HomeHeadlineMyanmar and Dasco’s Strategic Idea?

Myanmar and Dasco’s Strategic Idea?

Kecil Besar

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Pernyataan Sufmi Dasco Ahmad soal operasi militer selain perang dalam konteks isu diplomati terkini di Myanmar kiranya bukan sekadar reaksi spontan. Mengapa berikan?


PinterPolitik.com

Pernyataan Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, mengenai kemungkinan mendorong operasi militer selain perang (OMSP) untuk menyikapi penahanan selebgram berinisial AP di Myanmar menuai perhatian luas.

Dasco menyebutkan bahwa apabila jalur diplomasi gagal, pemerintah perlu mempertimbangkan langkah-langkah OMSP sebagai bentuk perlindungan terhadap warga negara Indonesia di luar negeri, termasuk dalam case, dimensi, dan konteks lainnya.

Pernyataan ini, meskipun tampak reaktif terhadap kasus individual, sesungguhnya membuka perbincangan strategis yang jauh lebih luas, yakni posisi Indonesia dalam diplomasi kontemporer dan kebutuhan akan integrasi kekuatan militer sebagai elemen pendukung politik luar negeri.

Dalam konteks konkret, AP ditahan oleh otoritas Myanmar karena melakukan kontak dengan kelompok bersenjata yang dikategorikan sebagai kelompok terlarang.

Namun, yang menjadi sorotan bukan sekadar kasus ini, melainkan bagaimana Indonesia merespons situasi krisis yang menyangkut warga negaranya di luar negeri.

Pertanyaannya, bagaimana diplomasi dan opsi lain relasi antarnegara di era kekinian, termasuk dalam konteks Myanmar, sebenarnya?

Glimpse of Transformasi Diplomasi?

Secara konseptual, diplomasi dalam tradisi realpolitik tidak pernah berdiri sendiri. Henry Kissinger menulis bahwa diplomasi yang tidak didukung oleh kekuatan hanyalah permohonan.

Dalam kerangka inilah, gagasan Dasco tentang OMSP harus dibaca bukan dalam bingkai konfliktual, melainkan sebagai pengakuan atas pentingnya kapasitas pertahanan sebagai sikap tegas hingga deterrence dalam politik luar negeri Indonesia.

Pernyataan itu sendiri menurut Dasco berlandaskan pada UU TNI versi terbaru yang menegaskan bahwa operasi militer selain perang mencakup misi-misi nonagresif seperti evakuasi WNI, bantuan kemanusiaan, atau pengamanan obyek vital strategis di luar negeri.

Jika ditarik ke ranah strategis, gagasan ini merupakan artikulasi dari bentuk baru coercive diplomacy, opsi diplomasi yang memiliki cadangan kekuatan di belakangnya.

Mantan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa sendiri dalam sebuah kuliah umum sempat menyoroti pentingnya impresi hard-power capability hingga combat readiness sebagai salah satu faktor mengapa posisi Indonesia dalam negosiasi Sipadan-Ligitan menjadi lemah.

Gagasan tersebut agaknya tidak bertentangan dengan hakikat diplomasi, justru memperkuatnya, di mana diplomasi yang bisa menolak, menekan, dan mengarahkan arah perundingan karena didukung postur strategis.

Baca juga :  The Tale of Geng Solo

Dan Myanmar adalah kasus menarik karena mencerminkan transformasi kawasan Asia Tenggara dalam bingkai ASEAN yang kini seakan penuh ambiguitas hukum hingga fragmentasi kekuasaan.

Dalam perspektif crisis behavior, negara-negara merespons situasi luar biasa dengan kalkulasi cepat antara gain and cost, yang tidak hanya dilandasi norma tetapi juga persepsi ancaman, tekanan publik, dan posisi strategis.

Dalam hal ini, Myanmar kiranya bukan sekadar mitra bilateral, tetapi juga bagian dari lanskap Indo-Pasifik yang sedang bersaing antara demokrasi dan otoritarianisme, stabilitas dan disrupsi.

Gagasan Dasco pun harus dilihat dalam kerangka norm-building and rule interpretation. Ketika satu negara merasa bahwa norma internasional dilanggar, dalam perspektif subjektivitas suatu negara misalnya, penahanan terhadap WNI tanpa dasar hukum yang kuat atau proses hukum yang transparan, maka negara tersebut agaknya berhak mengaktivasi seluruh instrumen perlindungan warganya.

