HomeHeadlinePrabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Partai Gerindra di bawah komando Prabowo Subianto seolah sukses menguasai Pulau Jawa setelah tiga “mahapatih” mereka, yakni Andra Soni, Dedi Mulyadi, serta Ahmad Luthfi hampir dapat dipastikan  menaklukkan Pilkada 2024 sebagai gubernur. Hal ini bisa saja menjadi permulaan kekuasaan lebih luas di Jawadwipa. Mengapa demikian?
PinterPolitik.com

Dengan tetap menghormati keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Partai Gerindra dan Prabowo Subianto patut berbangga setelah tiga kader mereka dipastikan memenangkan Pilkada 2024 level gubernur berdasarkan hitung cepat atau quick count.

Orang kepercayaan Prabowo di ujung barat Pulau Jawa yang merupakan Ketua DPD Partai Gerindra Banten, Andra Soni, tampil sebagai kuda hitam di Provinsi Banten setelah menaklukkan trah Ratu Atut, Airin Rachmi Diany.

Di Tanah Pasundan, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Dedi Mulyadi, nyaris tak ada lawan di Pilgub Jawa Barat berbekal investasi sosial-politik darat dan udaranya dalam setengah dekade terakhir.

Kemudian di Jawa Tengah, politisi debutan Gerindra yang juga purnawirawan bintang tiga Polri, Ahmad Luthfi, di ambang mematahkan predikat “kandang banteng” PDIP.

Yogyakarta yang tak menyelenggarakan pemilihan gubernur seolah menjadi pengecualian konstitusi tak signifikan karena di ujung timur, Khofifah Indar Parawansa yang diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM) pimpinan Gerindra bisa dipastikan tetap berkantor di Gedung Negara Grahadi, Surabaya.

Jakarta menjadi pengecualian lain jika terdapat interpretasi deal tertentu di belakang panggung yang diulur demi kepentingan jangka panjang Partai Gerindra dan Prabowo.

PDIP dan Partai Golkar menjadi dua entitas politik legendaris yang seakan mau tidak mau hanya bisa menyimak pencapaian Partai Gerindra di Pilgub 2024 edisi Tanah Jawa.

Lantas, pertanyaan sederhana mengemuka. Mengapa hal itu bisa ditorehkan Gerindra?

Wes Wayahe?

Faktor utama yakni momentum naiknya Sang Ketua Umum, Prabowo Subianto sebagai Presiden RI menjadi payung utama analisis di samping faktor penunjang lain seperti dinamika politik dan aliansi yang anginnya memang pas.
Keberhasilan Partai Gerindra dalam Pilkada 2024, khususnya di level gubernur di Pulau Jawa, mengindikasikan transformasi signifikan dalam lanskap politik Indonesia.

Tiga kemenangan besar, masing-masing di Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, bukan hanya mempertegas pengaruh Prabowo Subianto sebagai figur sentral, tetapi juga menunjukkan kapasitas strategis Gerindra sebagai partai politik yang berhasil mengonsolidasikan kekuatan struktural dan elektoralnya.

Robert A. Dahl dalam bukunya Who Governs? mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan untuk memengaruhi keputusan dan tindakan orang lain.

Dalam konteks ini, keberhasilan Gerindra dapat dilihat sebagai hasil dari keberpihakan jaringan kekuasaan yang terstruktur. Sosok Prabowo Subianto, yang memimpin koalisi besar di tingkat nasional melalui Koalisi Indonesia Maju (KIM), memainkan peran sentral sebagai kingmaker yang dihormati secara sosial-politik.

Baca juga :  Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Di Banten, Andra Soni berhasil memanfaatkan momentum ini dengan menaklukkan Airin Rachmi Diany, figur yang berasal dari dinasti politik Ratu Atut Chosiyah. Keberhasilan ini mengindikasikan kemampuan Gerindra memutus rantai dominasi lokal melalui strategi aliansi strategis dan penyebaran jaringan kekuasaan baru.

Di Jawa Barat, Dedi Mulyadi tampil sebagai kandidat yang memanfaatkan strategi investasi sosial-politik yang dirancang dengan matang. Pierre Bourdieu dalam konsep capital menjelaskan bahwa modal sosial dan simbolik memiliki peran signifikan dalam membentuk legitimasi politik.

Kang Dedi Mulyadi a.k.a. KDM, dengan pengalaman panjang di dunia politik dan pendekatan populisnya, membangun modal sosial melalui interaksi langsung dengan masyarakat akar rumput.

Pendekatan ini dikombinasikan dengan modal simbolik yang diperkuat melalui media massa dan digital.

Keberhasilan Ahmad Luthfi di Jawa Tengah, wilayah yang dikenal sebagai “kandang banteng” PDIP, merupakan tanda pergeseran politik elektoral yang signifikan. Strategi Gerindra di sini kemungkinan besar memanfaatkan faktor ketokohan Luthfi sebagai purnawirawan polisi bintang tiga, yang memiliki kredibilitas dan pengaruh yang melampaui batas partai.

Strategi ini menunjukkan bagaimana Gerindra mampu menggunakan figur non-tradisional untuk mematahkan dominasi ideologis dan struktural lawan politiknya.

