HomeHeadlineMBG = “Mangsa” Bill Gates?

MBG = “Mangsa” Bill Gates?

Kecil Besar

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Pendiri Microsoft, Bill Gates, mengunjungi Indonesia dan meninjau program Makan Bergizi Gratis (MBG) bersama Presiden Prabowo Subianto. Mengapa MBG ini menjadi penting dengan kunjungan Gates?


PinterPolitik.com

“The benefits of a school lunch program don’t stop at the classroom door” – Bill Gates (2017)

Kenny sedang duduk di ruang tamu sambil menikmati teh hangat ketika televisi menayangkan berita yang membuatnya menegakkan punggung. Di layar, tampak Presiden Prabowo Subianto dan Bill Gates sedang mengunjungi sebuah sekolah dasar di Jakarta, menyapa anak-anak yang sedang menikmati makan siang bergizi.

Rabu, 7 Mei 2025 menjadi hari istimewa karena Bill Gates, tokoh filantropi dunia, datang langsung ke Indonesia untuk melihat pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Kenny memperhatikan betapa akrabnya percakapan antara Gates dan Prabowo saat mereka melihat proses distribusi makanan yang tertib dan penuh semangat.

Berita-berita menjelaskan bahwa pertemuan ini bukan hanya bentuk apresiasi, tetapi juga bagian dari diskusi lebih luas mengenai peran Indonesia dalam pembangunan global. Gates tampak kagum dengan bagaimana program MBG dirancang tidak hanya untuk mengurangi angka stunting, tapi juga sebagai strategi membangun sumber daya manusia unggul sejak dini.

Anak-anak di sekolah itu tampak gembira; mereka melambaikan tangan kepada dua tokoh besar yang berdiri di depan mereka. Kenny tersenyum melihatnya, membayangkan bahwa generasi masa depan Indonesia sedang mendapat perhatian serius, bahkan dari tokoh dunia seperti Bill Gates.

Gates menyebut MBG sebagai “model inspiratif” yang patut dicontoh negara-negara berkembang lainnya. Kenny mencatat betapa pentingnya program semacam ini bukan hanya untuk urusan dalam negeri, tetapi juga sebagai bagian dari diplomasi kemanusiaan Indonesia di panggung global.

Kenny-pun dalam hatinya bertanya: mengapa Bill Gates begitu tertarik dengan program MBG? Mengapa MBG ini bisa memiliki peran penting dalam kebijakan luar negeri Indonesia ke depannya?

The Remnants of Liberal International Order?

Kenny membuka kembali buku After Victory karya John Ikenberry yang sudah lama ia pinjam dari perpustakaan kampus. Di sana, Ikenberry menjelaskan bahwa tatanan dunia liberal muncul setelah perang besar, di mana negara-negara besar setuju membangun sistem internasional berdasarkan aturan, kerja sama, dan institusi multilateral.

Baca juga :  Politik Pesawat Tempur: Eiffel vs Great Wall?

Menurut Ikenberry, tatanan ini berhasil bertahan karena negara-negara pemenang seperti Amerika Serikat (AS) tidak menggunakan kekuatannya secara sewenang-wenang. Sebaliknya, mereka membentuk lembaga seperti Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan International Monetary Fund (IMF) untuk menciptakan kepercayaan dan stabilitas, yang memungkinkan kerja sama internasional berkembang.

Kenny mengingat bahwa salah satu nilai utama tatanan dunia liberal adalah penghormatan terhadap hak asasi manusia. Termasuk di dalamnya adalah hak untuk hidup layak, seperti hak atas makanan sehat dan bergizi yang kini jadi sorotan dalam banyak agenda pembangunan global.

Bukan hanya negara yang berperan dalam tatanan ini; aktor non-negara seperti LSM dan tokoh filantropi ikut membentuk arah kebijakan global. Kenny kembali teringat berita tentang Bill Gates yang mendukung program MBG di Indonesia, seolah memperkuat nilai tatanan liberal: kolaborasi lintas batas demi kepentingan manusia.

Ikenberry juga menulis bahwa setelah kemenangan, negara harus menciptakan sistem yang inklusif agar tidak muncul lagi ketegangan destruktif. Bagi Kenny, program seperti MBG adalah wujud dari nilai inklusivitas itu—menyatukan kepentingan domestik dan global dalam satu visi: masa depan yang sehat dan berdaya.

Namun, Kenny mulai bertanya-tanya dalam hati: bukankah tatanan dunia ini mulai berakhir dengan situasi global terkini, misalnya perang dagang? Mungkinkah MBG tetap punya peran penting ke depan?

MBG Is the Way?

Kenny sore itu membaca artikel karya Steve Wood berjudul “Prestige in World Politics: History, Theory, Expression”. Dalam tulisan itu, Wood menjelaskan bahwa prestige adalah pengakuan simbolik yang dicari negara untuk membentuk identitas dan mendapatkan tempat terhormat dalam komunitas internasional.

Prestige, kata Wood, bukan hanya soal kekuatan militer atau ekonomi, tapi juga soal bagaimana negara menunjukkan kepatuhan terhadap norma-norma global. Kenny melihat bahwa program MBG bisa menjadi salah satu cara Indonesia menunjukkan bahwa ia adalah negara yang peduli terhadap isu kemanusiaan seperti hak atas makanan sehat.