Pernyataan yang “melampirkan” OMSP dalam hal ini bisa menjadi symbolic move yang memberi sinyal bahwa Indonesia tidak akan pasif jika kepentingan dan warganya terganggu.

Mengapa penting menyebut OMSP bukan hanya simbol kekuatan, tetapi juga strategi komunikasi? Karena dalam praktik statecraft modern, operasi militer tidak selalu bersifat kinetik.

Psyops (psychological operations), misi-misi kemanusiaan, latihan bersama, dan issue behavior management menjadi alat utama dalam membentuk persepsi dan pengaruh.

Dengan mengaktivasi wacana OMSP, Dasco mungkin saja sedang melakukan manuver dalam dispute behavior, yakni bagaimana negara membentuk posisi dalam konflik atau krisis tanpa langsung terlibat secara fisik.

Ini adalah bentuk dari strategic ambiguity dan bluff yang agaknya tak keliru dalam diplomasi kekuasaan. Bahkan negara seperti China, AS, dan India kerap menggunakan strategi serupa untuk “menguji air” (testing the waters) terhadap respons negara atau entitas lain.

Dalam konteks ini, profesionalisme TNI juga menjadi bagian penting. Wacana OMSP tidak akan kredibel jika tidak dibarengi dengan persepsi bahwa militer Indonesia mampu, terlatih, dan siap untuk melaksanakan misi internasional dengan standar tinggi.

Inilah nilai tambah yang bisa memperkuat posisi diplomasi Indonesia, bahkan tanpa mengangkat senjata sekalipun.

dasco prime 1

Refleksi Strategis

Tentu, gagasan OMSP bukan tentang berperang karena selebgram, tetapi tentang menciptakan strategi perlindungan negara berbasis kesiapan dan kehormatan nasional.

Baca juga :  Menguak “Benteng” Perang Indonesia

Inilah wajah baru diplomasi Indonesia yang agaknya harus mulai menyesuaikan diri dengan dinamika internasional yang semakin keras.

Dunia pasca-pandemi, dengan ancaman baru seperti konflik multipolar, ketegangan di Laut China Selatan, serta tumbuhnya entitas yang seakan dianggap rogue elements di kawasan Asia Tenggara, menuntut Indonesia untuk memperkuat semua tools of statecraft-nya.

Penting untuk menekankan bahwa diplomasi berbasis kekuatan bukan bertentangan dengan prinsip bebas aktif. Justru ini yang boleh jadi memperkuatnya.

Dalam prinsip klasik diplomasi bebas aktif, Indonesia tidak memihak kekuatan besar, tetapi tetap aktif dalam menjaga kepentingannya. Namun, keaktifan ini kini kiranya membutuhkan pendekatan yang lebih taktis, yaitu menyelaraskan diplomasi lunak dengan sinyal keras, memperkuat koherensi antara kebijakan luar negeri dan kemampuan dalam negeri, dan membangun persepsi regional bahwa Indonesia adalah aktor kredibel yang tak hanya pandai bicara tetapi juga siap bertindak.

Yang menjadi tantangan ke depan adalah bagaimana mengelola konsekuensi dan batas dari wacana ini. Menyebut OMSP tanpa kesiapan politis dan militer justru bisa menjadi backfire diplomatik.

Dalam issue management, penggiringan wacana strategis seperti ini harus diikuti oleh komunikasi yang terstruktur kepada mitra internasional, agar tidak dibaca sebagai provokasi, melainkan sebagai penegasan kedaulatan dan tanggung jawab negara terhadap warganya.

Selain itu, Dasco sebagai figur politik juga perlu berhati-hati dalam menempatkan wacana seperti ini.

Publikasi strategi yang belum dibahas secara menyeluruh di dalam forum keamanan nasional bisa memicu persepsi bahwa politik luar negeri Indonesia mulai terfragmentasi oleh suara-suara individual di luar koridor resmi Kemlu atau Kemenhan.

Dalam dunia yang semakin tak menentu, diplomasi tak bisa lagi hanya mengandalkan pertemuan meja bundar. Dunia saat ini lebih mirip papan catur yang kompleks, di mana setiap pion dan langkah harus mencerminkan niat, kekuatan, serta kredibilitas.

