Dengarkan artikel ini:
Pernah menyebut transportasi umum sebagai shuttle bus? Mungkin, humor inilah yang benar-benar menggambarkan kesenjangan sosial, seperti yang ramai di TikTok.
“I don’t believe in social inequality. I believe in a world where everyone can afford a first-class ticket to wherever they want to go.”
Setiap malam sebelum tidur, Kenny kerap membuka TikTok, X, dan Instagram sekadar untuk melepas penat setelah kuliah. Namun belakangan ini, ia sering melihat video pendek yang cukup mengusik pikirannya—video orang-orang yang tampak kaya menyebut TransJakarta sebagai “shuttle bus,” seolah itu bukan moda transportasi publik biasa.
Dalam video-video tersebut, bahasa tubuh dan gaya bicara para pembuat konten terlihat mencolok dan asing dari realitas kebanyakan warga Jakarta. Ada kesan seolah mereka hidup di dunia yang sama sekali berbeda, bahkan ketika sedang berada di halte atau bus yang sama.
Fenomena ini, bagi Kenny, tidak hanya soal gaya hidup atau kelucuan semata. Ia melihatnya sebagai potret kasatmata dari jurang kesenjangan sosial yang semakin nyata di ruang-ruang publik dan digital.
Sebagai mahasiswa politik, Kenny mulai tertarik menelaah tren ini lebih jauh, terutama bagaimana ruang digital memproduksi dan memperkuat narasi-narasi kelas sosial. Ia membaca ulang teori-teori tentang kapital budaya dan struktur kelas, mencoba memaknai bagaimana seseorang bisa merasa “asing” di tengah fasilitas publik yang justru seharusnya menyatukan semua lapisan masyarakat.
Kenny menyadari bahwa konten seperti ini tidak hanya menunjukkan gaya hidup mewah, tetapi juga mengandung simbol-simbol dominasi dan eksklusi sosial yang dibungkus dalam format hiburan. Platform media sosial, tanpa disadari, menjadi panggung di mana jarak antarkelas justru semakin terlihat dan dinormalisasi.
Dalam hati, Kenny bertanya-tanya: Mengapa konten seperti ini bisa viral, bahkan menjadi tren akhir-akhir ini? Mungkinkah ada persoalan sosial-politik yang mendasari kegandrungan publik terhadap ketimpangan yang diperlihatkan secara terang-terangan?
Komedi Adalah Tragedi?
Kenny baru saja selesai membaca artikel berjudul “Humor and Metaphysical Truth” karya Mark Alznauer di jurnal Crisis & Critique (Vol. 10/Issue 2, 2023). Di sana tertulis bahwa humor sering kali muncul bukan karena kita benar-benar bahagia, tetapi karena kita sadar akan keterbatasan kita di tengah absurditas dunia.
Dalam artikel itu, Alznauer menyebut bahwa komedi adalah bentuk pengakuan terhadap “ketegangan antara ideal dan kenyataan.” Kenny pun mulai merenung, bahwa barangkali itulah alasan mengapa banyak orang tertawa saat melihat video yang jelas-jelas menunjukkan kesenjangan kelas—tertawa adalah cara bertahan di tengah absurditas sosial.
Kenny teringat pada satu bagian penting dalam tulisan Alznauer: “Humor is not an escape from truth but a recognition of it, albeit sideways.” Komedi, menurut Alznauer, adalah cara unik manusia untuk menerima kenyataan yang kadang terlalu pahit jika dihadapi secara langsung.
Di balik tawa atas orang kaya yang menyebut TransJakarta sebagai shuttle bus, tersimpan ironi yang sebenarnya sangat dalam. Kenny sadar, mungkin justru dalam kelucuan itu tersimpan kesedihan kolektif: bahwa kota ini semakin terasa bukan milik bersama, tapi milik segelintir.
Ketika orang tertawa, bukan berarti mereka bahagia; bisa jadi mereka sedang mencari cara untuk menerima absurditas hidupnya. Komedi menjadi topeng halus dari tragedi sosial yang tak pernah benar-benar selesai dibicarakan secara serius.
Lantas, tragedi apa yang dialami oleh warganet Indonesia? Mengapa kita harus terus tertawa, bahkan ketika yang kita tertawakan adalah ketimpangan yang semakin lebar dan nyata?
TikTok = Realitas?
Kenny tidak bisa mengabaikan ironi yang ia lihat setiap kali membuka TikTok. Di antara hiburan dan dance challenge, muncul video-video orang kaya yang menyebut TransJakarta sebagai “shuttle bus,” seolah mereka sedang berada di bandara internasional, bukan di jalanan Jakarta.
Ia lalu membandingkan fenomena ini dengan data dari BPS yang menunjukkan bahwa rasio Gini DKI Jakarta mencapai 0,431 pada September 2024—tertinggi secara nasional. Di balik candaan yang viral itu, tersimpan jurang yang nyata antara mereka yang hidup dalam kemewahan dan mereka yang bergantung pada fasilitas publik sehari-hari.
Menurut Kenny, konten-konten seperti ini bisa populer karena mencerminkan—secara tidak sadar—kenyataan sosial yang dialami oleh warganet. Ketika seseorang menyebut TransJakarta dengan istilah glamor, penonton yang sehari-hari menggunakannya untuk bekerja dan sekolah merasa ada ketimpangan yang “ditamparkan” langsung ke wajah mereka.
Sebagai mahasiswa politik, Kenny memahami ini sebagai bentuk ketegangan antara representasi diri dan realitas struktural. Ia teringat pada data bahwa penduduk miskin di Jakarta masih 4,3%, meski angka itu terlihat kecil, ketimpangannya tetap besar karena distribusi kekayaan dan akses terhadap fasilitas publik tidak merata.
Video-video viral itu bukan sekadar bahan tertawaan; ia menjadi ruang digital di mana tragedi sosial bisa mewujud dalam bentuk komedi. Kenny pun melihat, inilah bentuk nyata dari yang disebut Mark Alznauer sebagai humor that reflects metaphysical truth—bahwa manusia tertawa karena sadar dunia tak adil, namun tak tahu harus berbuat apa.
Kesimpulannya, meningkatnya kesenjangan sosial di Jakarta membuat ruang digital menjadi medan baru bagi ekspresi frustrasi kolektif. Dalam benaknya, Kenny bertanya-tanya: mungkinkah viralnya konten semacam ini adalah bentuk dari trauma sosial yang belum selesai kita pahami? (A43)