HomeNalar PolitikMaster-Slave di Rekonsiliasi Pilpres

Master-Slave di Rekonsiliasi Pilpres

Rekonsiliasi pasca Pilpres 2019 memang menghilangkan posisi yang kalah dalam kontestasi 5 tahunan tersebut. Pasalnya, Prabowo sebagai kandidat yang tertinggal dalam perolehan suara, justru berpotensi menjadi bagian dari kemenangan sang petahana, Jokowi. Namun, konteks ini juga melahirkan pergeseran hubungan, baik yang terjadi di tingkat elite, maupun antara elite dengan masyarakat biasa. Pasalnya, demokrasi tidak lagi menjadi sarana publik menyuarakan apsirasi politiknya dengan memilih pemimpin yang sesuai keinginan, tetapi sekedar mengukuhkan dominasi elite atas masyarakat – hal yang bisa dimaknai dalam pemikiran-pemikiran Hegel dan Sartre.


PinterPolitik.com

“When the rich wage war, it’s the poor who die”.

:: Jean-Paul Sartre (1905-1980), filsuf ::

Wacana pemerintahan bersama dan koalisi bertajuk rekonsiliasi yang saat ini sedang diupayakan berbagai pihak memang menjadi tajuk utama dalam pemberitaan politik nasional beberapa waktu terakhir.

Di tengah simpang siur pembagian jatah kursi menteri di kabinet dan deal-deal politik yang terjadi di sekitarnya, bayang-bayang kelam menjadi semu-nya pesta demokrasi yang telah berlangsung berbulan-bulan, perlahan juga muncul ke permukaan.

Bagaimana tidak, jika pada akhirnya Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto mencapai konsensus bersama membagi kekuasaan di antara keduanya, maka pertarungan politik yang bertajuk Pilpres 2019 menjadi pepesan kosong demokrasi.

Konsensus bersama ini akan membuat pilihan rakyat mayoritas pada akhirnya menjadi “tidak relevan”. Tentu saja Jokowi memang tetap menjadi pemenang dan menjadi sentral kekuasaan dengan posisi presiden yang didudukinya.

Namun, konteks kekuasaan Prabowo – jika pada akhirnya bergabung dalam pemerintahan – akan membuat dirinya tidak sepenuhnya menjadi pihak yang kalah. Baik Jokowi maupun Prabowo sama-sama akan menjadi pemenang dalam konteks ini.

Namun, seperti kata pendiri majalah ESPN, Roxanne Jones, tidak semua orang bisa menjadi pemenang. Ketika ada tujuan yang ingin dicapai dan garis finis yang jadi pembatas, maka pasti ada yang menang dan ada yang kalah.

Pada awalnya, Pilpres 2019 memang hanya akan memenangkan Jokowi atau Prabowo saja. Namun, dengan wacana cohabitation alias kumpul kebo (kumbo) dalam rekonsiliasi nasional, konteks tersebut mengalami pergeseran. Siapa yang menang dan siapa yang kalah pun dengan sendirinya mengalami pergeseran.

Terhadap koalisi Jokowi misalnya, keberadaan Prabowo berpotensi membuat partai-partai lama tergeser dari posisi awal yang mereka nikmati – hal yang mungkin membuat sosok seperti Surya Paloh belakangan mulai melakukan manuver membangun blok kekuatan sendiri.

Sementara dalam konteks demokrasi yang lebih besar, hal ini membuat  kumbo menyingkirkan rakyat yang awalnya menjadi pemenang dari kontestasi elektoral tersebut. Pasalnya, baik Jokowi maupun Prabowo sama-sama menjadi bagian dari kekuasaan kelompok elite yang memang menjadi penguasa sesungguhnya di negeri ini.

Pemilu kemudian tak lebihnya menjadi alat legitimasi perebutan kekuasaan di antara para elite tersebut dan mengukuhkan relasi master-slave – relasi tuan dan hamba. Benturan kelas ini – elite vs rakyat biasa – memang sesuai dengan pemikiran para pemikir besar seperti Hegel, Karl Marx, hingga Jean-Paul Sartre. Lalu, seperti apa kondisi ini bisa dimaknai?

Relasi Politik Master-Slave

Sebagai filsuf yang dikenal lewat aliran eksistensialisme – aliran filsafat yang memfokuskan pada subyek manusia – pandangan-pandangan politik Jean-Paul Sartre (1905-1980) memang banyak dipengaruhi oleh pemikiran tokoh seperti filsuf idealis asal Jerman, Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), terutama dalam konteks relasi master-slave atau tuan-hamba.

Dalam karya-karya awalnya, Sartre banyak berbicara tentang perjuangan individu dalam masyarakat untuk mendapatkan pengakuan. Dalam karyanya yang berjudul L’Etre et le Néant (Being and Nothingness), Sartre menyebut bahwa setiap hubungan yang terbangun dalam kehidupan manusia adalah variasi dari relasi master-slave.

Namun, dalam catatan-catatannya yang diterbitkan pada tahun 1980-an, ia juga menyebutkan bahwa relasi master-slave ini juga dapat dilampaui ketika ada pengakuan yang mutual dan resiprokal – misalnya hubungan antara seorang seniman dengan audiensnya.

Ia juga menyebutkan bahwa dalam perjuangan untuk mendapatkan pengakuan, sering kali muncul oppression – praktik penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang yang menimpa kelompok tertentu – sebagai jalan untuk menunjukkan dominasi.

Pemikiran-pemikiran Sartre juga memang tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Marxisme, misalnya terkait dominasi kelompok yang powerful atas kelompok yang powerless.

