Dengarkan artikel ini:
Kasus ijazah Jokowi memang jadi pergunjingan paling menyita perhatian publik dalam beberapa minggu terakhir. Isu ini seolah menggeser berbagai perdebatan besar lain, misalnya soal kondisi ekonomi yang tengah sulit, angka pengangguran yang tinggi, dan PHK yang tak terkendali. Apakah ada relasinya?
Isu ijazah Presiden Joko Widodo kembali menghantui ruang publik Indonesia. Bukan pertama kalinya tudingan ini menyeruak, tapi kali ini nuansanya berbeda: lebih ramai, lebih riuh, dan lebih sistematis. Sejak video-video, testimoni, hingga spekulasi muncul di media sosial, narasi “ijazah palsu Jokowi” tak hanya jadi obrolan warga dunia maya, tapi juga menyeret institusi hukum dan pendidikan ke dalam pusaran kontroversi.
Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Komjen (Purn) Susno Duadji, menyebut polemik ini bisa dibaca sebagai dua alur cerita. “Kalau ini Film Pendek, polisi bisa selesaikan dalam waktu seminggu. Tapi kalau jadi Film Panjang, artinya memang ada yang sengaja ingin memperpanjang cerita ini demi tujuan tertentu,” ujar Susno ketika jadi narasumber di salah satu program di Kompas TV.
Kalimat ini membuka tabir bahwa polemik ini bukan hanya soal autentikasi dokumen pendidikan, tapi juga permainan persepsi, pengalihan isu, dan mungkin kalkulasi politik jangka panjang.
Saat media dan publik diseret dalam diskusi tanpa ujung soal dokumen pribadi presiden, realitas kehidupan rakyat justru semakin terhimpit. Ekonomi nasional tengah berada di titik kritis. Daya beli masyarakat menurun drastis, sektor ritel tumbang, pariwisata lesu, dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) menerjang hampir semua sektor.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka pengangguran per Februari 2025 mencapai 7,38 juta orang. Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan melaporkan tingkat pengangguran Indonesia menyentuh angka 5,2%—yang tertinggi di Asia Tenggara.
Dalam kondisi seperti itu, perhatian publik dialihkan pada sensasi, bukan substansi. Isu ijazah Jokowi tak memberikan apa-apa bagi rakyat dalam konteks ekonomi, tapi justru menjadi medan pertarungan kredibilitas elite.
Ketika rakyat menjerit soal harga kebutuhan pokok dan kehilangan pekerjaan, ruang publik malah dijejali analisis grafologis tanda tangan, kronologi kelulusan, dan rekonstruksi sejarah pendidikan. Ironi itu makin dalam ketika negara seolah membiarkan isu ini mengambang—tak diselesaikan secara tuntas, tapi juga tak ditepis secara tegas.
Pertanyaannya adalah apa yang bisa dimaknai dari keriuhan ini?
Ijazah Simbol Pertarungan Kekuasaan?
Untuk memahami mengapa isu ini meledak saat ini, dan kenapa begitu sulit dipadamkan, kita perlu melihatnya bukan sebagai kasus administrasi pendidikan, tapi sebagai gejala politik yang kompleks. Setidaknya ada tiga kerangka teoretis yang bisa dipakai untuk menjelaskannya.
Pertama adalah teori Creative Destruction dari Joseph Schumpeter. Dalam bukunya Capitalism, Socialism and Democracy (1942), Schumpeter menjelaskan bagaimana sistem kapitalisme tidak hanya membangun, tapi juga menghancurkan tatanan lama demi menciptakan tatanan baru.
Dalam konteks ini, jika kita adopsi intisari gagasan pemikiran Schumpter itu, isu ijazah bisa dilihat sebagai upaya destruksi kreatif terhadap hegemoni Jokowi dalam lanskap politik pasca-kepresidenannya. Ketika pengaruh Jokowi masih begitu kuat—bahkan pada pemerintahan penggantinya, Prabowo Subianto—maka muncul kebutuhan untuk “menghancurkan” simbol keabsahan dan integritasnya. Isu ijazah menjadi alat delegitimasi, sebuah bentuk sabotase simbolik yang dimaksudkan untuk meruntuhkan sisa-sisa otoritas moral yang masih ia miliki.
Kedua, kita bisa gunakan Spectacle Theory dari Guy Debord dalam The Society of the Spectacle (1967). Debord menjelaskan bahwa dalam masyarakat modern, realitas digantikan oleh citra, dan peristiwa politik sering kali dikemas seperti tontonan massal.
Isu ijazah ini jelas masuk dalam kategori spectacle: sebuah narasi besar yang sengaja diproduksi, dikonsumsi, dan didaur ulang oleh media dan publik. Tujuannya bukan penyelesaian, tapi konsumsi afektif. Semakin riuh, semakin panjang cerita ini bergulir, semakin publik larut dalam pertunjukan, dan semakin kabur isu-isu substansial lainnya.
