HomeNalar PolitikNegara Dalam “Cengkeraman” Parpol

Negara Dalam “Cengkeraman” Parpol

Walau sudah melaksanakan Pemilu langsung, namun sistem presidensial murni masih akan sulit diterapkan di Indonesia selama belum ada reformasi parpol.


PinterPolitik.com

“Jika pemungutan suara bisa membawa perubahan, mereka tidak akan pernah membiarkan kita melakukannya.” ~ Mark Twain

[dropcap]P[/dropcap]enulis yang terkenal lewat kisah seru “Petualangan Tom Sawyer” ini, memang dikenal sebagai sosok anti-politik. Selain menganggap pemilihan umum (Pemilu) tidak banyak membawa perubahan, Mark Twain yang nama aslinya Samuel Langhorne Clemens ini juga pernah menyamakan politikus dengan popok yang harus diganti bila sudah kotor.

Walau terdengar sarkastis, namun ungkapan tersebut masih sangat relevan hingga kini. Buktinya, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) masih terus menyuarakan Pemilu yang bersih dan berpihak pada rakyat. Sebab nyatanya, hingga 20 tahun reformasi bergulir, sistem Pemilu tanah air masih jauh dari harapan.

Kekecewaan ini disampaikan langsung oleh Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, Selasa (29/5) lalu. Menurutnya, reformasi memang berhasil mengubah sistem Pemilu dari kekuasaan legislatif ke tangan rakyat, namun dalam prakteknya kekuasaan tetap berada dalam cengkeraman partai politik (parpol).

Masih kuatnya pengaruh parpol, terlihat dari syarat pencalonan presiden dan wakil presiden yang dikungkung dengan persyaratan yang memberatkan. Selain harus diusung oleh parpol, pencalonannya pun dibatasi dengan ketercukupan jumlah kursi parpol pendukung di legislatif (presidential threshold).

Perubahan sistem pemilihan legislatif (Pileg) tahun depan, di mana parpol berhak menentukan sendiri kadernya yang duduk di kursi Parlemen, di mata Perludem juga merupakan kemunduran besar. Titi melihat, Pilpres dan Pileg 2019 hanya menjadi Pemilu borongan yang semakin menyimpang dari sistem presidensial murni.

Dari pernyataan Perludem ini maka timbul pertanyaan, bagaimanakah sebenarnya sistem presidensial yang cocok di tanah air? Sebab, bukankah sejak negara ini berdiri memang sudah menggunakan sistem presidensial? Lalu bagaimana dengan peran parpol dalam terciptanya kondisi pemerintahan saat ini?

Sistem Presidensial Ala Pancasila

“Bahwa Republik Indonesia tidak berdiri di atas Trias Politica, di mana kekuasaan legislatif, eksekutif, dan judikatif sama sekali saling berpisah satu sama lain.” ~ Ir. Soekarno

Pernyataan Presiden Pertama tersebut, diungkapkan saat berpidato dalam rapat pleno Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), pada 15 Juli 1945. Saat itu, sang Proklamator juga menyatakan kalau pembagian kekuasaan ala trias politica sudah dianggap kuno, sehingga ia menetapkan kalau sistem kekuasaan Indonesia harus dibagi secara proporsional.

Baca juga :  “Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Atas dasar pemikiran itu, maka sejak diproklamirkan sebulan kemudian, negara ini menggunakan sistem presidensial yang menurut Bung Karno sesuai dengan ideologi Pancasila. Sebelum dikhianati oleh dekritnya sendiri pada 1959, pemilihan presiden dan wakil presiden berada di tangan legislatif. Sistem presiden sebagai mandataris MPR ini, terus berlaku hingga kepemimpinan Orde Baru Soeharto tumbang.

Konsep trias politica sendiri, merupakan istilah yang diberikan oleh Immanuel Kant atas konsep pemikiran John Locke dan Montesquieu. Berdasarkan teori pemerintahan, keduanya menyatakan kalau kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus dipisahkan. Sehingga sistem presidensial yang dianut negara ini sebelumnya, tidak bisa dikatakan murni sistem presidensial.

