Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Alih-alih menyelesaikan akar permasalahan aspek kesehatan masyarakat Indonesia secara konstruktif, elite pembuat keputusan serta para elite dokter dan tenaga kesehatan justru saling sindir. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin seolah masih belum menemukan ritme selaras, utamanya dengan asosiasi profesi kesehatan Indonesia yang bisa saja berbahaya bagi kepentingan kesehatan rakyat. Lalu, ada apa sebenarnya di balik intrik tersebut?
Sejak dilantik pada Desember 2020, Budi Gunadi Sadikin (BGS) langsung mencuri perhatian karena berasal dari latar belakang non-kesehatan, seorang bankir yang kini memimpin kementerian teknis yang kompleks dan vital.
Keputusan Presiden ke7 RI Joko Widodo dan penerusnya Presiden Prabowo Subianto menunjuk Budi mencerminkan preferensi terhadap manajerialisme birokrasi, yakni sebuah kecenderungan global sejak era New Public Management (NPM) yang menekankan efisiensi, outcome-based governance, dan modernisasi sistem melalui teknologi dan audit kinerja.
Namun, dalam praktiknya, pendekatan ini bersinggungan langsung dengan tatanan lama yang dibangun selama puluhan tahun oleh komunitas medis, khususnya asosiasi profesi seperti IDI, IDAI, dan kolegium dokter spesialis serta tenaga kesehatan lainnya.
Ketegangan ini tampaknya tidak bersifat temporer. Dalam studi teori konflik, ketegangan antarinstitusi bukan sekadar friksi personal atau miskomunikasi, tetapi manifestasi dari pertarungan kepentingan struktural antara otoritas teknokratik yang mengusung efisiensi dan modernisasi, dengan kelompok epistemik tradisional yang mempertahankan otoritas profesional berbasis keilmuan, etika, dan sejarah panjang pengabdian medis.
Terbaru, fenomena ini semakin nyata ketika IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) menyatakan bahwa komunikasi antara Menkes dan komunitas dokter sangat buruk, bahkan menyarankan reformasi menyeluruh dalam relasi vertikal kementerian dan organisasi profesi.
IDI bahkan melangkah lebih jauh dengan meminta Presiden mencopot Budi, mempersoalkan pembentukan kolegium tandingan yang dianggap sebagai upaya intervensi terhadap otonomi profesi.
Lalu, mengapa intrik bernuansa konfliktual ini seolah tak memiliki ujung sejak Budi dilantik?
Instabilitas Ganti “Pemain”?
Ketegangan antara Menkes dan asosiasi profesi tidak bisa dilepaskan dari dinamika kekuasaan yang sedang bergeser.
Dalam konteks ini, pendekatan Michel Foucault tentang knowledge/power kiranya bisa menjadi rujukan, di mana pengetahuan bukanlah entitas netral, melainkan alat dan medan pertarungan kuasa.
Profesi kesehatan, khususnya komunitas dokter, selama ini agaknya memiliki monopoli epistemik, yang mana mereka menentukan standar pendidikan, kompetensi, hingga kewenangan praktik.
Posisi ini diperkuat oleh struktur kolegium dan asosiasi profesi, yang dalam banyak hal dinilai bersifat eksklusif dan tertutup.
Ketika Budi memperkenalkan sistem baru, rekonstruksi ulang sistem pendidikan dokter spesialis, serta mendorong pembentukan kolegium versi pemerintah, ia tidak hanya menawarkan reformasi teknis, tetapi secara implisit sedang menantang regime of truth yang selama ini dipegang asosiasi profesi.
Konflik ini mengingatkan pada teori field dari Pierre Bourdieu, di mana dunia kesehatan adalah medan sosial tempat berbagai aktor bertarung memperebutkan capital, baik itu cultural capital (pengetahuan, kredensial medis), social capital (jejaring asosiasi), maupun symbolic capital (kepercayaan publik).
Masuknya Menkes dari luar dunia kesehatan membuatnya tidak memiliki legitimasi simbolik di mata komunitas profesi. Namun sebagai pejabat publik, Budi memiliki state capital yang sah untuk mengintervensi sistem.
Dari sini, reaksi keras asosiasi seperti IDI dan IDAI bukanlah resistensi biasa, tetapi bisa dibaca sebagai upaya mempertahankan status quo yang terancam oleh logika manajerialisme modern.