Ketiga, teori Political Distraction yang dikembangkan oleh Christopher J. Anderson dan Aida Paskeviciute dalam studi mereka tentang persepsi publik terhadap krisis (2005). Dalam konteks ini, elite politik memanfaatkan isu-isu non-substansial untuk mengalihkan perhatian dari masalah utama, seperti krisis ekonomi, PHK, atau kebijakan yang tidak populer.
Ijazah Jokowi menjadi “permen” bagi media dan publik agar tidak terlalu fokus pada kegagalan pemerintah—baik di era Jokowi maupun awal transisi ke pemerintahan Prabowo. Dengan kata lain, ini adalah political red herring, umpan yang menyesatkan.
Ketiga teori ini mengarah pada satu konklusi: bahwa isu ijazah bukan soal dokumen semata, tapi soal kuasa. Antara upaya delegitimasi, pertunjukan politik, dan pengalihan perhatian, semuanya menunjukkan bahwa ijazah telah bermetamorfosis menjadi simbol pertarungan yang lebih besar—pertarungan tentang siapa yang berhak mengendalikan narasi, persepsi, dan kekuasaan.
Politik Ingatan, Politik Otoritas
Lantas, ke mana arah isu ini? Apakah ia akan reda seperti debu musim pemilu yang hilang diterpa angin? Atau justru terus dikapitalisasi sebagai bahan bakar untuk pertarungan lebih besar di 2029?
Satu hal yang pasti, isu ini telah menempatkan Jokowi pada posisi paradoks. Di satu sisi, ia masih tokoh sentral dalam perpolitikan Indonesia, bahkan disebut-sebut sebagai kingmaker untuk pemerintahan Prabowo. Tapi di sisi lain, ia mulai menjadi beban bagi lanskap politik baru yang ingin bersih dari bayang-bayang masa lalu. Isu ijazah ini bisa jadi sinyal bahwa transisi kekuasaan dari Jokowi ke Prabowo tidak sepenuhnya mulus.
Jika Prabowo ingin tampil sebagai pemimpin mandiri yang berdaulat penuh, maka cepat atau lambat, bayang-bayang Jokowi harus dipangkas. Dan polemik ijazah adalah jalan pintas untuk itu. Di satu sisi, isu ini bisa mendegradasi Jokowi secara simbolik, membuatnya terlihat tidak otentik, dan secara perlahan mengikis pengaruhnya di mata publik.
Di sisi lain, isu ini membuat nama Jokowi tetap bertengger di top of mind masyarakat—bahkan jika narasinya negatif. Ini memberi efek ambivalen: Jokowi tetap dominan dalam wacana publik, namun dengan kredibilitas yang terkikis.
Implikasinya bagi pemerintahan Prabowo sangat besar. Jika isu ini terus membesar, maka Prabowo akan terjebak dalam dilema: antara mempertahankan hubungan strategis dengan Jokowi dan pendukungnya, atau mengambil jarak demi membangun legitimasi mandiri. Langkah Prabowo ke depan akan sangat menentukan apakah ia akan menjadi pelanjut Jokowi, atau pencipta narasi baru.
Dalam konteks politik nasional, isu ini memperlihatkan bahwa Indonesia belum memiliki sistem komunikasi politik yang sehat. Politik masih didominasi oleh personalitas, bukan institusi. Kredibilitas seseorang ditentukan oleh sentimen publik, bukan mekanisme verifikasi yang transparan.
Jika memang ijazah Jokowi valid, maka negara harus menyatakannya secara tegas dan terbuka. Jika ada keraguan, maka penyelidikan harus dilakukan secara netral dan profesional. Sayangnya, keduanya tak terjadi. Negara memilih diam, dan membiarkan isu ini tumbuh liar di kebun opini.
Yang lebih mengkhawatirkan, ini bisa menjadi preseden buruk. Jika seorang presiden bisa dipertanyakan ijazahnya tanpa penyelesaian yang tuntas, maka publik akan makin skeptis terhadap institusi. Kepercayaan terhadap universitas, aparat hukum, bahkan sistem demokrasi itu sendiri bisa tergerus. Politik ingatan kita akan dicatat bukan dengan argumentasi, tapi dengan sensasi. Sejarah akan ditulis dengan rumor, bukan dokumen.
Maka, tak salah jika polemik ijazah ini disebut sebagai bentuk creative destruction yang tak hanya menghancurkan figur, tapi juga kepercayaan. Dalam pertarungan ini, yang kalah bukan hanya Jokowi atau pendukungnya, tapi rakyat yang dibiarkan lapar dalam kebisingan, mencari makna di tengah ilusi.
Di akhir cerita ini, mungkin kita akan sadar: ijazah hanyalah selembar kertas. Tapi di tangan kekuasaan, ia bisa menjadi alat untuk membangun atau meruntuhkan dunia. Hmm. (S13)