Dengarkan artikel ini:
Wakil Ketua MPR dari PKS, Hidayat Nur Wahid (HNW), dinilai tidak sensitif terhadap penggunaan transportasi umum oleh masyarakat biasa. Seperti Ja Rule, PKS terancam kehilangan relevansi karena ketidaksensitifannya dan arah politik yang tak jelas.
“What would I be without my baby? The thought alone might break me” – Ja Rule, “Put It On Me” (2000)
Ja Rule pernah menjadi salah satu rapper paling dominan di industri musik pada akhir 1990-an dan awal 2000-an. Dengan lagu-lagu hit seperti “Always On Time”, “Livin’ It Up”, dan “Mesmerize”, ia menguasai tangga lagu dan menjadi ikon hip-hop mainstream.
Namun, dominasi Ja Rule mulai runtuh ketika ia terlibat dalam perseteruan dengan 50 Cent. Perang ini bukan hanya soal musik, tetapi juga melibatkan konflik nyata di jalanan, di mana 50 Cent didukung oleh Dr. Dre dan Eminem, membuat Ja Rule kehilangan pijakan dalam industri.
Di luar konflik dengan 50 Cent, Ja Rule juga mengalami kemunduran karena perubahan tren hip-hop. Saat rap semakin bergeser ke gaya yang lebih keras dan otentik, musik Ja Rule dianggap terlalu komersial dan kehilangan daya tariknya.
Selain kejatuhannya di dunia musik, reputasi Ja Rule semakin hancur karena keterlibatannya dalam skandal Fyre Festival. Festival yang dipromosikannya sebagai acara mewah di kepulauan Bahama itu ternyata adalah penipuan besar, yang membuatnya digugat dan dihujani kritik dari publik.
Setelah kejatuhannya, Ja Rule tetap berusaha kembali ke industri musik dan bisnis, tetapi ia tak pernah bisa mencapai kejayaannya yang dulu. Namanya kini lebih sering dikaitkan dengan kegagalan dan kontroversi dibandingkan dengan prestasi musikalnya.
Kisah Ja Rule mencerminkan bagaimana seseorang yang berpotensi besar bisa kehilangan segalanya karena kesalahan strategi dan perhitungan yang buruk. Dalam dunia politik, kejatuhan seperti ini juga sering terjadi ketika seseorang yang berkuasa tiba-tiba tersingkir karena konflik dan skandal.
Mengapa ini berkaitan dengan politik Indonesia? Siapa “Ja Rule” yang ada dalam permainan politik dalam negeri?
PKS Adalah “Ja Rule”?
Ja Rule pernah berada di puncak industri musik dengan lagu-lagu hit yang mendominasi tangga lagu. Namun, kejatuhannya terjadi ketika ia gagal membaca perubahan industri dan semakin kehilangan kepekaan terhadap ekspektasi publik.
Ketidaksensitifan terhadap perubahan membuat Ja Rule akhirnya tersingkir oleh pesaing yang lebih adaptif seperti 50 Cent. Fenomena ini menunjukkan bagaimana seseorang atau institusi yang kehilangan kepekaan sosial akan perlahan kehilangan relevansi dan dukungan.
Hal yang sama kini terlihat dalam sikap PKS, yang semakin menunjukkan ketidaksensitifannya terhadap aspirasi masyarakat. Pernyataan Hidayat Nur Wahid (HNW), Wakil Ketua MPR RI dari PKS, yang penuh pertimbangan dalam menanggapi usulan agar pejabat menggunakan transportasi umum, memperjelas hal ini.
Alih-alih menunjukkan solidaritas dengan rakyat yang menghadapi transportasi umum sebagai kebutuhan sehari-hari, sikap tersebut justru menegaskan adanya jurang pemisah antara pejabat dan masyarakat. Ketika pejabat enggan merasakan langsung tantangan yang dihadapi rakyat, bagaimana mungkin mereka bisa membuat kebijakan yang benar-benar berpihak?
Larry May dalam jurnalnya “Insensitivity and Moral Responsibility” menjelaskan bahwa semakin seseorang tidak sensitif terhadap kondisi sosial, semakin kecil pula kesadarannya akan dampak dari sikap dan tindakannya terhadap orang lain. Inilah yang kini terjadi dengan PKS, yang semakin jauh dari citra sederhana dan populis yang dulu mereka bangun.
Seperti Ja Rule yang kehilangan relevansi karena gagal membaca perubahan, PKS juga berisiko mengalami kemunduran jika terus menunjukkan sikap yang insensitif terhadap rakyat. Jika PKS terus terjebak dalam sikap ini, apa dampaknya bagi masa depan partai ini? Mungkinkah ini menjadi akhir bagi PKS?
PKS Menuju Senja?
Insensitivitas yang semakin terlihat dalam sikap PKS bukan hanya sekadar kesalahan komunikasi, tetapi juga ancaman bagi masa depan partai itu sendiri. Dengan semakin menjauh dari realitas sosial yang dihadapi masyarakat, PKS berisiko kehilangan kepercayaan dari pemilihnya.
Di tengah upaya moderasi, PKS justru menghadapi dilema besar karena semakin teralienasi dari basis konservatifnya. Mereka yang dulu mendukung PKS karena identitas Islam yang kuat kini merasa partai ini tidak lagi mewakili kepentingan mereka secara utuh.
Steven Greene dalam tulisannya “Social Identity Theory and Party Identification” menjelaskan bahwa pemilih cenderung setia kepada partai yang mencerminkan identitas dan nilai-nilai mereka. Ketika sebuah partai berubah terlalu jauh dari karakter awalnya, ia akan kehilangan daya tarik bagi pendukung lama tanpa serta-merta menarik pemilih baru.
PKS tampaknya mengalami hal ini, di mana upaya untuk menjadi lebih moderat justru membuatnya terombang-ambing antara dua kutub yang berlawanan. Di satu sisi, mereka belum cukup progresif untuk menarik pemilih yang lebih moderat, tetapi di sisi lain, mereka juga kehilangan pemilih konservatif yang merasa PKS telah berubah terlalu jauh.
Kondisi ini mirip dengan kejatuhan Ja Rule yang terjebak dalam transisi antara musik rap hardcore dan gaya hip-hop yang lebih pop. Ketika ia gagal menyesuaikan diri dengan tren baru, ia tidak hanya kehilangan penggemar lama, tetapi juga tidak berhasil membangun audiens baru.
Jika PKS tidak segera menemukan keseimbangan dalam arah politiknya, bukan tidak mungkin partai ini akan semakin terpinggirkan. Seperti Ja Rule yang kehilangan tempat di industri musik, apakah PKS juga akan mengalami nasib serupa dalam politik Indonesia? Jawabannya kembali pada PKS sendiri. (A43)