Dengarkan artikel ini:
Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri mengakui bahwa partainya “babak belur” dalam rangkaian Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 lalu. Mengapa akhirnya Megawati mengakuinya sekarang?
“Understanding is the first step to acceptance, and only with acceptance can there be recovery.” – J.K. Rowling, Harry Potter and the Goblet of Fire
Kenny membaca berita itu sambil menyeruput kopi paginya. Di layar ponsel, terpampang tajuk: “Megawati Akui PDIP Babak Belur di Pemilu 2024”. Ia mengerutkan kening, matanya tertumbuk pada satu kalimat yang mencolok—pernyataan yang akhirnya keluar dari mulut Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri setelah berbulan-bulan keheningan.
Dalam pidatonya di acara Trisakti Tourism Award pada Kamis, 8 Mei 2025, Megawati tak lagi berputar-putar dengan bahasa simbolik. Ia mengakui bahwa PDIP mengalami kekalahan telak di Pilpres dan berbagai pilkada, menyebutnya sebagai “babak belur”. Kenny tak ingat kapan terakhir kali mendengar Megawati berbicara sejujur itu soal nasib politik partainya.
Ia teringat suasana tahun 2024—riuhnya kampanye, ramainya perdebatan, dan akhirnya kekalahan yang membekas. PDIP, yang dulu seolah tak tergoyahkan, tampak kehilangan pijakan di banyak daerah. Kenny menyimak lagi potongan video pidato itu; suara Megawati terdengar lirih namun tegas, seakan penuh beban sejarah.
Namun yang membuat Kenny terdiam bukan hanya isi pidatonya, tetapi waktu pengakuannya. Hampir satu tahun setelah kekalahan, baru kini Megawati buka suara secara terbuka. Apakah ini sinyal bahwa PDIP sedang bersiap menata ulang langkahnya, atau sekadar penyesalan terlambat yang tak berdampak?
Kenny memandang ke luar jendela, membiarkan pikirannya melayang. Mengapa setelah sekian lama akhirnya Megawati mengakui kegagalan partainya? Mungkinkah ini berdampak besar bagi PDIP dalam jangka panjang?
Megawati’s Phase of Overconfidence?
Kenny memandangi layar laptopnya, terpaku pada sebuah buku karya Dominic Johnson berjudul “Overconfidence and War: The Havoc and Glory of Positive Illusions”. Dalam buku itu, Johnson menjelaskan bagaimana kepercayaan diri yang berlebihan sering kali membuat para pemimpin mengabaikan risiko, meremehkan lawan, dan akhirnya membawa kehancuran.
Kenny mengangguk pelan—ia tahu sejarah telah berulang kali membuktikan hal itu. Ia teringat bagaimana Napoleon menyerbu Rusia dengan keyakinan penuh akan kemenangan, hanya untuk pulang dengan pasukan yang nyaris hancur. Atau Hitler, yang terlalu percaya diri saat membuka front Timur melawan Uni Soviet, yang kemudian mempercepat kekalahan Jerman dalam Perang Dunia II.
Bahkan dalam sejarah Indonesia, Kenny melihat bagaimana para pemimpin yang enggan mendengar kritik sering kali tersandung oleh keputusan mereka sendiri. Megawati Soekarnoputri, pikir Kenny, selama ini menunjukkan sikap serupa.
Dalam berbagai pidatonya tahun 2023 dan 2024, ia tampak yakin betul bahwa rakyat masih mencintai PDIP tanpa syarat. Ia bahkan sempat mengkritik keras generasi muda dan menyindir pihak yang dianggap mengkhianati nilai-nilai partai, seolah posisinya tak tergoyahkan.
Namun kini, di panggung Trisakti Tourism Award, nada itu berubah. Untuk pertama kalinya, Megawati menyebut PDIP telah “babak belur” dalam pemilu, seolah overconfidence itu akhirnya runtuh di hadapan kenyataan. Kenny memutar ulang rekaman pidato itu, mencoba menangkap nada jujur yang terlambat datang.
Lantas, mengapa kini Megawati mengakui bahwa partainya “babak belur”? Mungkinkah ini awal dari sebuah era bagi PDIP?
The Next Phase: Acceptance?
Pagi itu Kenny membaca ulang buku Brené Brown berjudul Daring Greatly, terutama bagian yang membahas pentingnya acceptance bagi siapa pun yang ingin berubah dan tumbuh. Brown menulis bahwa pengakuan terhadap kenyataan adalah langkah pertama menuju keberanian dan transformasi, terutama bagi mereka yang memegang kendali dan kepemimpinan.
Kenny merasa kalimat itu begitu relevan dengan situasi politik belakangan ini. Sejarah pun mencatat bagaimana para pemimpin besar pernah berada di titik terendah sebelum bangkit karena mampu menerima kenyataan.
Abraham Lincoln, misalnya, mengalami serangkaian kekalahan politik sebelum akhirnya menerima kelemahannya dan belajar dari situ, lalu memimpin Amerika Serikat (AS) melewati Perang Saudara. Di Asia, Mahatma Gandhi juga pernah gagal ketika menghabiskan waktu di Afrika Selatan, tetapi justru dari penerimaan terhadap kegagalan itulah ia menemukan pendekatan non-kekerasan yang mengubah India.
Kenny lalu teringat Megawati Soekarnoputri. Dalam pidato-pidato sepanjang 2024, ia tampak menyangkal kegoyahan PDIP, berbicara seolah partainya tetap digdaya meski tanda-tanda penurunan dukungan sudah terlihat jelas. Tapi minggu ini, dalam acara Trisakti Tourism Award, kalimat “babak belur” keluar dari mulutnya—sebuah pengakuan yang akhirnya datang setelah sunyi panjang.
Bagi Kenny, itu bukan sekadar retorika belaka. Di balik kalimat itu ada proses batin dan politik yang tak sederhana—sebuah penerimaan yang bisa menjadi titik balik. Karena ketika pemimpin berhenti menyangkal dan mulai melihat kenyataan apa adanya, ruang untuk perbaikan terbuka lebih luas.
Maka, Kenny pun menyimpulkan dalam hati: pengakuan Megawati soal PDIP yang “babak belur” bisa jadi pertanda bahwa partai ini kini siap bangkit kembali, menutup luka-luka lama, dan membuka lembaran baru. Bukan begitu? (A43)