berbangsa, dan bernegara.

Bagaimanapun, membayangkan kondisi demokrasi Indonesia yang ideal 100 persen pasti mustahil dan utopis. Saat berbicara sistem yang tepat agar tak terjadi gejolak yang mendistorsi stabilitas politik dan membebani psikis rakyat, mau tak mau akan mempertemukan berbagai variabel, hingga yang spesifik seperti moral dan integritas setiap individu di dalamnya.

Satu hal yang juga terkait dan dikaitkan dalam diskursus ini adalah pernyataan Prabowo di masa lalu mengenai Indonesia bisa saja bubar pada tahun 2030 karena berbagai hal kritis yang seolah kian terasa.

Satu postulat relevan hadir dari cendekiawan Skotlandia, Alexander Tytler. Bahkan, sosok yang juga Professor Universal History serta Greek and Roman Antiquities di University of Edinburgh itu mengatakan demokrasi hanya bertahan 200 tahun.

Tytler mengemukakan teori bahwa demokrasi memiliki siklus alami menuju kemerosotan. Berdasarkan studinya atas berbagai peradaban, ia menyimpulkan bahwa demokrasi berevolusi dari kebajikan menuju korupsi, hingga akhirnya runtuh atau “runtuh”.

Contohnya, di Yunani kuno, semangat patriotisme dan kebebasan secara bertahap terkikis seiring kemajuan bangsa dalam kekuasaan. Tytler percaya demokrasi murni adalah “teori utopis” yang tidak mungkin eksis karena bergantung pada kebajikan sempurna warga negaranya.

Tanpa kebajikan tersebut, demokrasi akan merosot menjadi bentuk pemerintahan yang lebih buruk, serupa dengan monarki atau oligarki. Ia juga menyoroti bahwa pemilih dalam demokrasi seringkali terpengaruh oleh korupsi dan suap, sementara pemimpin yang terpilih kerap tidak lagi bertindak demi rakyat.

Menurut Tytler, demokrasi cenderung berakhir akibat kebijakan moneter yang buruk. Ia menulis bahwa mayoritas pemilih selalu mendukung kandidat yang menjanjikan manfaat terbesar. Hal ini menyebabkan kebijakan fiskal yang longgar serta tak dimanfaatkan dengan semestinya hingga perilaku korup di berbagai lini dan level yang akhirnya memicu runtuhnya demokrasi dan munculnya kediktatoran.

Tytler menggambarkan proses ini melalui “Siklus Tytler,” yang biasanya berlangsung sekitar 200 tahun. Siklus ini melibatkan serangkaian tahap, mulai dari perbudakan menuju iman spiritual, keberanian, kebebasan, kelimpahan, keegoisan, kepuasan diri, apatisme, ketergantungan, dan kembali ke perbudakan, baik secara harfiah maupun tidak.

Siklus dimulai dengan budaya yang berada di bawah perbudakan, seperti masa kolonial Amerika. Setelah revolusi, kebebasan tercapai, diikuti oleh kelimpahan yang membawa kemakmuran.

Namun, Tytler menekankan bahwa kekayaan justru melemahkan rakyat dengan mengurangi kebajikan heroik mereka. Ketika keegoisan dan kepuasan diri tumbuh, apatisme terhadap sistem dan sesama menjadi umum. Kondisi ini memungkinkan tirani mengambil alih, mengembalikan peradaban ke perbudakan atau perbudakan modern.

Baca juga :  Anies-Mahfud Perlu “Dikantongi” Prabowo? 

Teori Tytler menggarisbawahi bahwa demokrasi rentan berubah menjadi tirani, pandangan yang juga didukung oleh Aristoteles. Pertanyaannya, apakah teori ini berlaku universal? Dan di mana posisi demokrasi Indonesia saat ini dalam siklus tersebut? Bukankah demokrasi baru seumur jagung?

Tentu hanya waktu yang akan menjawabnya secara pasti. Namun yang jelas, semua akan dipengaruhi oleh kepemimpinan wes wayahe seorang nasionalis sejati dalam diri Prabowo serta bagaimana dirinya sebagai legenda hidup bangsa menavigasi interaksi dan intrik politik di dalamnya.

rahasia rotasi para jenderal prabowo 1



Prabowo Adalah Kunci?



Siklus politik membentuk segala hal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk konstruksi interaksi di antara para aktornya.

Skandal para elite politik Indonesia yang diklaim secara gamblang oleh PDIP kiranya mengafirmasi kebobrokan yang selama ini menjadi rahasia umum, terlepas dari derajat kebenaran dan bagaimana pembuktiannya secara konkret.

Terkait hal tersebut, salah satu sosok yang cukup berani dan menjadi anomali pasca Reformasi adalah putra Wakil Presiden ke-6 RI Try Sutrisno, yakni Kunto Arief Wibowo.

Bagaimana tidak, berstatus aktif sebagai prajurit angkatan bersenjata yang telah disepakati “haram” mencampuri ranah politik, Kunto justru menunjukkan keberanian dengan menyuarakan “aspirasi dari barak”.

Di tengah dinamika politik menuju Pemilu dan Pilpres 2024, Kunto mempublikasikan artikel berjudul Etika Menuju 2024  pada 10 April 2023 di kolom Kompas yang berisi kritikan terhadap partai politik yang secara formal dapat mengelola komunikasi politik di ruang demokrasi.

Dalam telaah Kunto, peran tersebut belum sepenuhnya ditunaikan oleh partai politik dengan jamaknya provokasi serta komunikasi politik yang memprovokasi dan justru memantik ancaman bagi keutuhan bangsa hingga pertahanan dan keamanan negara.

