Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Perpanjangan peran dan jabatan prajurit aktif di lini sipil-pemerintahan memantik kritik dan kekhawatiran tersendiri meski telah dibendung sedemikian rupa. Saat ditelaah lebih dalam, angin yang lebih mengarah pada para serdadu pun kiranya tak serta merta membuat mereka dapat dikatakan tepat memperluas peran ke ranah sipil. Mengapa demikian?
Memori kolektif atas kemudaratan peran militer di ranah sosial, politik, dan pemerintahan membuat diskursus resistensi atas isu perluasan peran prajurit aktif dan perpanjangan masa purna tugas terus bergulir.
Bedil yang dikatakan menjadi variabel inheren dalam probabilitas penyalahgunaan kekuasaan dan konflik kepentingan layaknya hantu yang tetap ditakuti saat supremasi sipil telah diraih sebagai amanah Reformasi.
Pernyataan teranyar Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto bahwa prajurit aktif yang berkiprah di jabatan sipil harus mundur atau pensiun dini pun tak serta merta menepis kekhawatiran.
Tak hanya potensi penyalahgunaan kekuasaan dan konflik kepentingan, aspek lain seperti meritokrasi di birokrasi juga jadi persoalan lain.
Ketakutan dan kekhawatiran pun kian memuncak saat sampel konkret prajurit aktif di jabatan sipil tetap eksis di depan mata, baik yang tak tersorot pemberitaan secara gamblang, maupun posisi yang nomenklaturnya disesuaikan ulang seperti case Teddy Indra Wijaya saat menjadi Sekretaris Kabinet yang kini berada di bawah Kementerian Sekretaris Negara (Kemensetneg) serta Sekretariat Militer Presiden (Setmilpres).
Apalagi saat berkaca pada vibes politik-pemerintahan saat ini yang dibawa nahkoda Republik Indonesia, Prabowo Subianto. Sosok yang notabene adalah prajurit tulen.
Akan tetapi, eksistensi prajurit aktif atau sosok berlatarbelakang militer dalam lini birokrasi, politik, dan pemerintahan kiranya akan tetap memiliki relevansi dan pro-kontra yang kompleks.
Birokrat Reformasi Sama Korupnya?
Reformasi 1998 yang melahirkan supremasi sipil seharusnya menandai berakhirnya era di mana militer memiliki peran dominan dalam birokrasi dan pemerintahan.
Akan tetapi, meskipun ABRI (kemudian TNI) secara resmi ditarik dari jabatan-jabatan sipil, birokrasi yang diharapkan lebih transparan dan akuntabel justru masih sarat dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Banyak yang menyebutnya lebih parah dan meluas.
Dalam kajian Clifford Geertz tentang “birokrasi patrimonial” di Indonesia, ia menjelaskan bahwa budaya politik di Indonesia lebih dekat dengan model negara patrimonial, di mana kekuasaan lebih banyak dijalankan berdasarkan loyalitas dan hubungan pribadi daripada sistem meritokrasi yang ketat.
Dengan demikian, meski militer secara formal telah kehilangan peran dwifungsi, sistem birokrasi tetap terjebak dalam pola-pola lama yang korup dan dilakukan bukan lagi oleh militer.
Laporan Transparency International pada 2023 menunjukkan bahwa indeks persepsi korupsi Indonesia masih stagnan, bahkan cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir.
Banyak kasus korupsi besar justru melibatkan birokrat sipil yang diangkat melalui sistem yang seharusnya berbasis meritokrasi. Banyak kasus rasuah dengan kerugian negara fantastis dan mencengangkan belakangan ini yang memperlihatkan bahwa supremasi sipil tidak serta-merta menjamin tata kelola pemerintahan yang lebih baik.
Dari sudut pandang sosiologi politik, khususnya teori state capture yang dikemukakan oleh Joel S. Hellman, dapat dikatakan bahwa birokrasi di Indonesia cenderung dikuasai oleh oligarki politik dan ekonomi, di mana kepentingan segelintir elite lebih dominan ketimbang kepentingan publik.
Fenomena ini semakin diperparah dengan minimnya keberanian reformasi struktural yang benar-benar menuntaskan akar masalah di tubuh birokrasi.
Dengan realitas ini, tidak mengherankan jika beberapa kalangan beranggapan bahwa kembalinya militer dalam jabatan sipil bisa menjadi solusi dalam dimensi tertentu atas korupsi birokrasi yang tak kunjung berubah.