Pemikiran yang sama juga datang dari mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie. Pakar hukum ini mengatakan kalau sistem pemerintahan yang dianut Indonesia lebih tepat disebut sebagai sistem pemerintahan terpadu (hybrid system), karena menerapkan sistem pembagian kekuasaan (distribution of power), bukan pemisahan kekuasaan (separation of power).

Pada negara yang menggunakan sistem presidensial murni, misalnya Filipina, selain memilih anggota legislatif (Pileg), negara pimpinan Rodridgo Duterte ini juga mengenal sistem pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) yang dipilih langsung oleh rakyat. Sistem Pemilu seperti inilah yang diadaptasi ketika reformasi bergulir, termasuk mengamandemen UUD 1945 yang mengatur pelaksanaannya.

Hanya saja, seperti yang dikeluhkan Perludem sebelumnya, pelaksanaan Pileg dan Pilpres yang akan digelar serentak tahun depan tersebut, juga masih belum benar-benar murni seperti yang diharapkan. Walau rakyat telah memiliki hak untuk memilih sendiri presiden dan wakil presidennya, namun tetap saja, pilihan yang diberikan pada rakyat sudah merupakan hasil “racikan” dan campur tangan parpol.

Kendali Parpol Atas Negara

“Pemilu milik rakyat. Itu keputusan mereka. Jika mereka kemudian berbalik dan marah, mereka harus menanggung sendiri akibatnya.” ~ Abraham Lincoln

Sejatinya ketika reformasi bergulir, sistem Pemilu yang merupakan hak sepenuhnya rakyat, seperti dinyatakan oleh Presiden Amerika Serikat ke-16 di atas itulah yang berupaya diwujudkan. Bahkan Pasal 6 UUD 1945 yang mengatur pengangkatan presiden pun diamandemen agar sistem presidensial dapat murni diterapkan.

Namun apa boleh buat, reformasi sistem Pemilu ternyata tidak dibarengi dengan sistem reformasi parpol. Kondisi ini, menurut Samuel P. Huntington dalam bukunya Political Order in Changing Societies, permasalahan seperti akan selalu terjadi apabila partai politik tidak mampu mengikuti perubahan yang terjadi sosial politik yang terjadi.

Sayangnya, bukannya berupaya terus memperbaiki kekurangan pelaksanaan Pemilu langsung yang demokratis melalui trial and error, parpol malah terlihat berupaya mempertahankan statusquo dan mengembalikan sistem Pemilu sebelum UUD 1945 diamandemen. Salah satunya dapat terlihat dari Pileg 2019 yang mengembalikan peran petinggi parpol dalam menetapkan siapa yang duduk di kursi Parlemen.

Baca juga :  Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Tak hanya itu, pada Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahkan sistem Pemilu hampir saja dikembalikan pada tangan kekuasaan legislatif. Sehingga tak heran bila Peneliti Perludem Fadli Ramadhanil, mengatakan kalau UU Pemilu paling demokratis yang pernah dilaksanakan di Indonesia hanyalah pada Pemilu 1999 saja.

Saat ini, ia menilai kalau sistem multipartai dengan koalisi parpol yang cair dan tidak berpegang pada ideologi atau representasi kelompok, membuat sistem presidensial menjadi tidak berjalan efektif. Akibatnya, berkaca pada Pilpres 2014 lalu, pemerintahan menjadi terbelah dan terpaksa harus diselesaikan dengan melakukan bagi-bagi jabatan dan proyek pembangunan bagi para elit parpol.

Kondisi ini, menurut Sosiolog dan Politikus asal Jerman Sigmund Neumman memperlihatkan kalau parpol di Indonesia telah mengalihkan fungsinya dari sebagai jembatan antara masyarakat dengan kekuasaan, menjadi institusi politik yang tujuannya memang hanya untuk meraih kekuasaan dan merebut dukungan bagi pemerintah.

