Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Rekrutmen 24.000 tamtama TNI AD tampak bukan sekadar ekspansi militer, tapi bagian dari visi strategis untuk menjadikan prajurit sebagai agen pembangunan desa dan ketahanan pangan. Mengacu pada model serupa tapi tak sama yang diterapkan Vietnam dan Tiongkok, inilah kiranya wajah baru pertahanan sosial-produktif Indonesia. Benarkah demikian?
Rencana rekrutmen 24.000 tamtama oleh TNI AD telah memantik diskusi menarik di ruang publik. Sebagian pihak menilai kebijakan ini berpotensi menyeret militer ke ranah sipil secara berlebihan, terutama ketika dikaitkan dengan program pembangunan dan ketahanan pangan.
Namun di sisi lain, langkah ini justru dapat pula dibaca sebagai artikulasi baru atas peran militer dalam mendukung agenda strategis negara yang lebih luas dan bersifat jangka panjang.
Secara historis, peran militer dalam pembangunan bukanlah barang baru. Namun dalam konteks demokrasi pasca-Reformasi di Indonesia, keterlibatan TNI dalam fungsi non-kombatan sempat menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya “dwi fungsi ABRI.”
Oleh karena itu, reorientasi peran ini membutuhkan kerangka normatif dan strategis yang baru—yang tidak bersifat koersif, tetapi partisipatif dan produktif.
Dalam wawancara tertanggal 7 Juni 2025, Brigjen TNI Wahyu Yudhayana selaku Kadispenad menegaskan bahwa “dengan pendekatan ini, prajurit TNI AD jadi kekuatan pembangunan yang hadir dan bermanfaat langsung di masyarakat.”
Pernyataan tersebut kiranya merefleksikan integrasi antara kebijakan pertahanan dan strategi pembangunan nasional, yang berpijak pada agenda besar pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
Lalu, mengapa agenda ini tampak cukup krusial?
Pertahanan Sosial-Produktif?
Gagasan perekrutan 24.000 tamtama TNI AD dalam sektor pembangunan & pangan tidak dapat dilepaskan dari visi “Asta Cita” Presiden Prabowo.
Salah satu pilar utama dari visi ini adalah transformasi ketahanan nasional menjadi sesuatu yang bersifat holistik, yakni tidak hanya menyangkut pertahanan militer, tetapi juga mencakup ketahanan pangan, energi, dan sumber daya strategis lainnya.
Dengan demikian, pembangunan Batalyon Teritorial Pembangunan dan perekrutan tamtama bukan sekadar urusan komposisi personel militer, melainkan ekspresi dari model baru pertahanan sosial-produktif.
Secara konseptual, hal ini dapat dijelaskan melalui teori dual-use doctrine dalam studi pertahanan, di mana militer tidak hanya memiliki kapasitas untuk perang, tetapi juga untuk tujuan-tujuan damai dan pembangunan.
Pendekatan ini selaras dengan ide developmental security dalam literatur studi keamanan non-tradisional. Di dalamnya, militer dilibatkan untuk memperkuat dimensi kesejahteraan warga negara dalam kerangka stabilitas jangka panjang.
Sejak menjabat Menteri Pertahanan, Prabowo telah menyuarakan pentingnya transformasi sektor pertahanan menjadi bagian dari solusi atas stagnasi pembangunan. Termasuk probabilitas kemungkinan integral mengenai pembangunan desa, lemahnya rantai pasok pangan, serta dominasi mafia pertanian dan impor bahan pokok.
Rekrutmen tamtama secara masif diproyeksikan sebagai alat distribusi manusia dan teknologi ke wilayah-wilayah tertinggal, sehingga proses transfer of knowledge & technology bisa berlangsung di level paling akar.
Model ini mencerminkan apa yang oleh James C. Scott sebut sebagai state simplification through legibility, di mana negara membangun kehadiran langsung di desa-desa untuk menstrukturkan dan menstabilkan kehidupan warga secara produktif.
Dalam konteks Indonesia, prajurit TNI AD berpotensi menjadi agen “legibilitas” pembangunan di wilayah yang sebelumnya tak tersentuh oleh negara atau hanya bergantung pada struktur birokrasi sipil yang kerap terbatas daya jangkaunya.
Selain itu, pelibatan tamtama muda, didukung oleh bintara dan perwira bidang serupa – baik yang juga baru direkrut beberapa waktu lalu maupun yang berpengalaman tentunya – dalam pembangunan juga menjadi respons atas fenomena sosial yang lebih luas: urbanisasi besar-besaran dan ketimpangan pembangunan desa-kota.
