HomeHeadlinePolitik Pendidikan Brilian Presiden Prabowo

Politik Pendidikan Brilian Presiden Prabowo

Kecil Besar

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Sekolah Rakyat menjadi langkah berani Presiden Prabowo dalam merombak wajah pendidikan nasional. Dengan kekuatan politik dan sumber daya penuh, inisiatif ini bisa menjadi terobosan progresif untuk memutus stigma negatif terhadap pendidikan bagi rakyat yang membutuhkan.


PinterPolitik.com

Tak perlu waktu lama bagi Presiden Prabowo Subianto untuk mengaktualisasikan fondasi kebijakan pendidikan yang mengejutkan sekaligus menjanjikan.

Mulai Juli 2025 nanti, program Sekolah Rakyat, gagasan revolusioner di sektor pendidikan, akan diimplementasikan sebagai langkah konkret, tak hanya di sektor pendidikan, tetapi juga berkontribusi paralel untuk memutus mata rantai kemiskinan struktural.

Program ini telah diumumkan secara terbuka melalui berbagai kanal resmi pemerintah dan memperlihatkan bahwa politik pendidikan bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan menjadi poros utama agenda transformasi sosial nasional.

Melalui Sekolah Rakyat, Presiden Prabowo tampak tidak hanya mewarisi diskursus lama tentang pentingnya pendidikan dasar dan menengah bagi rakyat yang membutuhkan, tetapi juga mencoba menyalakan mesin politik progresif di sektor yang selama ini terlalu teknokratis dan minim intervensi politik ideologis.

Dalam konteks negara demokrasi seperti Indonesia, keberanian seorang kepala negara untuk menjadikan pendidikan sebagai medan politik transformasional adalah langkah penting dan langka.

Tak bisa dipungkiri, Presiden Prabowo saat ini memiliki kekuatan politik, legitimasi elektoral, dan sumber daya institusional yang solid.

Dukungan elite politik, anggaran negara yang terfokus, serta struktur kekuasaan yang terkonsolidasi memberikan ruang yang luas bagi eks Menteri Pertahanan itu untuk benar-benar mengeksekusi visi pendidikan progresif ini.

Lalu, apakah implementasi gagasan itu cukup untuk disebut “politik pendidikan brilian”?

Menantang Status Quo?

Jika merujuk pada perspektif Paulo Freire, pendidikan tidak boleh menjadi proses penjinakan atau banking education di mana murid hanya menjadi tempat penyimpanan pengetahuan yang ditransfer secara satu arah.

Justru, pendidikan haruslah menjadi proses pembebasan di mana murid memahami realitas sosialnya, mempertanyakan ketimpangan, dan berani membayangkan perubahan.

Dalam konteks ini, Sekolah Rakyat menyentuh titik relevan sebagai simbol “pembebasan struktural”, karena hadir sebagai ruang pendidikan alternatif bagi rakyat membutuhkan yang termarjinalkan oleh sistem pendidikan formal yang elitis dan komersial.

Dari blue print yang telah digagas, Sekolah Rakyat agaknya dirancang tidak hanya untuk mendidik dari sisi akademik, tetapi juga menyentuh aspek moral, nasionalisme, hingga sosial-psikologis.

Baca juga :  Political Mimicry: Dari Anies, Jokowi, Hingga Risma

Ini menunjukkan sebuah desain kebijakan yang mencoba menjawab kebutuhan holistik masyarakat membutuhkan, bukan sekadar memberikan akses belajar baca-tulis-hitung.

Kepercayaan diri, identitas kebangsaan, dan kemandirian berpikir, semuanya tampak menjadi bagian dari ekosistem Sekolah Rakyat.

Lebih lanjut, inisiatif ini juga kiranya membawa visi pemerataan akses dan kualitas pendidikan, termasuk perhatian pada kesejahteraan guru, penyediaan infrastruktur pendukung, serta pemberantasan mafia pendidikan yang selama ini menjadi batu sandungan serius dalam sektor ini.

Sebagaimana diketahui, pendidikan di Indonesia kerap kali menjadi ladang bisnis mulai dari pengadaan proyek, sertifikasi, hingga seleksi guru.