Perubahan tujuan parpol yang hanya mengejar kekuasaan semata, memang pada akhirnya menyebabkan Pemerintah maupun legislatif menjadi semacam “boneka” parpol yang berupaya mendulang kekayaan negara demi kepentingan kelompok semata. Sehingga tak salah bila menilai negara ini berada dalam cengkeraman mulut parpol.

Keprihatinan akan kondisi Pemilu yang masih jauh dari nilai-nilai demokrasi, juga diungkap Peneliti Senior dari CSIS, J. Kristiadi. Menurutnya, rumitnya sistem Pileg dan Pilpres yang ada saat ini, dikarenakan memang belum ada sistem Pemilu yang sempurna dan dapat benar-benar mampu mewakili suara rakyat, sebab demokrasi itu sendiri sudah cacat sejak lahir.

Demokrasi yang cacat sejak lahir ini, sebelumnya juga pernah diucap oleh Plato. Murid kesayangan Socrates ini bahkan menyatakan kalau negara demokrasi akan gagal selamanya. Meski begitu, dalam buku The Republic, ia juga mengingatkan kalau demokrasi tetaplah yang terbaik dari yang terburuk.

Oleh karena itulah, di balik kekecewaan Perludem, juga terselip harapan agar pelaksanaan Pemilu ke depannya dapat lebih disempurnakan. Bukan sebaliknya, diberangus hanya karena parpol enggan mereformasi struktur internalnya. Karena bagaimanapun, Montesquieu juga mengingatkan, bila eksekutif dan legislatif berada dalam kekuasaan satu parpol, maka akan sangat mungkin menciptakan kekuasaan layaknya tirani. (R24)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Partai Gerindra di bawah komando Prabowo Subianto seolah sukses menguasai Pulau Jawa setelah tiga “mahapatih” mereka, yakni Andra Soni, Dedi Mulyadi, serta Ahmad Luthfi hampir dapat dipastikan menaklukkan Pilkada 2024 sebagai gubernur. Hal ini bisa saja menjadi permulaan kekuasaan lebih luas di Jawadwipa. Mengapa demikian?

Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Dengan kekalahan Ridwan Kamil dan Airin Rachmi Diany di Pilkada Serentak 2024. Mungkinkah Golkar akan semakin jatuh di bawah Bahlil Lahadalia?

Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Hasil tidak memuaskan yang diperoleh pasangan Ridwan Kamil-Suswono (RIDO) dalam versi quick count Pemilihan Gubernur Jakarta 2024 (Pilgub Jakarta 2024) menjadi pertanyaan besar. Mengapa calon yang didukung koalisi besar tidak tampil dominan? 

Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Pemerintahan Prabowo Subianto siapkan sejumlah strategi untuk tingkatkan investasi dan SDM. Mungkinkah Prabowo siap untuk “lompat katak”?

Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Endorse politik Anies Baswedan di Pilgub Jakarta 2024 kepada kandidat PDIP, yakni Pramono Anung-Rano Karno justru dinilai bagai pedang bermata dua yang merugikan reputasinya sendiri dan PDIP di sisi lain. Mengapa demikian?

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

More Stories

Informasi Bias, Pilpres Membosankan

Jelang kampanye, pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oposisi cenderung kurang bervarisi. Benarkah oposisi kekurangan bahan serangan? PinterPolitik.com Jelang dimulainya masa kampanye Pemilihan Presiden 2019 yang akan dimulai tanggal...

Galang Avengers, Jokowi Lawan Thanos

Di pertemuan World Economic Forum, Jokowi mengibaratkan krisis global layaknya serangan Thanos di film Avengers: Infinity Wars. Mampukah ASEAN menjadi Avengers? PinterPolitik.com Pidato Presiden Joko Widodo...

Jokowi Rebut Millenial Influencer

Besarnya jumlah pemilih millenial di Pilpres 2019, diantisipasi Jokowi tak hanya melalui citra pemimpin muda, tapi juga pendekatan ke tokoh-tokoh muda berpengaruh. PinterPolitik.com Lawatan Presiden Joko...