Gagasan Dasco tentang OMSP, meski kontroversial, menunjukkan bahwa Indonesia perlahan sedang mengadopsi bentuk baru dari diplomasi aktif dengan kekuatan pendukung.

Tentu dengan catatan, langkah ini harus dikelola dengan profesional, hati-hati, dan dalam kerangka konsensus nasional agar tidak menimbulkan konflik baru di dalam atau di luar negeri. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Nexus BAE: Boy Ara Erick

Boy Thohir, Maruarar Sirait, dan Erick Thohir membentuk periphery maupun simpul kekuasaan yang menyatukan modal, kebijakan negara, dan narasi publik. Konsolidasi ini merepresentasikan wajah baru ekonomi-politik Indonesia, di mana kekuasaan dijalankan melalui harmoni antara elite bisnis, teknokrat, dan komunikator sosial.

Prajogo Pangestu: Rise, Fall, and Rise Again!

Dulu nyetir angkot, sekarang jadi salah satu orang terkaya di Indonesia. Apa rahasia bisnis Prajogo Pangestu bertahan dari Orde Baru sampai hari ini?

Imin & El Clasico HMI-PMII?

Pernyataan "pinggir jurang" Cak Imin soal HMI dan PMII memantik kembali rivalitas lama dua organisasi Islam terbesar di Indonesia. Di balik candaan politik itu, tersembunyi pertarungan simbol, kelas sosial, dan identitas yang berpotensi memperdalam polarisasi tokoh muda Islam di kalangan kampus dan turunannya jika tak dibingkai secara dewasa.

The Mahjong Game: Trump vs Xi

Mungkinkah AS di bawah Trump kini mulai meninggalkan papan "catur" dan mulai mengasah strategi "mahjong-nya" untuk melawan Xi Jinping?

Gen Z is Going Corrupt?

Publik diramaikan dengan pembahasan tersangka kasus korupsi yang tengah diusut KPK atas nama Nur Afifah Balqis yang masih berusia 24 tahun.

AS-Tiongkok = Sasuke-Naruto? 

Hubungan Amerika Serikat dan Tiongkok tidak sesederhana permusuhan atau persaingan semata. Di balik rivalitas yang sering muncul di permukaan, ada sejarah panjang kerja sama dan keterkaitan yang membentuk keseimbangan global. 

Trump dan Soccer Super Power?

Kehadiran Presiden Donald Trump di final FIFA Club World Cup 2025 kiranya bukan sekadar tontonan, tapi simbol ambisi Amerika Serikat menjadi kekuatan global baru di sepak bola. Dari Beckham di LA Galaxy, Messi di Inter Miami hingga Task Force Piala Dunia 2026, AS tampak serius membentuk identitas baru, soccer super power.

Filosofi Kopi Prabowo Subianto?

Presiden Prabowo Subianto dikenal dengan kebiasaannya meminum kopi hitam. Apa sebenarnya filosofi kopi ala Prabowo?

More Stories

Nexus BAE: Boy Ara Erick

Boy Thohir, Maruarar Sirait, dan Erick Thohir membentuk periphery maupun simpul kekuasaan yang menyatukan modal, kebijakan negara, dan narasi publik. Konsolidasi ini merepresentasikan wajah baru ekonomi-politik Indonesia, di mana kekuasaan dijalankan melalui harmoni antara elite bisnis, teknokrat, dan komunikator sosial.

Imin & El Clasico HMI-PMII?

Pernyataan "pinggir jurang" Cak Imin soal HMI dan PMII memantik kembali rivalitas lama dua organisasi Islam terbesar di Indonesia. Di balik candaan politik itu, tersembunyi pertarungan simbol, kelas sosial, dan identitas yang berpotensi memperdalam polarisasi tokoh muda Islam di kalangan kampus dan turunannya jika tak dibingkai secara dewasa.

Trump dan Soccer Super Power?

Kehadiran Presiden Donald Trump di final FIFA Club World Cup 2025 kiranya bukan sekadar tontonan, tapi simbol ambisi Amerika Serikat menjadi kekuatan global baru di sepak bola. Dari Beckham di LA Galaxy, Messi di Inter Miami hingga Task Force Piala Dunia 2026, AS tampak serius membentuk identitas baru, soccer super power.