Seolah memberikan ultimatum, yakni jika ketidakpedulian tetap terjadi dan semakin menguat, maka demi alasan pertahanan dan keamanan, Kunto mengatakan TNI agaknya harus sedikit maju mengambil posisi.

Kunto yang kala itu merupakan Pangdam III Siliwangi berpangkat Mayor Jenderal, kiranya mengetahui konsekuensi atas ekspresi keresahannya. Benar saja, rahasia umum lain bahwa rotasi dan promosi jenderal bersifat politis membawa Kunto diparkir sebagai Wakil Komandan Kodiklat TNI-AD sebelum digeser sebagai Staf Ahli Bidang Ekonomi Setjen Wantannas.

Kunto yang dikenal berprestasi namun bersahaja serta memiliki citra sebagai jenderal merakyat baru bernasib baik di era Presiden Prabowo. Pada rotasi perwira tinggi perdana administrasi Prabowo-Gibran, dirinya dipromosikan menjadi Komandan Kogabwilhan I sekaligus naik pangkat bintang tiga (Letnan Jenderal).

Kembali, esensi beban dan keresahan psikis yang bahkan telah ditunjukkan oleh seorang perwira aktif TNI mengindikasikan bahwa interaksi politik yang bermuara pada berbagai hal termasuk kebijakan yang langsung berdampak kepada rakyat agaknya cukup mengkhawatirkan.

Di titik ini, Presiden Prabowo sangat diharapkan dapat memperbaiki kondisi kritis kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan rakyat, wajib menempatkan diri dalam posisi percaya, mengawal, dan mengkritisi saat para aktor dan elite bersikap ugal-ugalan dalam berpolitik, berbangsa, dan bernegara. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

100 Hari, Prabowo Justru Insecure?

Meski tak serta merta dapat dijadikan generalisir, dengan kinerja 100 hari yang cenderung jamak dinilai belum maksimal, penilaian terhadap bagaimana Presiden Prabowo Subianto memegang kendali nahkoda RI bermunculan. Utamanya, mengenai kemantapan prinsip kepemimpinan Presiden Prabowo di tengah tarik-menarik pengaruh internal maupun eksternal dalam politik kekuasaan.

Anies-Mahfud Perlu “Dikantongi” Prabowo? 

Eks-rival Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024), yakni Anies Baswedan dan Mahfud MD belakangan semakin menunjukkan gestur positif terhadap Prabowo. Apakah seharusnya Prabowo merangkul mereka? 

Prabowo, Amartya Sen, dan Orde Baru

Program Makan Siang Bergizi (MBG) alias makan siang gratis yang kini sudah dijalankan oleh pemerintahan Prabowo Subianto nyatanya punya visi yang serupa dengan program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) yang merupakan program di era Orde Baru.

Hasto vs Jokowi, Benarkah Prabowo AFK?

Tak berkomentar atau memberikan statement khusus menjadi hal normatif yang kiranya tepat dilakukan Presiden Prabowo Subianto terhadap intrik panas kasus Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang berhadapan langsung dengan Joko Widodo. Padahal, drama yang dibumbui video skandal pejabat itu berkelindan dengan proyeksi stabilitas politik dan pemerintahan ke depan.

Prabowo and the Hero Complex

Kisah seorang pahlawan (hero) selalu menciptakan inspirasi di hati banyak orang. Mengapa makna ini begitu berarti bagi Presiden Prabowo Subianto?

Mengapa Era Keemasan Sains Orba Hilang? 

Indonesia sempat alami euforia sains dan imajinasi yang tinggi ketika awal hingga pertengahan Orde Baru. Mengapa tren tersebut tiba-tiba hilang? 

The Invincible Bahlil and The Philosopher King

Dengarkan artikel ini: Meski kerap dikritik dan dianggap kontroversial, nyatanya sosok Bahlil Lahadalia harus diakui jadi inspirasi bagi banyak orang. Meniti karier dari pelosok,...

Menguak “Beban” Erick Pecat STY

Pemecatan pelatih Timnas Sepak Bola Pria Indonesia oleh PSSI meninggalkan interpretasi karena dua untaian frasa “mencurigakan” yang terujar dari Erick Thohir dan anak Shin Tae-yong, yakni “dinamika kompleks” dan “perlakuan PSSI”. Bahkan, sesuatu hingga ke ranah yang bertendensi politis. Benarkah demikian?

More Stories

100 Hari, Prabowo Justru Insecure?

Meski tak serta merta dapat dijadikan generalisir, dengan kinerja 100 hari yang cenderung jamak dinilai belum maksimal, penilaian terhadap bagaimana Presiden Prabowo Subianto memegang kendali nahkoda RI bermunculan. Utamanya, mengenai kemantapan prinsip kepemimpinan Presiden Prabowo di tengah tarik-menarik pengaruh internal maupun eksternal dalam politik kekuasaan.

Hasto vs Jokowi, Benarkah Prabowo AFK?

Tak berkomentar atau memberikan statement khusus menjadi hal normatif yang kiranya tepat dilakukan Presiden Prabowo Subianto terhadap intrik panas kasus Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang berhadapan langsung dengan Joko Widodo. Padahal, drama yang dibumbui video skandal pejabat itu berkelindan dengan proyeksi stabilitas politik dan pemerintahan ke depan.

Menguak “Beban” Erick Pecat STY

Pemecatan pelatih Timnas Sepak Bola Pria Indonesia oleh PSSI meninggalkan interpretasi karena dua untaian frasa “mencurigakan” yang terujar dari Erick Thohir dan anak Shin Tae-yong, yakni “dinamika kompleks” dan “perlakuan PSSI”. Bahkan, sesuatu hingga ke ranah yang bertendensi politis. Benarkah demikian?