HomeNalar PolitikLingkungan, “Silent Victim” Perang Gaza dan Ukraina? 

Lingkungan, “Silent Victim” Perang Gaza dan Ukraina? 

Selain mengakibatkan hilangnya ribuan nyawa manusia, perang yang kini terjadi di Gaza dan Ukraina juga mulai merusak lingkungan hidup. Bagaimana hal ini bisa terjadi? 


PinterPolitik.com 

Sudah hampir tepat dua tahun dunia kita dilanda oleh peperangan besar yang menewaskan ribuan orang. Belum selesai dengan Perang Rusia-Ukraina yang telah menewaskan hampir 500.000 orang, kini kita juga berhadapan dengan kenyataan pahit Perang Israel-Palestina yang sudah menewaskan kurang lebih 19.000 orang, padahal perang tersebut baru berlangsung selama dua bulan. 

Kalau kita melihat keadaan di media sosial, sudah banyak orang yang menyuarakan pentingnya gencatan senjata dalam dua perang tersebut, jelas, alasannya karena sudah terlalu banyak nyawa manusia tidak bersalah yang jadi bayaran pertarungan kepentingan para elite politik.  

Namun, banyak orang yang tidak menyadari bahwa selain mengakibatkan korban jiwa, dua peperangan besar ini juga menciptakan korban lain yang kehilangannya begitu berarti bagi kehidupan kita semua, dan itu adalah lingkungan hidup. 

Ketika pertemuan COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab (5/12), Nada Majdalani, Direktur Palestina EcoPeace Middle East menyebutkan bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi akibat perang di Gaza diprediksi akan membuat terpicunya bencana hujan asam di Palestina dalam musim dingin mendatang. 

Tidak hanya perang di Gaza, dalam beberapa kesempatan lain, para pemerhati lingkungan juga menyoroti parahnya akibat perang terhadap lingkungan di Ukraina. Salah satunya adalah Thor Hanson, yang menyebutkan bahwa perang di Ukraina setidaknya telah menghancurkan sepertiga dari wilayah alam yang tadinya dilindungi di sana. 

Hal ini lantas memancing pernyataan renungan untuk kita semua: bagaimana dampak perang dapat merugikan lingkungan hidup, dan sejauh mana pengaruhnya terhadap ekologi Bumi itu sendiri secara keseluruhan? 

image 3

Akan Berdampak Sangat Besar? 

Menurut laporan dari Kementerian Ekologi dan Sumber Daya Alam Ukraina, perang yang terjadi di negaranya sejak 24 Februari silam setidaknya telah menyebabkan emisi karbon dioksida (CO2) setidaknya sebanyak 150 juta ton.  

Baca juga :  Mengapa Tiongkok Belum Gantikan AS?

Dari perkiraan angka itu, 25 persen disebut berasal dari penggunaan dan sisa limbah alat-alat perang, 15 persen dari kebakaran hutan yang disebabkan alat perang, dan sisanya diakibatkan proses rekonstruksi yang melibatkan aktivitas industri berat. 

Perang yang terjadi di Gaza pun tidak lebih baik. Menurut laporan dari Al Jazeera, eskalasi konflik yang terjadi semenjak Oktober menciptakan emisi gas rumah kaca setara penggunaan energi 2.300 rumah selama satu tahun, dan 4.600 emisi kendaraan selama satu tahun. Emisi tersebut diakibatkan 25.000 ton munisi perang yang dijatuhkan di Gaza selama pertempuran dua bulan terakhir. 


Sejujurnya, hingga saat ini terdapat sedikit penelitian mengenai dampak ekologis dari perang, namun dalam satu studi pada tahun 2018 yang dilakukan Joshua H. Daskin dan Robert M. Pringle, diungkap ada korelasi antara konflik bersenjata dan penurunan populasi satwa liar di berbagai kawasan lindung di Afrika. Mereka menemukan bahwa populasi satwa liar cenderung stabil pada masa damai dan mengalami penurunan selama perang, dan semakin sering konflik terjadi, semakin tajam penurunannya. 

Bahkan ketika penghancuran lingkungan tidak disengaja, aktivitas perang itu sendiri dapat menyebabkan kerusakan yang mendalam. Tentara menggali parit, tank meratakan vegetasi, bom merusak hutan dan eksositem, serta bahan peledak membakar hutan. Terlebih lagi, di Perang Ukraina dan Perang Gaza dicurigai ada penggunaan bom fosfor putih, bom jenis ini, menurut beberapa penelitian, dapat merusak kesuburan tanah. 

Yap, kalau boleh sedikit mengutip perkataan Doug Weir, direktur penelitian dan kebijakan di Conflict and Environment Observatory, perang menjadikan lingkungan hidup sebagai silent victim atau korban yang diam. 

