HomeHeadlinePolitik Didik “Nyapuin” Nadiem?

Politik Didik “Nyapuin” Nadiem?

Kecil Besar

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Terminologi satir generasi cemas tak jarang dikaitkan dengan kebijakan Nadiem Makarim di masa lalu. Namun, hal itu agaknya tak 100 persen tepat kendati pemerintahan Presiden Prabowo Subianto harus “nyapuin sana sini”. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

Ketika Nadiem Anwar Makarim dilantik sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 2019, banyak yang menyambutnya dengan harapan besar.

Pendiri Gojek itu dipersepsikan sebagai simbol dari generasi muda, teknologi, dan semangat disrupsi, segala sesuatu yang seolah cocok untuk mendobrak kemapanan birokrasi pendidikan Indonesia.

Melalui semboyan “Merdeka Belajar”, Nadiem berupaya merombak wajah pendidikan nasional dengan berbagai inovasi, mulai dari penghapusan Ujian Nasional, perombakan kurikulum, digitalisasi sekolah, platform belajar daring, hingga restrukturisasi dana kampus melalui skema seperti Kampus Merdeka.

Namun, dalam praktiknya, terobosan tersebut tidak sepenuhnya membumi. Alih-alih menjadi jembatan transformasi pendidikan ke arah yang lebih inklusif dan adil, banyak kebijakan era Nadiem justru menjelma menjadi beban tambahan bagi para guru, murid, dan institusi pendidikan.

Hal itu khususnya terjadi di daerah yang jauh dari pusat kota dan pemerintahan. Tak sedikit pengamat menilai bahwa pendekatan Nadiem terlalu top-down, terlalu teknokratis, dan nyaris terputus dari realitas sosial pendidikan di Indonesia.

Kini, dengan bergantinya pemerintahan ke era Presiden Prabowo Subianto, arah kebijakan pendidikan mulai menunjukkan pergeseran. Salah satu langkah simbolik yang dilakukan adalah pemisahan kembali antara pendidikan dasar-menengah dan pendidikan tinggi.

Hal ini bisa dibaca sebagai semacam koreksi atas pendekatan sentralistik dan serba-digital yang diwariskan oleh Nadiem.

Pertanyaannya, apakah ini langkah substantif atau sekadar reposisi struktural? Dan sejauh mana warisan Nadiem akan “disapu bersih” oleh pemerintahan Prabowo?

Inovasi Tersandung Ketimpangan?

Untuk memahami kegagalan sekaligus paradoks dari era Nadiem, kita perlu memulai dengan satu premis fundamental, yakni pendidikan di Indonesia adalah cerminan dari ketimpangan struktural nasional.

Dalam bahasa teoretis Pierre Bourdieu, misalnya, institusi pendidikan atau sekolah bukan hanya institusi pembelajaran, tetapi juga arena reproduksi ketimpangan melalui apa yang ia sebut sebagai cultural capital dan habitus.

Ketika kebijakan pendidikan bersifat universal, tetapi kenyataan sosiologis anak-anak Indonesia tidak seragam, maka terjadi mismatch antara idealisme program dan realitas penerima manfaat.

Baca juga :  Rajai G20: Prabowo the Grassroot General

Digitalisasi dan platform-platform seperti Rumah Belajar, Merdeka Mengajar, dan Kampus Merdeka memang progresif di atas kertas.

Tetapi siapa yang paling mampu mengaksesnya? Tentu, anak-anak di perkotaan, dengan dukungan perangkat, jaringan internet, dan orang tua yang relatif melek teknologi.

Sementara anak-anak di pedalaman, di keluarga miskin, dengan guru-guru yang masih kesulitan membuka e-mail atau mengoperasikan perangkat keras dan lunak teknologi, justru tertinggal lebih jauh dari sebelumnya.

Kementerian memang menyediakan pelatihan, modul, bahkan subsidi kuota internet. Namun, hal itu tidak menyentuh akar persoalan, yaitu ketimpangan infrastruktur, rendahnya literasi digital, dan minimnya interaksi sosial-pedagogis yang autentik.

Dalam banyak kasus, guru menjadi operator program, bukan fasilitator pembelajaran. Murid menjadi konsumen tugas, bukan subjek yang dibebaskan untuk berpikir.

