HomeHeadlineMenguji "Otot Politik" Andika Perkasa

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.


PinterPolitik.com

Bukan PDIP kiranya jika tak memberikan perlawanan maksimal di Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) Jawa Tengah 2024. Esensinya bahkan dapat dikatakan lebih besar dibandingkan mengandalkan sosok dan program duet Andika Perkasa-Hendrar Prihadi (Hendi).

Ya, persaingan ketat telah terlihat melalui teropong elektabilitas survei Pilgub Jawa Tengah. Andika Perkasa-Hendrar Prihadi dan Ahmad Luthfi-Taj Yasin dipisahkan selisih keterpilihan sementara yang sangat tipis.

Ahmad Luthfi-Taj Yasin yang didukung koalisi politik pemenang Pilpres dan diunggulkan, agaknya tak akan dibiarkan begitu saja. Terlebih, Pilgub Jateng menjadi pertaruhan bagi debut Andika untuk menunjukkan “otot politik”nya.

Tetapi, kembali, Pilgub Jateng 2024 pun dinilai menjadi prioritas utama PDIP untuk menjaga kehormatan mereka. Sesuatu yang jika diinterpretasi lebih dalam, kiranya melampaui pembuktian “otot politik” Andika sendiri. Mengapa demikian?

Saga Pamungkas PDIP vs Jokowi

Pilgub Jawa Tengah 2024 bisa menjadi babak pamungkas dalam ketegangan politik antara Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri dan Joko Widodo. Terlepas dari upaya harmonisasi selama pemerintahan Jokowi, Pilpres dan Pilkada 2024 telah menunjukkan bahwa perbedaan haluan politik di antara keduanya semakin tajam.

Jawa Tengah, sebagai basis tradisional PDIP sekaligus salah satu provinsi dengan banyak simpatisan serta pendukung Jokowi, menjadi medan pertempuran strategis bagi keduanya.

Secara historis, persaingan yang mirip dapat kita lihat dalam kisah Romawi kuno, terutama dalam hubungan antara Julius Caesar dan Pompey. Seperti PDIP dan Jokowi, Caesar dan Pompey dulunya adalah sekutu yang sama-sama membangun fondasi kekuatan Romawi.

Namun, setelah kepentingan politik mereka mulai bertentangan, keduanya terpecah, berujung pada perang sipil yang menentukan masa depan Roma. Dalam konteks ini, Megawati memegang peran Caesar, seorang pemimpin yang teguh dalam mempertahankan pengaruh dan kehormatan partainya.

Di sisi lain, Jokowi, seperti Pompey, adalah pemimpin yang ingin mempertahankan dukungan publiknya di tengah perbedaan politik.

Megawati dan PDIP berusaha memastikan bahwa Jawa Tengah tidak hanya menjadi arena bagi pembuktian debut politik Andika Perkasa, tetapi juga sebagai simbol konsistensi kekuatan PDIP.

Megawati memiliki sejarah panjang dalam membangun basis dukungan di Jawa Tengah, sehingga Pilgub Jateng 2024 kiranya bukan sekadar soal kemenangan kandidat, tetapi juga sebagai upaya mempertahankan dominasi politik yang telah dibangun PDIP selama bertahun-tahun.

Dengan demikian, kemenangan di Jawa Tengah memiliki dimensi yang lebih mendalam bagi PDIP dibandingkan sekadar meraih kursi gubernur. Ihwal yang akan terkait bukti bahwa PDIP tetap relevan dan kuat di tengah perubahan lanskap politik nasional.

Baca juga :  Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Di sisi lain, Jokowi memiliki kepentingan untuk tetap memiliki pengaruh di Jawa Tengah, terutama mengingat dukungan pribadinya yang besar di provinsi tersebut.

Ketegangan ini mencerminkan perbedaan visi antara dua generasi politik Indonesia, yakni Megawati sebagai representasi generasi lama yang mengakar pada basis ideologis dan tradisi, dan Jokowi sebagai pemimpin yang lebih pragmatis dan berorientasi pada program-program konkrit yang langsung menyentuh kehidupan rakyat.