Di Jawa TImur, kemenangan Khofifah Indar Parawansa yang didukung oleh KIM mencerminkan kemampuan Gerindra untuk mengelola koalisi besar secara efektif. Menurut Maurice Duverger dalam Political Parties, koalisi yang berhasil membutuhkan konsistensi ideologis dan distribusi kekuasaan yang adil di antara anggotanya.

Keberhasilan koalisi pimpinan Gerindra mempertahankan posisi Khofifah menunjukkan bahwa mereka mampu menciptakan sinergi antarpartai dalam KIM.

Di titik ini, setidaknya terdapat empat faktor utama keberhasilan Gerindra di Tanah Jawa,yakni konsolidasi kepemimpinan sosok Prabowo dalam KIM, strategi figur sentral, manajemen koalisi efektif, serta pemutusan dominasi dinasti lokal.

Selain itu, faktor X yang cukup memengaruhinya adalah kolaborasi dengan Joko Widodo (Jokowi) yang dinilai masih memiliki pengaruh lintas dimensi, termasuk ke ranah tak langsung dengan elemen terkecil tiap wilayah.

Hal itu agaknya memengaruhi perspektif pemilih mengingat duet Prabowo-Jokowi secara tak langsung menciptakan impresi para kandidat kuat pemenang adalah mereka yang direstui dua sosok tersebut.

Di saat yang sama, kesuksesan Gerindra praktis mematahkan dominasi dua partai legendaris, yakni PDIP dan Partai Golkar. Lalu, mengapa ini bisa terjadi?

Backstage Game?

Selain ditopang faktor-faktor di atas, keberhasilan Partai Gerindra menguasai Pulau Jawa agaknya terkait dengan melemahnya dua partai besar, PDIP dan Partai Golkar, karena deal tertentu.

Pergantian Ketum Partai Golkar dari Airlangga Hartarto ke Bahlil Lahadalia kiranya menjadi satu hal determinan.

Di Banten, Airin yang nyaris tak dicalonkan Bahlil meski telah disiapkan Airlangga agaknya memberikan pengaruh signifikan bagi kesungguhan mesin partai. Padahal, Banten dikenal lama menjadi tempat yang nyaman untuk dimenangkan kandidat Partai Golkar dan trah Ratu Atut.

Di Jawa Barat dan Jakarta, keputusan sulit untuk memantaskan keikutsertaan Ridwan Kamil membuat mesin Partai Golkar seakan tak maksimal di kedua wilayah tersebut. Sebuah hal yang kemudian membawa berkah bagi Kang Dedi dan Partai Gerindra.

Di Jawa Tengah, simbiosis Partai Gerindra, Prabowo, Jokowi, dan Ahmad Luthfi sebagai eks Kapolda seolah menjadi kolaborasi dahsyat untuk mendobrak posisi PDIP sebagai penguasa selama ini.

Di Jawa Timur pun demikian, kendati status petahana dan political capital Khofifah-Emil memang sangat-sangat kuat.

Jakarta kemudian menjadi menarik karena diskursus satu atau dua putaran masih bergulir hingga pengumuman resmi KPU.

KIM Plus tentu enggan mengalah begitu saja di Jakarta dengan membawa nama besar Prabowo dan Jokowi. Terlebih, selisih suara untuk Pramono Anung-Rano Karno sangat tipis berdasarkan quick count.

Namun, skenario dan interpretasi lain tetap mengemuka di meja analisis saat Pramono-Rano bisa saja menjadi variabel daya tawar tertentu Prabowo dan Megawati PDIP, dengan atau tanpa melibatkan Jokowi.

Hal itu belum termasuk probabilitas saling pantau dan nilai mengenai proyeksi kandidat potensial di kontestasi elektoral RI-1 di 2029.

Akan tetapi, penjelasan di atas masih merupakan interpretasi berdasarkan variabel-variabel yang mengemuka. Yang jelas, dinamika yang ada tetap membuat Partai Gerindra tampak jadi yang paling diuntungkan di Pilkada 2024 level gubernur edisi Pulau Jawa. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

Baca juga :  Andra and the Backbone: Victory
spot_imgspot_img

#Trending Article

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?

Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Dengan kekalahan Ridwan Kamil dan Airin Rachmi Diany di Pilkada Serentak 2024. Mungkinkah Golkar akan semakin jatuh di bawah Bahlil Lahadalia?

Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Hasil tidak memuaskan yang diperoleh pasangan Ridwan Kamil-Suswono (RIDO) dalam versi quick count Pemilihan Gubernur Jakarta 2024 (Pilgub Jakarta 2024) menjadi pertanyaan besar. Mengapa calon yang didukung koalisi besar tidak tampil dominan? 

Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Pemerintahan Prabowo Subianto siapkan sejumlah strategi untuk tingkatkan investasi dan SDM. Mungkinkah Prabowo siap untuk “lompat katak”?

Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Endorse politik Anies Baswedan di Pilgub Jakarta 2024 kepada kandidat PDIP, yakni Pramono Anung-Rano Karno justru dinilai bagai pedang bermata dua yang merugikan reputasinya sendiri dan PDIP di sisi lain. Mengapa demikian?

More Stories

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Endorse politik Anies Baswedan di Pilgub Jakarta 2024 kepada kandidat PDIP, yakni Pramono Anung-Rano Karno justru dinilai bagai pedang bermata dua yang merugikan reputasinya sendiri dan PDIP di sisi lain. Mengapa demikian?

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.