Stereotype-nya, militer dianggap lebih memiliki disiplin, loyalitas terhadap negara, serta struktur komando yang lebih tegas dibanding birokrasi sipil yang sering kali lamban dan mudah diintervensi kepentingan politik.

Efisiensi Birokrasi vs Supremasi Sipil
Pola pikir bahwa militer lebih disiplin dan efisien dibandingkan birokrasi sipil sering kali dijadikan pembenaran atas kembalinya prajurit aktif ke dalam jabatan strategis di pemerintahan.
Di berbagai negara dengan sejarah otoritarianisme militer, seperti Thailand dan Myanmar, militer kerap berdalih bahwa supremasi sipil tidak selalu identik dengan pemerintahan yang efektif dan bersih.
Di Indonesia, gagasan ini seolah-olah mendapatkan momentumnya kembali dengan naiknya Prabowo Subianto ke tampuk kekuasaan. Kendati masih dalam derajat yang sangat kecil.
Dalam perspektif Max Weber mengenai birokrasi ideal, birokrasi yang baik haruslah memiliki karakteristik rasionalitas, hierarki yang jelas, dan sistem berbasis aturan. Pada konteks ini, militer memang memiliki keunggulan dalam aspek struktur dan kedisiplinan.
Tetapi, ada perbedaan mendasar antara birokrasi sipil dan militer. Struktur komando dalam militer lebih bersifat hierarkis dan tertutup, sementara birokrasi sipil seharusnya lebih fleksibel dan terbuka terhadap partisipasi publik.
Di sisi lain, supremasi sipil adalah prinsip fundamental dalam negara demokrasi modern. Teori civil-military relations yang dikembangkan oleh Samuel P. Huntington dalam The Soldier and The State menegaskan bahwa militer yang terlalu dominan dalam politik dan birokrasi dapat mengancam demokrasi itu sendiri.
Di negara-negara dengan supremasi sipil yang kuat seperti Amerika Serikat, pemisahan peran antara sipil dan militer sangat ketat, di mana prajurit aktif dilarang memegang jabatan politik atau birokrasi sipil.
Namun, di Indonesia, upaya untuk menjaga supremasi sipil sering kali bertabrakan dengan kebutuhan akan stabilitas dan efisiensi, plus kelakuan oknum korup birokrat sipil.
Ketika birokrasi sipil dianggap gagal dalam melaksanakan tugasnya secara efektif, militer kerap dijadikan opsi instan sebagai solusi.
Dilema ini kemudian membawa pada pertanyaan mendasar, yakni apakah hipotesa efisiensi dan “disiplinisasi” birokrasi melalui pelibatan militer sepadan dengan risiko melemahnya supremasi sipil?
Dalam jangka pendek, mungkin ada perbaikan kinerja, tetapi dalam jangka panjang, pengikisan supremasi sipil berpotensi mengarah pada kembalinya pola-pola otoritarianisme yang bertentangan dengan semangat Reformasi.
Selain itu, R.D. McKinlay dan A.S. Cohan dalam penelitiannya yang berjudul Comparative Analysis of the Political and Economic Performance of Military and Civilian Regimes membandingkan kinerja di bidang politik, pertahanan, dan ekonomi di antara negara-negara yang dikelola militer dan negara-negara yang dikelola sipil.
Ternyata, tidak terdapat banyak perbedaan antara kinerja kedua jenis pemerintahan tersebut. Temuan ini sekiranya membantah persepsi mereka yang menginferiorkan kepemimpinan atau tata kelola politik pemerintahan dari kalangan sipil.
Di titik ini, andai hipotesa birokrat sipil yang korup lebih buruk, solusi yang lebih ideal adalah dengan melakukan reformasi birokrasi yang lebih substansial, bukan dengan kembali mengandalkan militer. Bahkan, kendati ekspansi militer juga adalah bagian dari pemecahan masalah klasik bottleneck perwira non-job.
Meskipun klise dan sedikit utopis, penguatan sistem meritokrasi, transparansi, dan pengawasan yang ketat terhadap birokrat sipil harus menjadi prioritas utama yang wajib diupayakan.
Jika tidak, wacana kembalinya militer ke dalam politik dan pemerintahan bukan tidak mungkin akan terus menjadi isu yang relevan, bahkan mungkin menjadi kenyataan yang sulit dibendung di masa depan. (J61)