Dengarkan artikel ini:
Debut girl group Indonesia, no na, bersama 88rising menandai babak baru dalam perkembangan I-pop yang berpotensi menjadi alat soft power global. Mungkinkah budaya pop Indonesia kini siap menembus pasar internasional?
“Straight for the heart. You never seen a sniper lookin’ this cute” – no na, “Shoot” (2025)
Kenny sedang menatap layar laptopnya, berusaha memahami pusaran isu politik yang akhir-akhir ini membuat kepalanya penat. Namun, fokusnya buyar saat notifikasi YouTube menyala—“no na – Shoot (Official MV)”.
Ia tahu betul siapa 88rising tapi kali ini berbeda. no na adalah girl group pertama dari Indonesia yang dibentuk langsung oleh label global itu, dan videonya langsung trending.
Empat gadis muda—Baila Fauri, Christy Gardena, Shazfa Adesya, dan Esther Geraldine—memancarkan energi yang tak bisa diabaikan. Gerakan mereka tajam, musiknya catchy, dan visualnya tak kalah dengan grup-grup K-Pop papan atas.
Kenny tak menyangka, ia yang biasa skeptis dengan industri hiburan, bisa ikut tenggelam dalam euforia debut ini. Kolom komentar penuh dengan dukungan, dari dalam negeri maupun luar.
Ia mulai menggali lebih dalam—melihat profil masing-masing anggota, menonton behind-the-scenes, membaca analisis pengamat musik Asia. Di X, no na dan lagu barunya “Shoot” viral dalam hitungan jam.
Saat Kenny kembali melirik berita politik yang masih penuh silang pendapat dan drama kekuasaan, pikirannya justru tertuju pada betapa rapi dan terarahnya peluncuran no na. Seolah-olah, inilah bentuk “diplomasi lunak” baru dari Indonesia yang tak datang dari kementerian, tapi dari panggung musik global.
Kenny menghela napas dan bertanya dalam hati: Mengapa debut no na ini bisa menjadi penting bagi perkembangan pop Indonesia atau Indonesian pop (I-pop) ke depannya? Mengapa ini punya dampak luas dari sekadar hanya girl group atau musik itu sendiri?
I-pop: Hidden Gem Indonesia?
Kenny masih duduk di depan laptopnya, namun kali ini bukan untuk membaca berita politik atau menonton video musik. Ia mencari tulisan akademis tentang budaya populer dan diplomasi kultural, mencoba memahami mengapa dirinya begitu tertarik dengan fenomena no na.
Dalam buku berjudul The New Public Diplomacy: Soft Power in International Relations oleh Jan Melissn, Kenny menemukan gagasan bahwa budaya pop bisa menjadi alat ampuh untuk membangun citra negara secara global. Ia pun mulai menyadari bahwa Indonesia sesungguhnya punya “hidden gem” dalam industri popnya sendiri—yang selama ini belum dimanfaatkan secara maksimal.
Musik pop Melayu, misalnya, telah lama melintasi batas negara. Band seperti Wali punya basis penggemar di Malaysia, dan program seperti KDI Academy justru diterima hangat di negara tetangga.
Di sisi lain, NIKI, musisi muda asal Indonesia di bawah label 88rising, dikenal luas bukan hanya di Tanah Air, tetapi juga di Filipina dan komunitas diaspora Asia di Barat. Kenny membatin bahwa ini bukan sekadar soal lagu-lagu enak, tetapi juga tentang identitas kultural yang diakui dan dirayakan lintas negara.
Namun, dari semua itu, pemerintah Indonesia belum benar-benar memanfaatkan kekuatan I-pop secara strategis. Dalam kerangka diplomasi kultural, industri musik Indonesia masih berjalan sendiri, tanpa dukungan kebijakan yang terarah dan berkelanjutan.
Kini Kenny berpikir, kehadiran no na sebagai girl group yang sejak awal didesain untuk pasar global bisa jadi sesuatu yang berbeda. Mungkinkah ini awal dari era baru bagi soft power Indonesia?
Hibridiasi Kultural ala no na?
Kenny kini membaca buku Conceptualizing Cultural Hybridization: A Transdisciplinary Approach yang disunting oleh Philipp Wolfgang Stockhammer. Buku ini menjelaskan bahwa hibridisasi kultural adalah proses pencampuran elemen-elemen budaya berbeda yang melahirkan bentuk baru yang tak bisa dikategorikan secara tunggal.
Ia pun teringat bagaimana K-pop memanfaatkan strategi ini secara konsisten. Musik Korea dikawinkan dengan model grup vokal Amerika seperti Jackson 5, Boyz II Men, Destiny’s Child, dan NSYNC—menghasilkan formula yang kini mendunia.
no na tampaknya mengambil jalur serupa. Mereka tampil dengan koreografi rapi ala K-pop, lagu berbahasa Inggris, namun tetap membawa nuansa dan wajah Indonesia yang segar ke pentas global.
Kenny memperhatikan bagaimana visual mereka—warna kulit, raut wajah, bahkan aksen bicara—menjadi daya tarik tersendiri. Ini bukan sekadar meniru, tapi menyusun ulang tradisi pop dunia dengan sentuhan khas Indonesia.
Dalam lanskap yang dipenuhi girl group seperti BLACKPINK, TWICE, hingga NewJeans, kehadiran no na terasa sebagai alternatif dari Asia Tenggara yang belum pernah ada sebelumnya. Mereka bukan hanya mencoba mengikuti tren, tetapi juga menunjukkan bahwa Indonesia mampu menawarkan sesuatu yang baru.
Kenny menyimpulkan bahwa strategi hibridisasi kultural ini patut diperhatikan oleh pemerintah Indonesia jika ingin mengembangkan soft power secara serius. Hal ini tak hanya berlaku di musik, tapi juga di mode, kuliner, dan seluruh aspek budaya yang bisa menjangkau dunia melalui kombinasi yang cerdas antara lokal dan global.
Boleh jadi, dengan begitu, seperti lirik lagu no na di awal tulisan, Indonesia bisa langsung memenangkan hati dunia internasional dengan soft power-nya. Lagipula, bagaimanapun, diplomasi publik dan budaya adalah soal memenangkan hati. (A43)