HomeHeadlinePasir Laut, Senjata Pamungkas Jokowi?

Pasir Laut, Senjata Pamungkas Jokowi?

Selain dianggap menguntungkan Singapura, izin ekspor pasir laut Indonesia melalui Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu juga dinilai sarat akan kepentingan tertentu. Benarkah demikian? 


PinterPolitik.com 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencabut larangan ekspor pasir laut Indonesia yang telah berlaku selama 20 tahun dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. 

Peraturan baru ini dinilai akan membuka ruang bagi perusahaan untuk mengekspor pasir laut ke luar negeri, walaupun dengan catatan jika kebutuhan dalam negeri terpenuhi. 

Embel-embel “selama kebutuhan dalam negeri terpenuhi” itu agaknya tidak menyamarkan tujuan utama kepentingan ekspor. Sebab, selama ini, berbagai megaproyek reklamasi di dalam negeri terus berlanjut. 

Kuatnya kepentingan luar negeri di balik izin ekspor pasir laut pun bisa dilihat dari dinamika yang terjadi di negara tetangga Indonesia, yakni Singapura, sejak tahun 2019. 

Pada kurun waktu tersebut, Singapura sebagai negara pengimpor pasir laut terbesar di dunia mulai kebingungan mencari pasokan pasir laut untuk proyek reklamasi negaranya karena Malaysia berhenti mengirim pasir laut. 

Dengan pencabutan larangan ekspor pasir laut Indonesia yang sudah berlangsung sejak tahun 2003, maka jamak dinilai Singapura akan diuntungkan dengan berbagai macam proyek reklamasinya untuk memperluas daratan. 

siap kejar sampai ke singapura

Sementara itu, pemerintah beralasan bahwa peraturan itu diterbitkan justru untuk mengendalikan sedimentasi di laut disamping untuk menambah pendapatan negara. 

Pemerintah juga mengatakan izin yang akan dikeluarkan untuk perusahaan yang melakukan ekspor pasir laut akan melalui mekanisme yang ketat. 

Peraturan ini kemudian menimbulkan banyak penolakan dari berbagai pihak, terutama para pegiat lingkungan yang mengatakan kebijakan ini adalah suatu kemunduran pengelolaan lingkungan di Indonesia. 

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Parid Ridwanuddin mengatakan bahwa PP tersebut akan berisiko mengurangi pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia. Sebab, sedimen pasir yang dikeruk dapat merusak ekosistem pantai dan menimbulkan abrasi. 

Menurut catatan WALHI, sudah ada sekitar 20 pulau-pulau kecil di Indonesia yang tenggelam dan 115 pulau-pulau kecil lainnya yang terancam tenggelam. 

Lalu, meskipun muncul berbagai penolakan dan ancaman kerusakan lingkungan yang membayangi, mengapa Presiden Jokowi mencabut kembali larangan ekspor pasir laut? Apakah ada tujuan lain yang hendak dicapai melalui ekspor pasir laut? 

Upaya Desekuritisasi? 

Dengan kondisi geografi hamparan lautan Indonesia mencapai 5,8 juta km persegi dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 km, sudah seharusnya Indonesia serius dengan keamanan kedaulatan dan keberlangsungan hidup daerah pesisir. 

Namun, yang terjadi sekarang adalah eksistensi ancaman keamanan kedaulatan dan keberlangsungan hidup daerah pesisir menyusul dicabutnya larangan eksploitasi pasir laut untuk kebutuhan ekspor. 

Barry Buzan dalam bukunya Security: A New Framework for Analysis menjelaskan bahwa pengidentifikasian isu tertentu (baik politik maupun non-politik) untuk dijadikan sebagai agenda keamanan dan melalui pendekatan yang represif dan koersif disebut sebagai sekuritisasi. 

Baca juga :  PKB, Cak Imin Sukses “Bersihkan” Trah Gus Dur?

Proses sekuritisasi berkaitan erat dengan terminologi ancaman yang bersifat lintas sektoral, yakni sektor militer, sektor ekonomi, sektor sosial, dan sektor lingkungan. 

Sementara, desekuritisasi adalah situasi yang pada akhirnya tidak melihat isu sebelumnya sebagai ancaman, dan akhirnya, isu tersebut tidak lagi dilihat dari bahasa keamanan. 

Berkaca dari penjelasan tersebut, upaya pemerintah Indonesia melarang ekspor pasir laut pada tahun 2003 karena adanya ancaman pulau-pulau kecil terluar akan tenggelam dan kerusakan ekosistem laut bisa dikatakan adalah sebuah bentuk sekuritisasi. 

Hal itu karena eksploitasi pasir laut untuk kebutuhan ekspor, terutama ke negara yang berbatasan langsung dianggap mengancam keamanan dan kedaulatan, baik dari sektor lingkungan maupun penambahan daratan yang berpotensi merubah batas teritorial. 

Sementara itu, kebijakan berlawanan yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi dengan dicabutnya larangan ekspor pasir laut kiranya merupakan bentuk desekuritisasi. 