Maka tidak heran jika dalam beberapa tahun terakhir muncul istilah sinis “generasi cemas”, lebih dari “kelakuan” mereka, tetapi juga menjadi citra dari generasi yang terbiasa mengakses media sosial sebagai fitur teknologi yang sukar dicegah dengan berbagai manfaat dan kemudaratannya, tetapi gagap saat harus berdialog atau berinteraksi konkret dengan dunia nyata. Tentu, ini bukan dalam konteks generalisir.

Lebih dari itu, warisan Nadiem juga belum berhasil menjangkau keluarga sebagai ruang pendidikan paling awal dan utama. Padahal, dalam banyak studi perkembangan anak, pendidikan rumah tangga memiliki peran krusial dalam membentuk attitude dan kemampuan kognitif anak.

Program seperti “Kampus Mengajar” tidak serta merta bisa menembus realitas rumah-rumah yang penuh keterbatasan.

Maka, sangat wajar jika saat ini Presiden Prabowo dan jajarannya merasa perlu untuk “mengulang dari nol”, meski dilakukan secara perlahan dan sangat hati-hati.

penjurusan sekolah muti nyapuin nadiem 1

Meneropong Politik Didik Era Prabowo

Pendidikan bukan hanya soal efisiensi dan inovasi, tetapi juga menyangkut keadilan sosial. Pemerintahan Prabowo seolah menyadari bahwa pendekatan teknokratis era Nadiem perlu dikompensasi dengan pendekatan kultural dan struktural yang lebih inklusif.

Langkah awal pemisahan wewenang antara pendidikan dasar-menengah dan pendidikan tinggi mencerminkan niat untuk memberi fokus pada masing-masing jenjang, dan menghindari pemusatan kekuasaan kebijakan pada satu figur seperti sebelumnya.

Namun, pekerjaan rumah seolah masih sangat banyak. Jika pemerintah ingin benar-benar menjangkau akar permasalahan pendidikan Indonesia, maka pendekatan kebijakan harus berbasis “ekologi pendidikan”.

Dalam pendekatan ini, pendidikan dilihat sebagai sistem kompleks yang melibatkan interaksi antara sekolah, rumah, komunitas, dan negara. Maka solusi pendidikan tidak bisa berhenti pada platform digital atau penggantian kurikulum, melainkan harus merambah pada beberapa hal.

Baca juga :  Prabowo dan Lahirnya Gerakan Non-Blok 2.0?

Pertama dan utama, kiranya adalah “revolusi” orang tua, yakni dengan mengadakan pendidikan keluarga yang terstruktur, melibatkan posyandu, PKK, dan media lokal untuk memberikan pelatihan dasar tentang pentingnya kasih sayang, literasi awal, etika, dan pendidikan karakter sejak dini. Intinya, menjadikan orang tua, atau orang terdekat di rumah sebagai pivot karakter anak.

Kedua, investasi infrastruktur dan pelatihan guru daerah. Hal ini akan membalik logika proyek besar ke logika penguatan lokal. Alih-alih fokus pada sekolah unggulan atau proyek percontohan, fokus pada sekolah-sekolah marjinal sebagai starting point.

Ketiga, desentralisasi kebijakan berbasis konteks lokal agaknya juga cukup esensial, yakni dengan memberikan otonomi kepada sekolah dan pemerintah daerah untuk menyesuaikan kurikulum dengan konteks budaya, geografis, dan sosial-ekonomi masyarakatnya, alih-alih memaksakan standar nasional yang seragam.

Keempat,  penguatan relasi antarmanusia dalam proses belajar. Tidak semua proses belajar bisa digantikan dengan teknologi. Pendidikan jamak dinilai adalah relasi, bukan hanya transmisi.

Maka penting kiranya untuk mengembalikan otoritas pedagogis kepada guru dan komunitas, bukan sekadar mengikuti algoritma aplikasi.

Di sinilah letak tantangan politik didik pemerintahan baru Presiden Prabowo. Tak lain, membebaskan pendidikan dari jebakan birokrasi dan komodifikasi, serta menegakkan kembali fungsinya sebagai jalan pembebasan.

Dalam istilah Paulo Freire, pendidikan harus menjadi alat emansipasi, bukan domestikasi. Dan emansipasi tidak bisa hanya dibangun melalui tombol dan modul daring. Hal yang dibutuhkan adalah relasi, kesadaran, dan partisipasi.