Baca juga :  Menertawakan ‘Kesenjangan’ Bersama TikTok

Dalam kacamata konstruktivisme, negara tidak hanya mengejar kepentingan materi, tapi juga identitas dan pengakuan. Kenny menyadari bahwa melalui MBG, Indonesia sedang membangun citra diri sebagai bangsa yang beradab, bertanggung jawab, dan memiliki komitmen terhadap kesejahteraan masyarakatnya—nilai yang sangat dihargai dalam tatanan dunia liberal.

Ketika Bill Gates datang ke Jakarta dan meninjau langsung implementasi MBG bersama Presiden Prabowo, dunia menyaksikan bahwa Indonesia sedang menempatkan dirinya sebagai aktor moral global. Bagi Kenny, itu adalah bentuk ekspresi prestige sebagaimana dijelaskan oleh Steve Wood: pengakuan internasional atas tindakan yang mencerminkan norma bersama.

Akhirnya, Kenny mengambil kesimpulan bahwa MBG bukan sekadar kebijakan domestik, melainkan strategi diplomasi yang halus namun kuat. Di tengah kunjungan Bill Gates kemarin, MBG menjadi penting bagi Prabowo karena ia ingin membuktikan bahwa Indonesia pantas dihormati—bukan hanya karena kekuatan, tapi karena kepedulian dan komitmen kemanusiaan. (A43)


spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo-SBY: Tomorrow’s Legacy

Di balik momen saling puji Prabowo dan SBY di Universitas Pertahanan, tersirat warisan besar dua jenderal: menjadikan pendidikan sebagai medan strategis. Kedisiplinan, nasionalisme, dan karakter menjadi jawaban mereka atas disrupsi generasi cemas dan krisis moral di era digital.

Blok ROJALIS: Magnet Pertahanan Baru?

Untuk pertama kalinya sejak Orde Baru, industri pertahanan Indonesia terlihat mulai berporos ke Prancis, Turki, dan Italia. Mungkinkah ini awal terbentuknya poros pertahanan baru yang bisa kita sebut: The Rojalis Block?

Bobby: Mr. Controversy or Strongmen Wannabe?

Bobby Nasution mencuri perhatian sebagai Gubernur termuda dengan langkah berani namun sarat kontroversi. Dari anggaran nyeleneh hingga polemik pulau perbatasan, ia tampil di persimpangan antara warisan Jokowi dan ambisi politik mandiri. Sedang membangun citra atau sekadar bayangan dinasti? Mengapa?

Misi Sakral 24.000 Tamtama?

Rekrutmen 24.000 tamtama TNI AD tampak bukan sekadar ekspansi militer, tapi bagian dari visi strategis untuk menjadikan prajurit sebagai agen pembangunan desa dan ketahanan pangan. Mengacu pada model serupa tapi tak sama yang diterapkan Vietnam dan Tiongkok, inilah kiranya wajah baru pertahanan sosial-produktif Indonesia. Benarkah demikian?

Masih Mungkinkah Mengejar AS & Tiongkok?

ASEAN adalah blok regional yang kuat, tapi bahkan gabungan sepuluh negaranya masih jauh tertinggal dibanding dua adidaya dunia: Amerika Serikat dan Tiongkok. Apakah ini pertanda bahwa dunia kini bergerak menuju tatanan geopolitik yang hanya ditentukan oleh dua poros kekuatan besar?

Menertawakan ‘Kesenjangan’ Bersama TikTok

Pernah sebut transportasi umum sebagai shuttle bus? Mungkin, humor ini benar-benar gambarkan kesenjangan sosial, seperti yang ramai di TikTok.

Rahasia Puan & BG di Balik Layar?

Di balik gestur keharmonisan yang kembali terlihat di antara Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri, peran aktor kunci di balik layar agaknya cukup krusial. Tak hanya bekerja dalam satu konteks, efek domino politik bukan tidak mungkin tercipta dari andil mereka.

Geopolitical AI: Ini Pusat Dunia Masa Depan?

Beijing, Silicon Valley, dan Paris kini jadi pusat investasi AI terbesar di dunia—mewakili tiga kutub kekuatan baru dari Asia, Amerika, dan Eropa. Apakah ini tanda bahwa kota dengan dominasi AI akan menjadi pusat peradaban masa depan?

More Stories

Menertawakan ‘Kesenjangan’ Bersama TikTok

Pernah sebut transportasi umum sebagai shuttle bus? Mungkin, humor ini benar-benar gambarkan kesenjangan sosial, seperti yang ramai di TikTok.

Didit Hediprasetyo, the Designer ‘Prince’?

Bagi Didit Hediprasetyo, kecakapannya di dunia estetika bukanlah batasan. Kemampuannya justru menembus batas-batas, termasuk batas politik.

Lady Gaga: ‘Bad Romance’ Indonesia-Singapura?

Dibandingkan Indonesia, Taylor Swift dan Lady Gaga lebih memilih konser di Singapura. Mengapa ini jadi "bad romance” Indonesia-Singapura?