Dengarkan artikel ini:
Seiring makin banyaknya isu yang menerpa Jokowi dan eks para pembantunya – salah satunya Nadiem Makarim – publik berspekulasi soal akankah ini jadi tanda pengaruh sang presiden ke-7 RI itu telah menurun. Tak sedikit yang menyebutkan bahwa “matahari” Jokowi sudah akan terbenam.
Di awal transisi kekuasaan menuju pemerintahan Prabowo Subianto, banyak pihak menduga bahwa Jokowi akan tetap menjadi sosok berpengaruh. Sosok presiden dua periode ini memang dikenal lihai menjaga kekuasaan di luar jalur resmi. Relasinya dengan elite-elite politik, jaringan loyalis di birokrasi, dan bahkan proyek-proyek besar seperti IKN Nusantara, memberi kesan bahwa Jokowi tak akan benar-benar pergi dari panggung kekuasaan. Namun, seiring waktu, satu demi satu sinyal menunjukkan hal sebaliknya.
Manuver politik Prabowo untuk membangun komunikasi dengan PDI Perjuangan dan Megawati Soekarnoputri menjadi titik balik. Hubungan itu selama ini diketahui retak akibat Jokowi. Kini, dengan kedekatan baru antara Prabowo dan Megawati—yang bahkan diinisiasi lewat utusan partai seperti Sufmi Dasco Ahmad dan Prasetyo Hadi—terbaca jelas bahwa Prabowo sedang memetakan ulang lanskap kekuasaan, dan tak lagi berada di orbit Jokowi semata.
Menurut Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, langkah ini bukan sekadar rekonsiliasi, melainkan deklarasi: bahwa Prabowo adalah matahari tunggal dalam pemerintahan baru. Prabowo sedang mengikis narasi bahwa ia hanyalah “boneka” atau perpanjangan tangan Jokowi. Ketika Prabowo mampu merangkul lawan politik Jokowi, maka pesan yang disampaikan adalah jelas—kendali politik telah berpindah tangan.
Hal ini juga terbukti dalam pengelolaan kekuasaan yang semakin firm di tangan Prabowo. Dengan dukungan mayoritas koalisi partai yang menguasai 84 persen kursi parlemen, ia tidak lagi membutuhkan endorse publik dari Jokowi. Bahkan, berbagai manuver hukum mulai menyasar orang-orang yang sebelumnya menjadi lingkar dalam kekuasaan Jokowi. Nadiem Makarim, misalnya, kini mulai diusik dalam kasus pengadaan laptop di Kemendikbud.
Di tempat lain, Bobby Nasution, menantu Jokowi, terlibat dalam tarik-ulur sengketa pulau di perbatasan Sumut-Aceh. Publik menanti akankah persoalan ini bisa ditangani oleh Prabowo dengan baik juga – sekali lagi untuk makin meminggirkan dan melemahkan posisi politik Jokowi. Bahkan kasus-kasus yang menimpa Jokowi secara langsung—dari isu ijazah palsu, skripsi palsu, hingga sorotan atas gaya cawe-cawe politiknya—semakin jarang dibela secara terbuka oleh elite.
Pelan tapi pasti, pengaruh Jokowi mulai mengendur. Ia mungkin masih menyimpan kekuatan simbolik di ruang publik, tapi dalam ruang politik nyata, kendali sudah bergeser. Matahari politik Jokowi tampaknya sedang bergerak ke senja.
Matahari Ganda
Fenomena ini bukan sesuatu yang asing dalam kajian ilmu politik. Dalam berbagai literatur, perubahan kekuasaan selalu menimbulkan friksi, dan pada titik tertentu, menyisakan pertarungan antara warisan dan pemilik baru kekuasaan.
Salah satu pendekatan yang relevan adalah teori Max Weber tentang “otoritas karismatik” dan “otoritas legal-rasional.” Dalam masa transisi, Jokowi awalnya masih mengandalkan otoritas karismatik—pengaruh personal yang dibangun selama menjabat. Namun begitu kekuasaan resmi berpindah ke tangan Prabowo, otoritas itu menjadi tak lagi cukup. Sistem akan dengan sendirinya menyesuaikan diri pada pemegang kekuasaan legal-rasional: Presiden terpilih, dalam hal ini Prabowo.