Ironisnya, pembatasan kerusakan lingkungan dalam perang sebetulnya sudah tercantum dalam hukum internasional yang berangkat dari Konvensi Hague 1907 dan Konvensi Jenewa 1949, akan tetapi, hingga saat ini hal mengerikan tersebut masih saja tidak bisa dicegah. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Baca juga :  Baiknya Anies Mendorong Ridwan Kamil? 
image 4

Realisme di atas Lingkungan Hidup 

 
Pandangan realisme politik dalam konteks kehancuran lingkungan akibat perang menekankan pada ketidakpastian dan persaingan kepentingan nasional di dunia internasional. Secara realistis, negara cenderung fokus pada keamanan dan kepentingan nasional mereka, dan pertimbangan lingkungan seringkali menjadi sekunder. 

Dalam situasi perang, negara-negara bahkan mungkin dengan sengaja memasukkan taktik militer yang merusak lingkungan sebagai bagian dari strategi keamanan mereka, contohnya seperti penggunaan bom napalm yang begitu destruktif oleh militer Amerika Serikat (AS) ketika Perang Vietnam silam.  

Penggunaan senjata pemusnah massal atau penghancuran infrastruktur musuh tentu dapat memicu dampak ekologis yang signifikan. Namun, dalam kerangka realisme, negara dihadapkan pada pilihan sulit antara keamanan nasional dan perlindungan lingkungan. 

Realisme politik juga menyoroti ketidakmampuan sistem internasional dalam memberlakukan peraturan lingkungan selama konflik bersenjata. Faktor-faktor “realpolitik” seringkali mengarah pada ketidakpatuhan terhadap norma-norma lingkungan internasional. 

Dengan demikian, realisme politik menunjukkan bahwa kehancuran lingkungan akibat perang sebagian besar muncul karena prioritas keamanan dan persaingan kepentingan nasional, menggambarkan kompleksitas hubungan antara politik internasional dan ekologi global. 

 
Namun, pada zaman informasi saat ini, masyarakat umum memiliki kekuatan yang sebelumnya tidak terlihat dalam konflik besar abad ke-20, yaitu pendapat publik dan media sosial. 

Peristiwa politik Arab Spring 2011 telah memberi kesadaran bahwa aksi protes bersama dapat memengaruhi keputusan politik suatu negara. Jika kita ingin mengambil pembelajaran dari pengalaman tersebut, tentu merupakan hal yang penting untuk terus mendorong aksi protes bersama terhadap peperangan yang terus terjadi hingga sekarang. (D74)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Ini Aktor di Balik “Fufufafa” Gibran?

Media sosial dibuat ramai oleh posting-an lama akun bernama Fufufafa. Sejumlah posts bahkan menjelekkan Prabowo Subianto dan keluarganya.

Digerogoti Kasus, Jokowi Seperti Pompey?

Mendekati akhir jabatannya, sejumlah masalah mulai menggerogoti Presiden Joko Widodo (Jokowi). Apakah ini artinya dukungan elite kepadanya mulai melemah?

Titip Salam dari Mega ke Prabowo: Menuju Koalisi?

Seiring dengan “audisi” menteri yang dilakukan oleh Prabowo Subianto untuk kementerian di pemerintahannya, muncul narasi bahwa komunikasi tengah terjalin antara ketum Gerindra itu dengan Megawati Soekarnoputri.

Menuju Dual Power Jokowi vs Prabowo

Relasi Jokowi dan Prabowo diprediksi akan menjadi warna utama politik dalam beberapa bulan ke depan, setidaknya di sisa masa jabatan periode ini.

Jokowi Dukung Pramono?

Impresi ketertinggalan narasi dan start Ridwan Kamil-Suswono meski didukung oleh koalisi raksasa KIM Plus menimbulkan tanya tersendiri. Salah satu yang menarik adalah interpretasi bahwa di balik tarik menarik kepentingan yang eksis, Pramono Anung boleh jadi berperan sebagai “Nokia”-nya Jokowi dan PDIP.

Trump atau Kamala, Siapa Teman Prabowo?

Antara Donald Trump dan Kamala Harris, siapa lebih untungkan Prabowo dalam menentukan arah kebijakan luar negeri Indonesia di masa depan?

RK-Jakmania dan Dekonstruksi Away Day

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Skeptisisme dan keraguan tertuju kepada Ridwan Kamil (RK) yang dianggap tak diuntungkan kala berbicara diskursus Jakmania dan Persija...

Apa Alasan Militer Tiongkok Melesat?

Beberapa tahun terakhir militer Tiongkok berhasil berkembang pesat, mereka bahkan bisa ciptakan kapal induk sendiri. Apa kunci kesuksesannya?

More Stories

Digerogoti Kasus, Jokowi Seperti Pompey?

Mendekati akhir jabatannya, sejumlah masalah mulai menggerogoti Presiden Joko Widodo (Jokowi). Apakah ini artinya dukungan elite kepadanya mulai melemah?

Apa Alasan Militer Tiongkok Melesat?

Beberapa tahun terakhir militer Tiongkok berhasil berkembang pesat, mereka bahkan bisa ciptakan kapal induk sendiri. Apa kunci kesuksesannya?

Mengapa Tiongkok Belum Gantikan AS?

Tiongkok sering diagadangkan akan menjadi negara adidaya baru pengganti Amerika Serikat (AS), tapi apakah Tiongkok sanggup?