Bagi Megawati, Pilgub Jawa Tengah adalah cara untuk mempertahankan otoritasnya dalam PDIP sekaligus memperlihatkan bahwa kepemimpinannya tidak dapat dikesampingkan, bahkan oleh seorang kader yang kemudian bertransformasi menjadi Presiden RI yang dulunya ia dukung.

Perebutan ini memperlihatkan bahwa bagi PDIP dan Megawati, gengsi politik di Pilgub Jateng melampaui sekadar kepentingan personal Andika Perkasa. Pertarungan ini adalah upaya Megawati untuk memastikan bahwa masa depan PDIP tetap terjaga di tangan keluarga Soekarno.

Bagi Megawati, kemenangan Andika di Jawa Tengah juga merupakan cara untuk mengamankan warisan politik yang telah ia bangun, mengingat bahwa edisi 2024 kemungkinan menjadi salah satu kontestasi politik terakhir yang ia bisa kendalikan secara langsung.

Saat berbicara persaingan di antara Megawati-PDIP dan Jokowi, peran seorang Presiden RI saat ini, yakni Prabowo Subianto tampaknya juga akan memiliki andil. Terlebih, jika ada dinamika signifikan dalam tiga minggu ke depan.

indonesia first doktrin ala prabowo 1

Mungkinkah Prabowo “Mengayun”?

Selain dinamika antara Megawati dan Jokowi, sikap politik Presiden Prabowo Subianto dalam Pilgub Jawa Tengah 2024 juga menjadi variabel krusial yang dapat menentukan hasil akhir.

Relasi politik yang kerap dinilai cukup rumit di antara Prabowo dan Jokowi, yang saling berinteraksi melalui berbagai kepentingan politik dan profesional, menciptakan situasi yang kompleks dan bisa saja memengaruhi Pilgub Jawa Tengah 2024 di menit akhir.

Kemungkinan ini memang tampak kecil saat ini, namun jika Prabowo memutuskan untuk memberikan restu kepada Andika-Hendi, aliansi ini bisa saja melemahkan dominasi personal Jokowi di Jawa Tengah.

Situasi ini mengingatkan kita pada taktik diplomasi dan aliansi yang dimainkan oleh Octavian (kemudian dikenal sebagai Augustus) dalam perang sipil melawan Mark Antony di Romawi.

Sebagai pewaris Caesar, Octavian sangat berhati-hati dalam menjalin aliansi strategis dan memilih waktu yang tepat untuk menunjukkan kesetiaan.

Di Pilgub Jateng, Prabowo kiranya berada dalam posisi seperti Octavian di mana ia memegang kunci untuk membentuk atau menghancurkan aliansi berdasarkan kepentingan politik, profesional, maupun personal.

Jika Prabowo mendukung Andika-Hendi, ia berpotensi menciptakan konstelasi politik baru yang mampu menyaingi basis dukungan Jokowi.

Keputusan Prabowo bisa jadi tidak sekadar didasarkan pada pertimbangan Pilgub, tetapi juga strategi yang lebih besar dalam menjaga stabilitas pemerintahannya.

Baca juga :  Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Sebagai presiden, Prabowo memiliki kepentingan untuk mengakhiri rivalitasnya dengan Jokowi, terutama dalam konteks power struggle. Dengan memberikan dukungan kepada Andika-Hendi, Prabowo bisa menunjukkan bahwa ia siap meninggalkan Jokowi demi mencapai harmoni politik yang lebih luas.

Langkah ini juga dapat mempermudah Prabowo dalam menjalankan program pemerintahannya tanpa terhambat oleh tawar menawar politik yang selama ini menjadi penghalang antara dirinya dan mantan presiden.

Selain itu, posisi Prabowo sebagai Presiden memberikan dimensi tambahan. Dukungan Prabowo terhadap Andika-Hendi juga akan menunjukkan kemampuan Prabowo untuk mengelola stabilitas dan menjaga harmoni di antara kekuatan-kekuatan politik yang berbeda, termasuk dengan Megawati dan PDIP.

Apabila Prabowo berhasil menjalin hubungan erat dengan PDIP, terutama dengan Megawati, ini dapat memperkuat posisinya dan memuluskan jalannya dalam memimpin pemerintahan tanpa intervensi berlebih dari kubu Jokowi.