Maka, jika Presiden Prabowo bisa menempatkan Sekolah Rakyat sebagai mekanisme kontrol dan intervensi atas kegagalan sistemik tersebut, maka publik sedang melihat bukan hanya sebuah proyek pendidikan, melainkan rekonstruksi institusional dalam tubuh negara.

Michael Apple, dalam Ideology and Curriculum, menekankan bahwa kurikulum bukanlah produk netral, tetapi medan ideologi. Dengan kata lain, Sekolah Rakyat akan menjadi arena pertarungan nilai.

Bila desainnya menekankan critical thinking, minat & bakat, dan problem solving sebagai nilai utama, maka ia sedang melawan bentuk pendidikan lama yang kaku dan berorientasi pada hafalan semata.

Lantas, bagaimana proyeksinya?

sekolah rakyat mirror mao 3

Tak Semudah Itu?

Kendati cukup menjanjikan, pertanyaan mendasarnya adalah apakah kebijakan ini benar-benar akan menembus lapisan bawah sosial atau hanya berhenti pada simbol populis belaka? Disinilah penting kiranya untuk memahami politik pendidikan Presiden Prabowo secara lebih kritis.

Dalam kajian Antonio Gramsci, pendidikan adalah alat utama dalam membentuk hegemoni, yakni pengaruh dominan suatu kelompok terhadap masyarakat melalui konsensus, bukan paksaan.

Dengan kontrol atas narasi pendidikan dan instrumen kelembagaannya, pemerintah bisa membentuk cara berpikir rakyat dalam jangka panjang. Lalu, apakah Sekolah Rakyat adalah proyek pembebasan, atau alat baru membangun loyalitas politik?

Praguga semacam itu mungkin sah-sah saja secara teoritis, apalagi mengingat kekuatan politik dengan aliansi yang luas.

Namun, tidak bisa serta-merta pula menafikan potensi progresif dari kebijakan ini hanya karena ada intensi kekuasaan.

Di sinilah pentingnya membangun partisipasi sipil, pengawasan independen, serta keterlibatan akademisi dan masyarakat dalam proses perencanaan dan evaluasi Sekolah Rakyat.

Baca juga :  Prabowo-SBY: Tomorrow’s Legacy

Tantangan lainnya boleh jadi adalah institusionalisasi. Banyak program pendidikan yang mulia di atas kertas gagal dalam implementasi karena birokrasi tidak siap, tidak memiliki kapasitas pelaksana, atau korup.

Presiden Prabowo agaknya harus menjadikan Sekolah Rakyat bukan sebagai program ad hoc berbasis proyek, tetapi sebagai entitas kelembagaan yang terintegrasi dengan sistem pendidikan nasional, dan punya mekanisme keberlanjutan lintas pemerintahan.

Tiga prasyarat utama yang mungkin dilakukan agar Sekolah Rakyat benar-benar menjadi politik pendidikan brilian. Pertama, konsistensi ideologis: bahwa program ini memang dimaksudkan sebagai alat pembebasan, bukan penjinakan.

Kedua, distribusi sumber daya yang merata dan adil, termasuk untuk wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar), serta peningkatan kapasitas guru.

Terakhir, partisipasi multisektor, di mana masyarakat, LSM, kampus, dan lembaga internasional bisa ikut berkontribusi dalam merancang dan mengevaluasi kebijakan ini.

Bila ketiga aspek itu mampu dijalankan secara konsisten, maka boleh jadi Sekolah Rakyat tidak hanya menjadi simbol politik populis, melainkan sebuah eksperimen kebijakan pendidikan progresif paling ambisius sejak era Reformasi.

Dalam sistem demokrasi, kebijakan pendidikan progresif adalah mungkin jika seorang pemimpin memiliki political will atau kemauan politik, kapasitas institusional, dan visi ideologis yang tajam.

Presiden Prabowo, dalam kasus Sekolah Rakyat, tampaknya telah menyiapkan ketiganya, memiliki legitimasi politik dan anggaran negara di tangannya serta memproyeksikan pendidikan sebagai alat strategis untuk memutus kemiskinan dan memperkuat bangsa.