Konsep master-slave ini memang bisa digunakan untuk menganalisis kondisi politik yang terjadi saat ini di tingkat nasional. Sejak awal, pertarungan Jokowi dan Prabowo memang menjadi ajang perebutan posisi dominan – the master. Konteksnya memang tidak bisa diterjemahkan secara eksplisit – katakanlah menjadi tuan secara harfiah.

Jika memenangkan kontestasi politik yang ada, sang pemenang akan menjadi master alias faksi atau kelompok yang berkuasa. Sementara kelompok yang kalah tentu saja menjadi yang tidak diuntungkan alias slave – tentu juga bukan dalam makna yang sebenarnya.

Namun, semuanya berubah ketika wacana kumbo muncul. Sebab, pada akhirnya dua kubu yang bertarung tak lagi bicara soal menang dan kalah. Bahkan, muncul kelompok-kelompok baru yang berpotensi menjadi pihak yang kalah.

PKS yang memilih untuk setia menjadi oposisi misalnya, adalah salah satu contoh kubu yang bertahan dalam status inferior. Lalu di kubu Jokowi, ada Surya Paloh dan Partai Nasdem yang dipimpinnya yang berpotensi digeser posisi politiknya.

Konteks Surya Paloh ini sempat dibahas oleh Majalah Tempo edisi terbaru ketika menyebut PDIP sebagai partai utama pendukung Jokowi sekaligus salah satu faksi sentral dalam kumbo, justru menginginkan posisi Jaksa Agung yang kini dikuasai oleh Nasdem.

Tak heran Paloh kemudian melakukan manuver politik dengan mengumpulkan ketum-ketum partai yang ada dalam koalisi Jokowi, misalnya PKB, Golkar dan PPP, dan mencoba menghadirkan blok politik baru.

Kubu koalisi Islam politik – yang mendukung Prabowo – juga menjadi pihak yang tersisihkan. Bahkan, oppression juga mulai terlihat ketika kelompok seperti Front Pembela Islam (FPI) kini terperangkap dalam kewenangan pemerintah dalam hal izin organisasi – terlepas dari aktivitas ormas yang oleh beberapa pihak juga dianggap kontroversial tersebut.

Sementara pada titik kulminasinya, rakyatlah yang menjadi pihak yang paling dirugikan. Kumbo memang menjadikan para elite politik menjadi master, sementara rakyat adalah slave-nya. Pasalnya, kondisi ini membuat kondisi memilih Jokowi atau memilih Prabowo menjadi sama saja hasilnya.

Memang, rakyat tetap menjadi penentu siapa presiden yang akan memimpin negara ini dalam 5 tahun ke depan. Namun, pada akhirnya penentuan itu menjadi tidak penting lagi sebab pihak yang kalah tetap akan punya akses terhadap kekuasaan dan mempengaruhi kebijakan pihak yang menang.

Demokrasi pada akhirnya menjadi variasi dari hubungan master-slave – hal yang sayangnya bertolak belakang dari cita-cita utama konsep pemerintahan yang meletakkan kesetaraan sebagai cita-citanya.

Ujung Akhir, Demokrasi Bukan Milik Rakyat?

Democracy is slavery – demokrasi adalah perbudakan. Kata-kata ini memang cenderung diidentikkan dengan slogan kelompok-kelompok kiri yang memandang sistem tersebut sebagai alat pelanggengan kekuasaan satu kelompok atas kelompok lain – the powerful atas the powerless. 

Kondisi ini memang mau tidak mau harus diakui keberadaannya dalam politik di Indonesia. Konteks dominasi atas rakyat itu dapat terjadi lewat kelompok elite dan partai politik.

Indonesianis asal Amerika Serikat, Dan Slater dalam salah satu tulisannya menggunakan istilah kartelisasi parpol untuk menggambarkan kondisi dominasi tersebut. Ini terjadi ketika muncul koalisi yang beranggotakan hampir semua parpol yang berbagi kekuasaan eksekutif tanpa memperhitungkan afiliasi politiknya.

Tujuannya adalah demi tercapainya keseimbangan politik, menyingkirkan kontestasi dan persaingan politik terbuka.

Kartel parpol ini berbagi “kue kekuasaan”,  sekalipun dalam kampanye partai-partai tersebut bisa saling bertolak belakang. Negara – dalam hal ini pemerintah – masih dianggap sebagai sumber utama kekuasaan, baik secara politik maupun finansial, sehingga membuat partai-partai menjadi pragmatis ketika dihadapkan pada tawaran kekuasaan.

Kartel parpol ini adalah salah satu bentuk dominasi dan pengukuhan relasi master-slave dalam politik di Indonesia. Sederhananya, masyarakat bisa menentukan siapa yang akan menjadi pengisi kursi tertinggi di negeri ini lewat Pilpres, tetapi bukan masyarakat yang menentukan gambar dan nama siapa yang ada dalam kertas suara yang akan mereka coblos.

Demokrasi pada akhirnya menjadi ajang elite mengolah kekuasaannya atas rakyat, termasuk mengukuhkan dominasinya. Demokrasi akhirnya kehilangan pemaknaan sebagai benar-benar bagian dari upaya memperjuangkan kepentingan rakyat, dan berubah menjadi alat perebutan kepentingan dan pemenuhan kepentingan elite.

Memang butuh gerakan yang radikal untuk mengubah hal ini. Sebab, pada akhirnya, seperti kata Sartre di awal tulisan, orang-orang kaya dan elite yang menyulut perang, tetapi rakyat kecil-lah yang akan menderita dan meninggal akibatnya. (S13)

Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di http://bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  Megawati dan Tumbangnya Trah Soekarno 
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Gemoy Effect: Prabowo Menang Karena TikTok Wave?

TikTok menjadi salah satu media kampanye paling populer bagi pasangan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024.