Dengan menempatkan ribuan prajurit sebagai fasilitator pembangunan berbasis komunitas, harapannya, negara bisa mengembalikan keseimbangan distribusi sumber daya manusia dan ekonomi nasional.
Tinggal kini pertanyaannya, sejauh mana efektivitas kebijakan tersebut dan relevansinya dengan Indonesia?

Belajar dari Para Suhu?
Untuk memahami lebih dalam efektivitas dan prospek dari pendekatan ini, praktik serupa di negara-negara lain kiranya patut menjadi pondasi optimisme dan neverending learning, yang berhasil mengintegrasikan kekuatan militer dalam proyek pembangunan nasional tanpa mengancam tatanan demokratis.
Tiongkok menjadi sampel pertama dan telah lama mengadopsi Military-Civil Fusion sebagai salah satu inti dari kebijakan pertahanannya. Dalam konteks ini, militer tidak hanya sebagai kekuatan tempur, tetapi juga sebagai instrumen modernisasi teknologi, riset, dan bahkan, pangan.
Melalui integrasi antara militer dan sektor pertanian canggih, Tiongkok kini disebut-sebut memiliki sistem cadangan pangan nasional terbesar di dunia, serta distribusi logistik pertanian yang nyaris tidak pernah terganggu krisis global.
Bagi Indonesia, model ini kiranya mengajarkan pentingnya sinergi antara keamanan nasional dan produktivitas pangan sebagai satu kesatuan kebijakan strategis. Tidak berarti meniru sistem otoritarian, tetapi mengambil esensinya: efisiensi dan keberlanjutan.
Sampel kedua, menarik untuk melihat Vietnam. Negara yang bahkan tampak lebih eksplisit dalam menyatukan militer dan pembangunan melalui Đơn vị Kinh tế-Quốc phòng (Unit Ekonomi Pertahanan).
Dalam model ini, prajurit berperan aktif membangun desa, mengelola pertanian, peternakan, dan perkebunan, serta menurunkan angka kemiskinan. Hasilnya, Vietnam berhasil dikatakan mencapai kemandirian beras, peningkatan indeks pembangunan manusia, dan memperkuat solidaritas antara rakyat dan tentara.
Kesuksesan ini memberi satu pelajaran penting lainnya, bahwa militer bisa menjadi agen pemutus mata rantai ketimpangan sosial jika diberi pelatihan, kerangka kerja, dan legitimasi kebijakan yang tepat.
Ketiga, Pakistan, yang mengembangkan perusahaan agribisnis yang dikelola oleh militer dan eks militer untuk mengolah lahan pertanian skala besar, memproduksi pupuk, dan mengelola distribusi pangan.
Selama krisis atau bencana, disiplin militer pun disebut menjadi penjamin logistik pangan nasional. Meskipun penuh kritik terhadap transparansi, sistem ini berhasil menjaga ketersediaan stok pangan dan mencegah kelangkaan saat masa krisis.
Dari Pakistan, Indonesia kiranya dapat belajar bahwa pelibatan militer di sektor pangan bukan hanya tentang produksi, tetapi juga tentang manajemen risiko nasional.
Kembali, misi rekrutmen 24.000 tamtama bukan sekadar ekspansi kekuatan militer, tetapi artikulasi dari bentuk baru kehadiran negara yang aktif, solutif, dan produktif.
Dengan paradigma pembangunan sebagai bagian dari doktrin pertahanan nasional, Indonesia sedang menapaki babak baru dalam menata relasi sipil-militer secara lebih fungsional dan progresif.
Namun demikian, “sakralitas” misi ini kiranya tetap tidak boleh mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan akuntabilitas. Pemerintah dan angkatan bersenjata harus menjaga transparansi, memastikan pelatihan yang memadai, serta membangun mekanisme evaluasi yang jelas. Peran sipil pun tetap harus dominan dalam hal pengambilan kebijakan dan pengawasan publik.
Jika dirancang dan dijalankan dengan baik, misi sakral ini bukan tidak mungkin bisa menjadi fondasi bagi Indonesia Emas 2045, di mana kekuatan pertahanan tidak hanya menjaga kedaulatan dari ancaman luar, tetapi juga memperkuat ketahanan dari dalam, yakni pangan, masyarakat, dan masa depan. (J61)