Namun, politik pendidikan yang brilian tidak cukup dinilai dari niat baik atau desain kebijakan, tapi dari proses transformasi yang nyata di lapangan.

Jika Sekolah Rakyat benar-benar menjadi mesin mobilisasi sosial, pembebasan berpikir, dan keadilan pendidikan, maka sejarah akan mencatatnya sebagai terobosan revolusioner di masa awal kepemimpinan Presiden Prabowo.

Sebaliknya, jika terkonversi menjadi proyek loyalitas politik semata, terutama yang tak menjadi intensi luhur Presiden, maka ia akan berakhir sebagai slogan kosong dalam etalase kekuasaan.

Dalam dunia yang penuh ketimpangan dan informasi yang mudah dimanipulasi, politik pendidikan progresif adalah jalan sunyi yang membutuhkan keberanian, konsistensi, dan transparansi.

Sekarang, Presiden Prabowo telah memulainya. Rakyat, akademisi, dan masyarakat sipil tentu harus menjaganya. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Mythical Leaders from Gunung Lawu?

Gunung Lawu, menjulang gagah di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, bukan sekadar gunung. Ia adalah jantung rahasia Jawa, tempat para leluhur dipercaya masih bersemayam, dan panggung abadi bagi narasi kepemimpinan yang tak lekang oleh waktu.

Gonjang-ganjing Perang Konser ASEAN

Setelah Singapura konser Taylor Swift dan Lady Gaga, kini giliran Thailand dengan Tomorrowland. Alarm perang konser ASEAN untuk Indonesia?

America Party, PSI Elon Musk?

Elon Musk dikabarkan akan mendirikan America Party sebagai partai ketiga di AS, menantang dominasi Partai Demokrat dan Republik. Mungkinkah ini strategi untuk “menggerogoti” status quo peta politik? 

Byurr! Pramono, Politik Banjir Kiriman?

Ketika Pramono menyebut “banjir kiriman” sebagai hal yang given, publik dihadapkan pada dilema klasik antara penjelasan dan penyelesaian. Apakah ini sekadar narasi lama yang diulang, atau sinyal kegagalan kolektif menangani krisis air Jakarta secara tuntas dari hulu hingga hilir?

SBY Effect: Jalan RI-2 AHY?

Di tengah situasi ekonomi yang tidak menentu, kerinduan terhadap era SBY kembali mencuat. Apakah ini pertanda arah baru dalam politik Indonesia?

Maye Musk: Senjata Elon-Tiongkok?

Di tengah perseteruannya dengan Presiden Trump, Elon Musk mendapatkan dukungan dari netizen Tiongkok.

Mengapa Xi-Putin Suka “Menghilang”?

Belakangan ini, absennya Xi Jinping dari publik menjelang KTT BRICS 2025 menarik perhatian sejumlah media internasional. Fenomena seperti ini bukan hal baru, dan pernah terjadi juga pada beberapa pemimpin dunia lainnya.

Myanmar and Dasco’s Strategic Idea?

Pernyataan Sufmi Dasco Ahmad soal operasi militer selain perang dalam konteks isu diplomati terkini di Myanmar kiranya bukan sekadar reaksi spontan. Mengapa berikan?

More Stories

Byurr! Pramono, Politik Banjir Kiriman?

Ketika Pramono menyebut “banjir kiriman” sebagai hal yang given, publik dihadapkan pada dilema klasik antara penjelasan dan penyelesaian. Apakah ini sekadar narasi lama yang diulang, atau sinyal kegagalan kolektif menangani krisis air Jakarta secara tuntas dari hulu hingga hilir?

Myanmar and Dasco’s Strategic Idea?

Pernyataan Sufmi Dasco Ahmad soal operasi militer selain perang dalam konteks isu diplomati terkini di Myanmar kiranya bukan sekadar reaksi spontan. Mengapa berikan?

Auto Damage Teddy, AHY, Sherly?

Beberapa pejabat publik seperti Teddy Indra Wijaya, AHY, hingga Sherly Tjoanda bukan hanya tampil menarik, mereka menjelma jadi wajah baru politik Indonesia yang serba visual. Namun, mengapa fenomena pejabat publik dengan impresi visual menarik ini menjadi penting dalam diskursus politik kekinian?