Logam Tanah Jarang (LTJ) diprediksi akan semakin diperebutkan para negara besar. Mungkinkah ini awal dari persaingan sengit terbaru dalam menguasai sumber daya vital dunia?
Di tengah riuh rendah perang dagang, ketegangan militer, dan persaingan teknologi global, muncul satu medan perebutan baru yang sering luput dari radar publik: logam tanah jarang (LTJ).
Meski terdengar seperti materi dari buku pelajaran kimia, 17 unsur LTJ seperti neodimium, praseodimium, dan disprosium kini menjadi incaran negara-negara besar. Mengapa? Karena mereka adalah kunci dari teknologi masa depan — mulai dari kendaraan listrik, panel surya, smartphone, hingga sistem radar dan senjata canggih.
China saat ini menguasai sekitar 69% produksi LTJ global dan hampir 90% kapasitas pemrosesannya. Pada tahun 2024, ekspor magnet permanen berbasis LTJ dari China mencapai rekor 58.152 ton, meningkat 10% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, produksi global LTJ melonjak menjadi 390.000 ton, hampir tiga kali lipat dibandingkan tahun 2017.
Amerika Serikat, sebagai respons, meningkatkan produksi domestiknya menjadi 45.000 ton pada tahun 2024 dan memulai produksi logam neodimium dan praseodimium di fasilitas Fort Worth, Texas. Namun, ketergantungan pada China tetap tinggi, dengan sekitar 70% impor LTJ AS berasal dari Negeri Tirai Bambu.
Di sisi lain, negara-negara seperti Kazakhstan dan Rusia mulai menunjukkan ambisi untuk menyaingi dominasi China, sementara negara-negara Barat menjalin kerja sama strategis dengan negara-negara penghasil LTJ lainnya. Fenomena ini membuat LTJ layaknya logam langka “adamantium” di dunia Marvel, yang jadi perebutan para negara besar karena bisa memberikan mereka kekuatan yang begitu dahsyat dalam teknologi.
Namun pertanyaan yang harus kita jawab bersama adalah: mengapa negara-negara besar begitu ngotot menguasai logam tanah jarang? Apa sebenarnya yang sedang dipertaruhkan?

Perang yang Tak Kasat Mata
Logam tanah jarang bukan hanya penting — ia vital. Sejumlah 17 unsur yang termasuk kategori ini memiliki sifat magnetik, konduktif, dan luminesen yang membuatnya tak tergantikan dalam berbagai produk teknologi.
Neodimium dan disprosium, misalnya, digunakan untuk membuat magnet permanen dalam motor kendaraan listrik dan turbin angin. Europium dan terbium berguna dalam layar LCD dan LED. Bahkan, dalam konteks militer, LTJ digunakan dalam sistem navigasi, radar, sonar, laser, hingga kendali misil dan drone.
Inilah sebabnya mengapa LTJ disebut sebagai “DNA teknologi masa depan.” Ketika dunia bertransisi ke era digital dan energi bersih, permintaan terhadap LTJ meningkat tajam. Namun yang membuat LTJ sangat strategis adalah ketidakseimbangan antara persebaran cadangan dengan kapasitas pengolahan. Banyak negara memiliki cadangan, tapi tidak punya teknologi atau infrastruktur untuk memurnikannya — sesuatu yang masih didominasi oleh China.
Dari kacamata geopolitik, teori realisme klasik melihat perebutan LTJ sebagai cerminan dari upaya negara mempertahankan keamanan dan kelangsungan kekuatan nasional.
Dalam logika ini, dominasi China atas LTJ menempatkannya dalam posisi tawar strategis, bahkan lebih kuat daripada kekuatan militer dalam beberapa konteks. Tak heran jika AS, lewat pendekatan neorealis, berupaya membangun aliansi dan rantai pasok baru untuk menyeimbangkan kekuatan China.
Teori kompleks interdependensi yang dikemukakan Keohane dan Nye juga relevan. Meskipun negara-negara saling membutuhkan secara ekonomi, asimetri dalam penguasaan sumber daya seperti LTJ menciptakan ketimpangan kekuatan. Ketika China memutus ekspor LTJ ke Jepang pada 2010 sebagai respons atas konflik wilayah, itu menjadi alarm bahwa sumber daya bisa dijadikan senjata diplomatik.
Dalam konteks ini, LTJ menjadi lebih dari sekadar sumber daya alam. Ia adalah instrumen kekuasaan. Ketersediaan LTJ menentukan siapa yang bisa memproduksi teknologi mutakhir dan siapa yang akan tertinggal. Maka, perebutan LTJ adalah perebutan masa depan — perebutan posisi dalam struktur kekuasaan global.

Perebutan Terbaru, Indonesia?
Melihat tren ini, jelas bahwa persaingan untuk menguasai logam tanah jarang akan semakin sengit. Negara-negara besar akan terus berlomba mengamankan akses, membangun rantai pasok baru, bahkan mungkin menggunakan tekanan politik dan ekonomi untuk merebut kendali atas wilayah yang kaya LTJ.
Indonesia, yang tercatat memiliki potensi cadangan LTJ di beberapa wilayah seperti Bangka Belitung, Sulawesi, dan Kalimantan, tak akan bisa menghindar dari arus besar ini. Meski saat ini belum menjadi produsen utama, daya tarik geologi dan posisi strategis Indonesia bisa menjadikannya medan tarik-menarik antara kekuatan global.
Namun, sebelum kita menatap ke depan, ada baiknya menengok ke belakang. Sejak era kolonial, konstelasi geopolitik global selalu disetir oleh satu hal: perebutan sumber daya alam. Dari rempah-rempah di Maluku, minyak di Timur Tengah, hingga emas di Amerika Latin — kekayaan bumi selalu memantik konflik, kolonialisme, hingga perang dunia.
Kini, sejarah itu berulang dalam bentuk baru. LTJ adalah rempah-rempah abad ke-21. Dan seperti dulu, siapa yang menguasainya akan menulis ulang peta kekuasaan dunia.
Indonesia harus cermat membaca tanda-tanda zaman. Alih-alih hanya menjadi ladang eksploitasi, Indonesia bisa menempatkan diri sebagai pemain penting — asalkan punya visi, kapasitas teknologi, dan keberanian berpolitik dalam skala global. (D74)