Hal itu tampaknya karena Presiden Jokowi memandang penyelesaian permasalahan dengan Singapura dapat diselesaikan dengan sebuah negosiasi dan kompromi. 

Presiden Jokowi juga seakan memandang masalah tersebut bukan sebuah masalah keamanan yang serius dan mengancam kedaulatan negara karena masih bisa dikompromikan dan dinegosiasikan agar kepentingan kedua negara bisa tercapai. 

Kompromi yang dimaksud di sini kemungkinan terkait dengan proyeksi situasi ketika pemerintah Indonesia dan Singapura bernegosiasi tentang perjanjian ekstradisi, perbatasan, hingga pengelolaan wilayah udara yang diminta Indonesia disepakati oleh Singapura. 

Tak terkecuali kabar demi menarik investasi Singapura yang seolah sangat dibutuhkan demi pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. 

Kesepakatan itu jamak dinilai menyertakan kesepakatan dibukanya kembali ekspor pasir laut oleh pemerintah Indonesia ke Singapura. 

Semenjak tahun 2019, Malaysia yang menjadi pemasok utama pasir laut bagi Singapura berhenti melakukan ekspor. Singapura kebingungan mencari pasokan pasir laut untuk kebutuhan reklamasi dan mengancam eksistensi negara itu. 

Kog Yue-Choong dalam publikasinya berjudul Environmental Management and Conflict in Southeast Asia Land Reclamation and its Political Impact menjelaskan bahwa proyek reklamasi penting bagi daya saing ekonomi Singapura di masa lalu dan akan menjadi penting di masa depan. 

Presiden Jokowi kiranya cukup “cerdik” dan memahami apa turut yang dikemukakan Yue-Choong itu. 

Mantan Wali Kota Solo itu agaknya dapat melihat peluang akan kepentingan Singapura terhadap proyek reklamasinya untuk “memaksa” mereka menegosiasikan apa yang selama ini menjadi kepentingan Indonesia. 

Lantas, melihat adanya peluang dan keuntungan yang akan di dapat Indonesia, apakah langkah yang diambil Presiden Jokowi tersebut sudah tepat? 

Harus Contoh Mahathir? 

Selama ini, ada dua negara yang menjadi pemasok utama pasir laut bagi proyek reklamasi Singapura, yaitu Indonesia dan Malaysia. 

Uniknya, dua negara tetangga Singapura itu seolah secara bergantian menjadi pemasok utama pasir laut bagi Negeri Singa itu. 

Baca juga :  Paloh Kembali ke Pangkuan Jokowi?

Pola yang seolah bergantian antara Indonesia dan Malaysia ini sebenarnya juga di pengaruhi kondisi hubungan kedua negara itu dengan Singapura pada periode tertentu. 

Sering kali, dihentikannya ekspor pasir laut dari kedua negara menjadi cara untuk menaikkan posisi tawar mereka dalam suatu isu yang berkaitan dengan Singapura. 

Pada tahun 1997, Malaysia menghentikan ekspor pasir karena adanya ketidaksepakatan harga penjualan air bersih dari Malaysia ke Singapura. 

Sehingga, pada tahun itu Singapura beralih ke Indonesia sebagai pemasok utama pasir laut. Sebelum pada akhirnya, Indonesia menghentikan ekspor pada 2003 karena perundingan batas teritorial negara yang buntu. 

Indonesia kemudian mencoba bernegosiasi kembali dengan Singapura pada tahun 2007 dengan menyertakan perjanjian ekstradisi. 

Namun, karena saat itu Singapura masih mendapat pasokan pasir dari Malaysia, maka pemerintah Singapura menolak negosiasi itu. 

Setelah Indonesia berhenti ekspor tahun 2003, Malaysia kembali menjadi eksportir pasir untuk Singapura karena harga air bersih yang diajukan Malaysia sudah disepakati Singapura. 

Terbaru, tahun 2019 Malaysia menghentikan pasokan pasir dengan alasan sentimen Perdana Menteri (PM) Mahathir Mohamad yang tidak senang melihat keuntungan dan kemajuan Singapura berkat proyek reklamasi tapi menjadi kerugian bagi Malaysia. 

Karena sentimen negatif yang ditunjukkan Mahathir kemungkinan membuat Singapura kembali beralih ke Indonesia. 

Singapura tampaknya bersedia menurunkan ego mereka dengan menyetujui perjanjian batas negara, ekstradisi, dan pengelolaan wilayah udara yang diajukan Indonesia. 

Berkaca pada pola interaksi yang ditunjukkan ketiga negara diatas, tampaknya cukup menggambarkan bagaimana ketiga negara bersikap pragmatis terkait ekspor-impor pasir laut. 

Interaksi yang dilakukan bukan berdasarkan kelestarian lingkungan tapi hanya berdasarkan kepentingan yang hendak dicapai ketiga negara saat itu. 

