Walau sudah melaksanakan Pemilu langsung, namun sistem presidensial murni masih akan sulit diterapkan di Indonesia selama belum ada reformasi parpol.
PinterPolitik.com
“Jika pemungutan suara bisa membawa perubahan, mereka tidak akan pernah membiarkan kita melakukannya.” ~ Mark Twain
[dropcap]P[/dropcap]enulis yang terkenal lewat kisah seru “Petualangan Tom Sawyer” ini, memang dikenal sebagai sosok anti-politik. Selain menganggap pemilihan umum (Pemilu) tidak banyak membawa perubahan, Mark Twain yang nama aslinya Samuel Langhorne Clemens ini juga pernah menyamakan politikus dengan popok yang harus diganti bila sudah kotor.
Walau terdengar sarkastis, namun ungkapan tersebut masih sangat relevan hingga kini. Buktinya, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) masih terus menyuarakan Pemilu yang bersih dan berpihak pada rakyat. Sebab nyatanya, hingga 20 tahun reformasi bergulir, sistem Pemilu tanah air masih jauh dari harapan.
Kekecewaan ini disampaikan langsung oleh Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, Selasa (29/5) lalu. Menurutnya, reformasi memang berhasil mengubah sistem Pemilu dari kekuasaan legislatif ke tangan rakyat, namun dalam prakteknya kekuasaan tetap berada dalam cengkeraman partai politik (parpol).
“Sejak Reformasi 1998, Undang-Undang Parpol sudah direvisi empat kali. Tapi sayangnya makin direvisi, parpol di Indonesia malah jadi makin buruk,” kata Peneliti Hukum Perludem Usep Hasan dalam diskusi bertajuk ’20 Tahun Reformasi Pemilu’.https://t.co/yFGXxcrUHz
— Perludem (@perludem) May 29, 2018
Masih kuatnya pengaruh parpol, terlihat dari syarat pencalonan presiden dan wakil presiden yang dikungkung dengan persyaratan yang memberatkan. Selain harus diusung oleh parpol, pencalonannya pun dibatasi dengan ketercukupan jumlah kursi parpol pendukung di legislatif (presidential threshold).
Perubahan sistem pemilihan legislatif (Pileg) tahun depan, di mana parpol berhak menentukan sendiri kadernya yang duduk di kursi Parlemen, di mata Perludem juga merupakan kemunduran besar. Titi melihat, Pilpres dan Pileg 2019 hanya menjadi Pemilu borongan yang semakin menyimpang dari sistem presidensial murni.
Dari pernyataan Perludem ini maka timbul pertanyaan, bagaimanakah sebenarnya sistem presidensial yang cocok di tanah air? Sebab, bukankah sejak negara ini berdiri memang sudah menggunakan sistem presidensial? Lalu bagaimana dengan peran parpol dalam terciptanya kondisi pemerintahan saat ini?
Sistem Presidensial Ala Pancasila
“Bahwa Republik Indonesia tidak berdiri di atas Trias Politica, di mana kekuasaan legislatif, eksekutif, dan judikatif sama sekali saling berpisah satu sama lain.” ~ Ir. Soekarno
Pernyataan Presiden Pertama tersebut, diungkapkan saat berpidato dalam rapat pleno Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), pada 15 Juli 1945. Saat itu, sang Proklamator juga menyatakan kalau pembagian kekuasaan ala trias politica sudah dianggap kuno, sehingga ia menetapkan kalau sistem kekuasaan Indonesia harus dibagi secara proporsional.
Atas dasar pemikiran itu, maka sejak diproklamirkan sebulan kemudian, negara ini menggunakan sistem presidensial yang menurut Bung Karno sesuai dengan ideologi Pancasila. Sebelum dikhianati oleh dekritnya sendiri pada 1959, pemilihan presiden dan wakil presiden berada di tangan legislatif. Sistem presiden sebagai mandataris MPR ini, terus berlaku hingga kepemimpinan Orde Baru Soeharto tumbang.
Konsep trias politica sendiri, merupakan istilah yang diberikan oleh Immanuel Kant atas konsep pemikiran John Locke dan Montesquieu. Berdasarkan teori pemerintahan, keduanya menyatakan kalau kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus dipisahkan. Sehingga sistem presidensial yang dianut negara ini sebelumnya, tidak bisa dikatakan murni sistem presidensial.
Pemikiran yang sama juga datang dari mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie. Pakar hukum ini mengatakan kalau sistem pemerintahan yang dianut Indonesia lebih tepat disebut sebagai sistem pemerintahan terpadu (hybrid system), karena menerapkan sistem pembagian kekuasaan (distribution of power), bukan pemisahan kekuasaan (separation of power).
Pada negara yang menggunakan sistem presidensial murni, misalnya Filipina, selain memilih anggota legislatif (Pileg), negara pimpinan Rodridgo Duterte ini juga mengenal sistem pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) yang dipilih langsung oleh rakyat. Sistem Pemilu seperti inilah yang diadaptasi ketika reformasi bergulir, termasuk mengamandemen UUD 1945 yang mengatur pelaksanaannya.