Michel Foucault, filsuf Perancis, juga memberi kerangka penting lewat pemahamannya tentang “relasi kuasa.” Bagi Foucault, kekuasaan tidak hanya berada pada jabatan, tapi juga pada jaringan pengetahuan, diskursus, dan struktur. Ketika Prabowo mulai merebut diskursus—misalnya dengan narasi bahwa tidak ada “matahari kembar”—ia sedang membongkar struktur wacana yang dibangun Jokowi. Ia tak hanya merebut jabatan, tapi juga pengaruh ideologis.
Selanjutnya, Antonio Gramsci memberi konsep penting lain: hegemoni. Dalam konteks ini, Jokowi sebelumnya membangun hegemoni—kesepakatan diam-diam bahwa dialah yang mengendalikan arah politik nasional, bahkan setelah tidak menjabat. Tapi hegemoni, menurut Gramsci, selalu rentan jika tak lagi ditopang konsensus sosial dan politik. Begitu Prabowo mulai membangun aliansi dengan pihak-pihak yang selama ini berseberangan dengan Jokowi, seperti PDIP, maka basis hegemoni itu mulai runtuh. Konsensus baru dibangun, dan ia tak lagi melibatkan Jokowi sebagai pusat.
Teori-teori ini membantu kita melihat bahwa transisi kekuasaan tak hanya tentang pelantikan presiden, tapi juga tentang bagaimana makna kekuasaan itu sendiri bergeser dari satu aktor ke aktor lain. Dalam hal ini, Jokowi bukan hanya ditinggalkan secara formal, tapi juga secara simbolik dan struktural.
Apa yang Harus Dilakukan Prabowo?
Meski kemenangan politik tampak berpihak pada Prabowo, namun pekerjaan besarnya belum selesai. Justru saat inilah ia harus menavigasi situasi dengan hati-hati, agar kekuatan baru yang ia miliki tidak berbalik menjadi bumerang. Ada beberapa hal strategis yang perlu dilakukan agar transisi ini tidak menyulut ketegangan lebih dalam atau menciptakan resistensi di masa depan.
Pertama, Prabowo harus segera mengonsolidasikan kekuasaan formalnya lewat penataan lembaga-lembaga strategis. Ia harus memastikan bahwa loyalitas birokrasi, termasuk TNI, Polri, dan kementerian-kementerian utama, berada di bawah kontrolnya tanpa mengabaikan meritokrasi. Ini penting agar program pemerintah tidak terganggu oleh dualisme loyalitas.
Kedua, Prabowo perlu menunjukkan bahwa ia bukan sekadar pemutus hubungan dengan masa lalu, tetapi pemimpin yang membawa visi baru. Ia bisa mulai dengan membentuk kebijakan-kebijakan terobosan yang tidak sekadar melanjutkan proyek Jokowi. Misalnya, redefinisi IKN yang lebih inklusif dan realistis, atau program kerakyatan yang tidak semata pencitraan, tapi memberi dampak nyata. Dengan begitu, ia membangun kekuatan otentik, bukan hanya lewat negasi terhadap Jokowi.
Ketiga, ia perlu menjaga keseimbangan antara partai-partai koalisi yang mendukungnya. Meskipun saat ini ia digdaya dengan 84 persen kekuatan di parlemen, namun koalisi gemuk seringkali rapuh. Jangan sampai kepercayaan diri politik berubah menjadi arogansi yang mengabaikan keseimbangan kekuatan. Dalam konteks ini, komunikasi dan distribusi kekuasaan yang adil di kabinet menjadi sangat krusial.
Dan yang paling penting, Prabowo harus menyadari bahwa politik Indonesia sarat kejutan. Jokowi mungkin sedang surut, tapi bukan berarti ia tak bisa bangkit kembali dengan gaya politik baru, entah melalui anak-anaknya, loyalis di daerah, atau kekuatan sipil. Oleh karena itu, menjaga hubungan baik secara personal dengan Jokowi tetap relevan sebagai penyangga stabilitas.
Jika Prabowo mampu memainkan strategi ini, maka ia tak hanya berhasil menjadi presiden secara formal, tapi juga pemimpin hegemonik baru dalam politik Indonesia. Dan pada titik itu, matahari Jokowi benar-benar telah tenggelam, memberi jalan bagi fajar baru bernama Prabowo Subianto. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)