George R. Knight dalam bukunya berjudul Issues and Alternatives in Educational Philosophy menjelaskan pragmatisme memiliki tiga ciri. Pertama, memusatkan perhatian pada hal-hal dalam jangkauan pengalaman indera manusia. 

Kedua, apa yang dipandang benar adalah apa yang berguna atau berfungsi. Terakhir, manusia bertanggung jawab atas nilai-nilai dalam masyarakat. 

Melihat ciri yang disebutkan oleh George, ciri kedua adalah yang paling tepat dalam menggambarkan perilaku Indonesia dan Malaysia dalam menyikapi kerja sama ekspor pasir laut ke Singapura. 

Dengan ancaman kerusakan lingkungan yang ada, Malaysia dan Indonesia lebih melihat pada berfungsi atau tidaknya ekspor pasir laut ke Singapura sebagai salah satu alat tawar dalam diplomasi mereka. 

Indonesia dan Malaysia seakan sadar jika Singapura sangat bergantung dari kiriman pasir laut salah satu dari mereka. 

Meskipun, ada negara lain yang menjadi pengimpor bagi Singapura, namun mahalnya biaya akomodasi karena jarak yang tidak sedekat Malaysia dan Indonesia menjadi kendala.  

Oleh karena itu, jika memang dieksekusi dengan cermat, optimal, dan diiiringi dengan implementasi yang tepat, “permainan pasir laut” kiranya memang dapat dijadikan kepentingan Indonesia. (S83) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies-Ganjar Harus Cegah Tragedi 2019 Terulang

Jelang pengumuman hasil Pilpres 2024 oleh KPU, banyak pihak mewanti-wanti soal peluang kembali terjadinya kerusuhan seperti di Pilpres 2019 lalu.

Jokowi “Akuisisi” Golkar?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut ingin menempatkan orangnya menjadi ketum Golkar. Mungkinkah ini cara Jokowi "akuisisi" Golkar?

Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Dalam sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, anggota komite Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Lalu, apa yang bisa dimaknai dari hal itu?

Mayor Teddy, Regenerasi Jenderal Berprestasi?

Proyeksi karier apik, baik di militer maupun setelah purna tugas nantinya eksis terhadap ajudan Prabowo Subianto, Mayor Inf. Teddy Indra Wijaya pasca dipromosikan menjadi Wakil Komandan Batalyon Infanteri Para Raider 328 Kostrad. Sosok berlatar belakang mililter yang "familiar" dengan politik dan pemerintahan dinilai selalu memiliki kans dalam bursa kepemimpinan bangsa di masa mendatang.

Biden ‘Setengah Hati’ Selamati Prabowo?

Presiden Amerika Serikat Joe Biden akhirnya beri selamat kepada Prabowo Subianto. Namun, mungkinkah hanya 'setengah hati' selamati Prabowo?

Benarkah PDIP Jadi Oposisi “Lone Wolf”? 

Wacana oposisi pemerintahan 2024-2029 diprediksi diisi oleh partai politik (parpol) yang kalah dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, yakni PDIP, PKB, PKS, Partai NasDem, dan PPP. Namun, rencana itu tampaknya akan berantakan dan menimbulkan probabilitas meninggalkan PDIP sebagai satu-satunya parpol oposisi di pemerintahan 2024-2029. Mengapa demikian?

Prabowo Perlu Belajar dari Qatar? 

Prabowo Subianto digadangkan akan membawa gaya diplomasi yang cukup berbeda dengan apa yang diterapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, jika Prabowo benar-benar ingin membuat Indonesia lebih berpengaruh di dunia internasional, mungkin ada baiknya kita berkaca dan belajar dari pencapaian diplomasi Qatar. 

Anomali Jokowi

Posisi politik Presiden Jokowi saat ini masih sangat kuat. Bahkan bisa dibilang Jokowi adalah salah satu presiden yang tidak mengalami pelemahan kekuasaan di akhir masa jabatan yang umumnya dialami oleh para pemimpin di banyak negara.

More Stories

Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Dalam sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, anggota komite Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Lalu, apa yang bisa dimaknai dari hal itu?

Benarkah PDIP Jadi Oposisi “Lone Wolf”? 

Wacana oposisi pemerintahan 2024-2029 diprediksi diisi oleh partai politik (parpol) yang kalah dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, yakni PDIP, PKB, PKS, Partai NasDem, dan PPP. Namun, rencana itu tampaknya akan berantakan dan menimbulkan probabilitas meninggalkan PDIP sebagai satu-satunya parpol oposisi di pemerintahan 2024-2029. Mengapa demikian?

AS-Tiongkok Berebut Prabowo? 

Kucuran dana hibah dari United States Trade and Development Agency (USTDA) sebesar US$2 juta atau Rp31 miliar untuk mendukung pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara dinilai sebagai bentuk “rayuan” kepada pemerintahan baru untuk mendekat ke Amerika Serikat (AS) dan menjauhi Tiongkok. Mengapa demikian?