Hanya saja, seperti yang dikeluhkan Perludem sebelumnya, pelaksanaan Pileg dan Pilpres yang akan digelar serentak tahun depan tersebut, juga masih belum benar-benar murni seperti yang diharapkan. Walau rakyat telah memiliki hak untuk memilih sendiri presiden dan wakil presidennya, namun tetap saja, pilihan yang diberikan pada rakyat sudah merupakan hasil “racikan” dan campur tangan parpol.
Kendali Parpol Atas Negara
“Pemilu milik rakyat. Itu keputusan mereka. Jika mereka kemudian berbalik dan marah, mereka harus menanggung sendiri akibatnya.” ~ Abraham Lincoln
Sejatinya ketika reformasi bergulir, sistem Pemilu yang merupakan hak sepenuhnya rakyat, seperti dinyatakan oleh Presiden Amerika Serikat ke-16 di atas itulah yang berupaya diwujudkan. Bahkan Pasal 6 UUD 1945 yang mengatur pengangkatan presiden pun diamandemen agar sistem presidensial dapat murni diterapkan.
Namun apa boleh buat, reformasi sistem Pemilu ternyata tidak dibarengi dengan sistem reformasi parpol. Kondisi ini, menurut Samuel P. Huntington dalam bukunya Political Order in Changing Societies, permasalahan seperti akan selalu terjadi apabila partai politik tidak mampu mengikuti perubahan yang terjadi sosial politik yang terjadi.
Sayangnya, bukannya berupaya terus memperbaiki kekurangan pelaksanaan Pemilu langsung yang demokratis melalui trial and error, parpol malah terlihat berupaya mempertahankan statusquo dan mengembalikan sistem Pemilu sebelum UUD 1945 diamandemen. Salah satunya dapat terlihat dari Pileg 2019 yang mengembalikan peran petinggi parpol dalam menetapkan siapa yang duduk di kursi Parlemen.
Tak hanya itu, pada Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahkan sistem Pemilu hampir saja dikembalikan pada tangan kekuasaan legislatif. Sehingga tak heran bila Peneliti Perludem Fadli Ramadhanil, mengatakan kalau UU Pemilu paling demokratis yang pernah dilaksanakan di Indonesia hanyalah pada Pemilu 1999 saja.
Saat ini, ia menilai kalau sistem multipartai dengan koalisi parpol yang cair dan tidak berpegang pada ideologi atau representasi kelompok, membuat sistem presidensial menjadi tidak berjalan efektif. Akibatnya, berkaca pada Pilpres 2014 lalu, pemerintahan menjadi terbelah dan terpaksa harus diselesaikan dengan melakukan bagi-bagi jabatan dan proyek pembangunan bagi para elit parpol.
Bukannya setelah UUD45 di Amandemen yg terjadi di negeri ini adalah seperti itu, ParPol menjadi pemegang kekuasaan, khususnya di DPR. Petugas partai pun banyak berkeliaran, kewenangan MPR menjadi ompong, dst.
— Joe Kowe Tobat o (@Adiguna_RI) May 27, 2018
Kondisi ini, menurut Sosiolog dan Politikus asal Jerman Sigmund Neumman memperlihatkan kalau parpol di Indonesia telah mengalihkan fungsinya dari sebagai jembatan antara masyarakat dengan kekuasaan, menjadi institusi politik yang tujuannya memang hanya untuk meraih kekuasaan dan merebut dukungan bagi pemerintah.
Perubahan tujuan parpol yang hanya mengejar kekuasaan semata, memang pada akhirnya menyebabkan Pemerintah maupun legislatif menjadi semacam “boneka” parpol yang berupaya mendulang kekayaan negara demi kepentingan kelompok semata. Sehingga tak salah bila menilai negara ini berada dalam cengkeraman mulut parpol.
Keprihatinan akan kondisi Pemilu yang masih jauh dari nilai-nilai demokrasi, juga diungkap Peneliti Senior dari CSIS, J. Kristiadi. Menurutnya, rumitnya sistem Pileg dan Pilpres yang ada saat ini, dikarenakan memang belum ada sistem Pemilu yang sempurna dan dapat benar-benar mampu mewakili suara rakyat, sebab demokrasi itu sendiri sudah cacat sejak lahir.
Demokrasi yang cacat sejak lahir ini, sebelumnya juga pernah diucap oleh Plato. Murid kesayangan Socrates ini bahkan menyatakan kalau negara demokrasi akan gagal selamanya. Meski begitu, dalam buku The Republic, ia juga mengingatkan kalau demokrasi tetaplah yang terbaik dari yang terburuk.
Oleh karena itulah, di balik kekecewaan Perludem, juga terselip harapan agar pelaksanaan Pemilu ke depannya dapat lebih disempurnakan. Bukan sebaliknya, diberangus hanya karena parpol enggan mereformasi struktur internalnya. Karena bagaimanapun, Montesquieu juga mengingatkan, bila eksekutif dan legislatif berada dalam kekuasaan satu parpol, maka akan sangat mungkin menciptakan kekuasaan layaknya tirani. (R24)