Manuver tersebut, meskipun tidak serta merta menyelesaikan semua perbedaan, setidaknya menunjukkan bahwa Prabowo siap menggunakan posisinya untuk mencapai konsensus politik, layaknya Octavian yang memanfaatkan aliansi untuk membangun fondasi Kekaisaran Romawi.

Dalam konteks Pilgub Jawa Tengah 2024, hubungan dinamis antara Megawati, Jokowi, dan Prabowo dapat menciptakan konstelasi politik yang sangat berbeda dari yang diperkirakan banyak orang.

Megawati tentu memiliki alasan kuat untuk mempertahankan Jawa Tengah sebagai basis PDIP. Sementara itu, Jokowi pun tidak akan rela reputasi dan basis dukungannya terkikis.

Kendati demikian, Prabowo memiliki kekuatan untuk menjadi penentu, yang jika mengayunkan dukungannya kepada Andika-Hendi, dapat menciptakan pukulan telak terhadap dominasi Jokowi di Jawa Tengah.

Kembali, andai kepentingan Presiden Prabowo menemui benang merah dengan kepentingan PDIP dan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri untuk mendukung politik dan pemerintahannya, bukan tidak mungkin hal itu akan membuatnya berubah pikiran untuk turut “membantu” atau “merestui” Andika-Hendi dari balik panggung. Konsekuensinya, “kekalahan Jokowi” bisa saja menjadi kenyataan.

Terlebih, Presiden Prabowo tentu tak ingin terus memelihara power struggle dirinya dengan Presiden terdahulu agar dapat lebih leluasa bekerja sebagai seorang RI-1, baik secara profesional maupun secara politik.

Oleh karena itu, Pilgub Jateng 2024 tampaknya bukan hanya terkait pembuktian otot dan kecerdasan politik Andika semata, tetapi terkait pula dengan relasi serta korelasi di antara Megawati, PDIP, Presiden Prabowo, Jokowi, dan aktor terkait lainnya.

Akan tetapi, penjelasan di atas masih sebatas interpretasi semata. Mengakhiri hubungan baik dengan Jokowi pun kiranya akan berisiko bagi Presiden Prabowo dalam jangka pendek kekuasaan politik dan pemerintahannya. 

Di sisi lain, kepentingan merangkul semua pihak di akhir cerita juga bisa saja terjadi dan tensi politik di masa lalu sirna begitu saja saat kompromi politik tercapai. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?

Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Partai Gerindra di bawah komando Prabowo Subianto seolah sukses menguasai Pulau Jawa setelah tiga “mahapatih” mereka, yakni Andra Soni, Dedi Mulyadi, serta Ahmad Luthfi hampir dapat dipastikan menaklukkan Pilkada 2024 sebagai gubernur. Hal ini bisa saja menjadi permulaan kekuasaan lebih luas di Jawadwipa. Mengapa demikian?

Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Dengan kekalahan Ridwan Kamil dan Airin Rachmi Diany di Pilkada Serentak 2024. Mungkinkah Golkar akan semakin jatuh di bawah Bahlil Lahadalia?

Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Hasil tidak memuaskan yang diperoleh pasangan Ridwan Kamil-Suswono (RIDO) dalam versi quick count Pemilihan Gubernur Jakarta 2024 (Pilgub Jakarta 2024) menjadi pertanyaan besar. Mengapa calon yang didukung koalisi besar tidak tampil dominan? 

Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Pemerintahan Prabowo Subianto siapkan sejumlah strategi untuk tingkatkan investasi dan SDM. Mungkinkah Prabowo siap untuk “lompat katak”?

More Stories

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Partai Gerindra di bawah komando Prabowo Subianto seolah sukses menguasai Pulau Jawa setelah tiga “mahapatih” mereka, yakni Andra Soni, Dedi Mulyadi, serta Ahmad Luthfi hampir dapat dipastikan menaklukkan Pilkada 2024 sebagai gubernur. Hal ini bisa saja menjadi permulaan kekuasaan lebih luas di Jawadwipa. Mengapa demikian?

Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Endorse politik Anies Baswedan di Pilgub Jakarta 2024 kepada kandidat PDIP, yakni Pramono Anung-Rano Karno justru dinilai bagai pedang bermata dua yang merugikan reputasinya sendiri dan PDIP di sisi lain. Mengapa demikian?