Generasi emas 2045 bukan sekadar jargon kuantitatif. Hal itu tentu harus dimaknai sebagai generasi yang sadar akan posisinya dalam masyarakat, mampu berpikir kritis, berempati, dan produktif secara sosial.

Warisan Nadiem mungkin tidak sepenuhnya gagal, tetapi jelas belum membumi. Sekarang, saatnya pemerintahan Prabowo mengambil langkah lanjutan. Bukan hanya menyapu sisa-sisa kebijakan lama, tetapi merancang ulang politik didik yang menjangkau, memberdayakan, dan membebaskan.

Politik yang tidak hanya menjadikan anak sebagai objek, tetapi juga menjadikan orang tua, guru, dan komunitas sebagai bagian dari ekosistem pendidikan yang hidup dan adil. (J61)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo’s Power School

Presiden Prabowo berencana membangun sekolah khusus untuk anak-anak cerdas-pandai dari kelompok masyarakat miskin: Sekolah Rakyat.

Surya Paloh Pilih Anies atau Prananda? 

Layaknya partai-partai senior lain, isu regenerasi kepemimpinan mulai muncul di Partai Nasdem. Kira-kira, siapa sosok yang akan dipercaya Surya Paloh untuk menjadi penggantinya? 

Chronicles Rewritten: Enter Fadli Zon

Menteri Kebudayaan Fadli Zon sat set menggarap program penulisan sejarah Indonesia. Bukan tanpa alasan, ada banyak bagian dari lembaran sejarah Indonesia yang belum sepenuhnya tepat atau bahkan masih menimbulkan perdebatan kebenarannya.

Rooster Fights Parpol “Papan Bawah”

Dengan kinerjanya positifnya di “lapak” masing-masing, Verrel Bramasta, Gamal Albinsaid, dan Agus Harimurti Yudhoyono dinilai bisa menjadi game changer partainya masing-masing, bahkan bisa saja menjadi variabel determinan dinamika politik Indonesia ke depan. Mengapa demikian?

“Dansa Epik” Donald Trump & Xi Jinping? 

Dunia dikejutkan oleh penundaan tarif ratusan persen antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Menariknya, hal ini diprediksi akan sangat berdampak terhadap Eropa. 

GOAT! Verrell Titisan Messi di Politik?

Intrik anggota DPR Verrell Bramasta dalam kebijakan mengirim anak nakal ke barak memantik interpretasi yang cenderung positif terhadap kiprah politiknya kelak. Bahkan, bukan tidak mungkin menapaki karier tertinggi jika Verrell mampu konsisten dan kian elegan berpolitik. Mengapa demikian?

Politik “Siuman” Megawati?

Megawati Soekarnoputri mengakui PDIP “babak belur” dalam rangkaian Pemilu 2024 lalu. Mengapa akhirnya Megawati mengakuinya sekarang?

MBG = “Mangsa” Bill Gates?

Bill Gates kunjungi Indonesia dan tinjau program MBG bersama Presiden Prabowo Subianto. Mengapa ini tunjukkan bahwa MBG berperan penting?

More Stories

Rooster Fights Parpol “Papan Bawah”

Dengan kinerjanya positifnya di “lapak” masing-masing, Verrel Bramasta, Gamal Albinsaid, dan Agus Harimurti Yudhoyono dinilai bisa menjadi game changer partainya masing-masing, bahkan bisa saja menjadi variabel determinan dinamika politik Indonesia ke depan. Mengapa demikian?

GOAT! Verrell Titisan Messi di Politik?

Intrik anggota DPR Verrell Bramasta dalam kebijakan mengirim anak nakal ke barak memantik interpretasi yang cenderung positif terhadap kiprah politiknya kelak. Bahkan, bukan tidak mungkin menapaki karier tertinggi jika Verrell mampu konsisten dan kian elegan berpolitik. Mengapa demikian?

Teuku Umar, Surakarta, dan The Four Empire?

Kendati aktor politik prominen yang silih berganti adalah sebuah keniscayaan, terdapat empat poros kekuatan yang kiranya akan terus lestari di era kontemporer. Bagaimana itu bisa terjadi?