Ironisnya, pertarungan ini memakan energi institusional di saat Indonesia tengah menghadapi tantangan kesehatan yang jauh lebih krusial dan kompleks.

Distraksi dari Krisis Substansial?
Salah satu akibat paling disayangkan dari konflik ini adalah teralihkan-nya perhatian publik dan kebijakan dari persoalan substantif yang jauh lebih mendesak.
Laporan dan sorotan media dalam beberapa bulan terakhir memperlihatkan potret buram layanan kesehatan, mulai dari minimnya distribusi dokter di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), laporan pelecehan seksual oleh dokter terhadap pasien maupun sejawat, hingga praktik bullying dan pemerasan terhadap peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS).
Persoalan-persoalan ini bersifat sistemik dan menyentuh dimensi keadilan sosial, perlindungan hak pasien dan tenaga medis muda, serta kapasitas negara dalam menyediakan layanan dasar yang bermartabat.
Sayangnya, konflik antara Menkes dan organisasi profesi justru berpotensi mengubur diskusi publik dan reformasi mendalam atas isu-isu tersebut.
Dalam studi Anthony Giddens tentang structuration theory, sistem sosial tidak hanya dibentuk oleh struktur institusi, tetapi juga oleh agency, yakni aktor-aktor kunci yang bisa mereproduksi atau merombak struktur.
Dalam konteks ini, baik Budi maupun asosiasi profesi memiliki agency kuat yang bisa mengarahkan reformasi ke arah lebih progresif dan kolaboratif. Namun sejauh ini, keduanya cenderung terjebak dalam spiral defensif yang membuat reformasi kesehatan seolah menjadi ajang tarik-ulur politis dan simbolik.
Budi, meski kerap dianggap “asing” dalam dunia medis, kiranya membawa pendekatan strategis jangka panjang yang layak diperhitungkan: efisiensi, akses, dan pemerataan.
Namun, komunikasi yang tidak terkelola, serta manuver yang dianggap menyerobot domain profesionalisme, membuatnya kehilangan dukungan dari komunitas paling vital dalam sistem kesehatan.
Sebaliknya, asosiasi profesi pun tidak lepas dari kritik. Dalam banyak kasus, mereka terkesan tertutup terhadap evaluasi dan reformasi struktural.
Skandal pelecehan seksual, ketimpangan pendidikan spesialis yang mahal dan elitis, serta laporan bullying terhadap PPDS belum ditanggapi dengan reformasi internal yang serius. Ini menunjukkan bahwa self-regulatory body yang terlalu kuat tanpa pengawasan negara justru berisiko menciptakan “monopoli moral” yang tak akuntabel.
Konflik antara Menkes Budi dan asosiasi profesi agaknya merupakan gejala dari pertarungan lebih besar antara modernisasi institusional dengan monopoli epistemik yang telah lama mengakar.
Masing-masing membawa kepentingan dan kekuatan, negara ingin reformasi sistemik demi pemerataan dan efisiensi, sementara asosiasi profesi ingin mempertahankan kontrol terhadap standar dan etika profesi.
Namun, bila keduanya terus bertarung dalam medan simbolik, publiklah yang paling dirugikan. Rakyat akan kehilangan momentum reformasi kesehatan yang sejati, seperti layanan merata, sistem pendidikan medis yang adil dan bebas kekerasan, serta komunitas medis yang sehat secara etis dan profesional.
Sebagaimana dicatat dalam teori deliberatif Habermas, jalan keluar dari konflik institusional semacam ini adalah melalui komunikasi rasional yang setara dan terbuka.
Negara tidak bisa memaksakan logika efisiensi tanpa memahami logika etis dan otonomi profesi. Sebaliknya, profesi kesehatan tidak bisa terus mempertahankan eksklusivisme dalam dunia yang menuntut keterbukaan dan akuntabilitas.
Reformasi kesehatan tidak bisa berhasil jika dilakukan dalam suasana saling mencurigai. Yang dibutuhkan hari ini bukanlah siapa yang paling benar, tetapi siapa yang paling bersedia membuka diri untuk mendengar. Kesehatan adalah urusan publik, dan publik layak mendapatkan yang terbaik dari kedua kutub kekuasaan ini. (J61)