Presiden Prabowo Subianto mengusulkan agar aktivis buruh yang gugur di era Orde Baru, Marsinah, dijadikan pahlawan nasional. Bagaimana dengan usulan Soeharto sebagai pahlawan nasional?
“Man is above all else mind, consciousness — that is, he is a product of history, not of nature.” – Antonio Gramsci
Di tengah ribuan massa buruh yang memadati Lapangan Silang Monas pada 1 Mei 2025, Kenny berdiri di antara kerumunan dengan jaket biru bertuliskan “Solidaritas Tanpa Batas.” Ia bukan buruh, melainkan mahasiswa hukum yang ikut merasakan semangat peringatan Hari Buruh Internasional dan ingin memahami lebih dekat dinamika perjuangan kelas pekerja.
Suasana berubah hening saat Presiden Prabowo Subianto naik ke podium dan memulai pidatonya. Dengan nada tegas namun penuh penghormatan, ia menyampaikan apresiasi terhadap kontribusi buruh dalam pembangunan bangsa dan menegaskan bahwa keadilan sosial harus menjadi prioritas negara.
Titik klimaks pidato terjadi ketika Prabowo mengusulkan agar Marsinah, aktivis buruh yang gugur pada era Orde Baru, diusulkan menjadi pahlawan nasional. Riuh tepuk tangan menggema di lapangan, dan Kenny mencatat momen itu dengan cepat di buku catatannya, sadar bahwa ini bukan sekadar simbol—ini adalah sinyal politik.
Bagi Kenny, kehadiran Marsinah dalam wacana kenegaraan menandai pengakuan atas sejarah kelam yang lama disembunyikan. Ia melihat bagaimana para buruh di sekelilingnya meneteskan air mata, mengangkat tangan ke langit, dan bersorak menyebut nama Marsinah seakan menyambut kabar pembebasan lama yang tertunda.
Prabowo menutup pidatonya dengan seruan persatuan dan ajakan untuk membangun masa depan yang adil tanpa melupakan luka masa lalu. Kenny-pun bertanya-tanya: mengapa menjadi penting bagi Marsinah untuk menyandang status pahlawan nasional? Bagaimana konsekuensi lanjutannya dalam politik?
Pentingnya “Pahlawan Nasional”
Kenny duduk di bawah rindangnya pohon di kampusnya, membuka kembali catatan yang ia buat saat menghadiri peringatan Hari Buruh 1 Mei lalu. Pidato Presiden Prabowo yang mengusulkan Marsinah sebagai pahlawan nasional masih terngiang jelas di benaknya, terutama karena belakangan muncul pula usulan serupa terhadap Soeharto.
Bagi Kenny, gelar pahlawan nasional bukan hanya soal penghargaan formal dari negara. Ia melihatnya sebagai arena perebutan makna dalam sejarah nasional—siapa yang dikenang, siapa yang dilupakan, dan siapa yang diberi tempat di altar kehormatan bangsa.
Diskursus ini menjadi semakin rumit ketika nama Soeharto kembali masuk dalam perbincangan publik untuk diangkat sebagai pahlawan. Perdebatan pun mengemuka, terutama karena figur Soeharto tak bisa dilepaskan dari pelanggaran HAM dan pembungkaman terhadap aktivis seperti Marsinah.
Dalam bukunya berjudul On Collective Memory, Maurice Halbwachs menyatakan bahwa memori kolektif dibentuk oleh struktur sosial dan kekuasaan yang dominan. Kenny mencatat kutipan itu sebagai landasan untuk memahami bahwa pengangkatan pahlawan adalah proses politik, bukan semata penilaian moral terhadap masa lalu.
Ia merenung, bagaimana negara sering kali mengatur narasi sejarah melalui seleksi siapa yang patut dikenang dan siapa yang dibiarkan hilang dari ingatan kolektif. Kenny menyadari bahwa usulan pahlawan bisa menjadi instrumen rekonsiliasi atau justru alat hegemoni baru tergantung siapa yang memegang kendali.
Lantas, apa konsekuensi lanjutan dari pemberian gelar pahlawan nasional? Mungkinkah akan mempengaruhi dinamika politik Indonesia ke depannya?
Perebutan Makna dan Legitimasi: Soeharto vs Marsinah
Kenny duduk di perpustakaan fakultas, membaca tulisan Antonio Gramsci tentang cultural hegemony sambil sesekali membandingkannya dengan catatan lapangan dari peringatan Hari Buruh. Ia mulai memahami bahwa kekuasaan tidak hanya bekerja lewat hukum atau militer, tapi juga melalui wacana dan simbol-simbol yang dianggap “alami” oleh masyarakat.
Menurut Gramsci, kelas dominan mempertahankan kekuasaannya dengan mengontrol nilai, norma, dan ide yang beredar di masyarakat. Dalam konteks Indonesia, Kenny melihat gelar pahlawan nasional sebagai salah satu bentuk alat kultural itu—cara negara menentukan siapa yang pantas dikenang dan siapa yang dilupakan.
Saat Presiden Prabowo mengusulkan Marsinah sebagai pahlawan, Kenny melihat itu sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni lama yang selama ini menyingkirkan suara-suara buruh dari narasi sejarah. Namun, saat muncul usulan agar Soeharto juga diberi gelar pahlawan, Kenny menyadari betapa rumitnya pertarungan makna dalam satu simbol yang sama.
Marsinah, korban dari sistem yang menindas, dan Soeharto, simbol dari sistem itu sendiri, kini sama-sama diusulkan untuk ditempatkan di panggung kehormatan sejarah. Kenny bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang sedang menulis ulang sejarah—dan untuk kepentingan siapa?
Pengangkatan pahlawan nasional bukan semata bentuk penghormatan, melainkan tindakan politis yang menentukan arah memori kolektif bangsa. Ia bisa menjadi alat pembebasan atau justru pengukuhan dominasi, tergantung siapa yang mengendalikan narasinya. Bukan begitu? (A43)