Dengarkan artikel ini:
Dedi Mulyadi kini jadi salah satu politisi kepala daerah yang namanya tengah naik daun. Berbagai kebjakannya memang melahirkan pro kontra. Namun, satu hal yang pasti, nama Dedi menjadi buah bibir masyarakat bahkan hingga di tingkat nasional. Ini sebuah modal yang penting, mengingat mulai muncul narasi yang membandingkan dirinya dengan Jokowi: sosok media darling yang berujung jadi pengusa di republik ini.
Nama Kang Dedi Mulyadi (KDM), Gubernur Jawa Barat, semakin sering menghiasi headline media dan menjadi pembicaraan hangat di tengah masyarakat. Dedi bukan hanya pejabat publik biasa—ia adalah fenomena politik baru.
Gaya komunikasinya yang membumi, keberaniannya dalam mengambil keputusan kontroversial, dan kemampuannya memadukan nilai-nilai tradisional Sunda dengan kebijakan modern membuat banyak pihak menyebutnya sebagai “the next Jokowi.”
Dedi Mulyadi tampil berbeda dari kebanyakan kepala daerah. Ia berani mengambil langkah yang dianggap berisiko secara politik, tetapi justru menimbulkan perbincangan luas dan dukungan dari sebagian masyarakat.
Salah satunya adalah usulan menjadikan program Keluarga Berencana (KB) sebagai syarat pemberian bantuan sosial. Lebih kontroversial lagi, ia mendorong laki-laki miskin untuk ikut program vasektomi. Bagi Dedi, beban reproduksi tidak boleh ditanggung perempuan saja, dan pengendalian kelahiran harus menjadi bagian dari strategi pengentasan kemiskinan. Tentu saja, kebijakan ini mengundang reaksi keras dari kalangan konservatif, terutama MUI, yang menolak vasektomi sebagai tindakan yang melanggar syariat.
Belum reda kontroversi soal vasektomi, Dedi kembali mencuri perhatian dengan kebijakan mengirim siswa nakal ke barak militer untuk dididik kedisiplinan ala TNI dan Polri. Tawuran, kecanduan game, hingga konsumsi minuman keras menjadi alasan pengiriman mereka. Meski niatnya untuk menyelamatkan generasi muda, kebijakan ini dikritik tajam oleh pegiat HAM dan Komnas HAM, yang menilai pelibatan militer terhadap anak-anak bisa membuka ruang pelanggaran hak asasi manusia.
Dedi pun tidak segan membatalkan acara wisuda dan perpisahan sekolah yang dianggap membebani orang tua. Bahkan, kepala sekolah yang melanggar larangan study tour berbiaya mahal ia copot tanpa ragu. Narasi yang dibangun: pendidikan harus membebaskan, bukan memberatkan.
Sikap tegasnya juga terlihat dalam penghentian dana hibah ke yayasan pendidikan yang dinilai sarat penyelewengan. Ia tak segan melawan kelompok konservatif dan ormas keagamaan demi memastikan bahwa dana publik digunakan sesuai asas transparansi dan kebermanfaatan.
Bahkan saat menertibkan proyek Hibisc Fantasy di Puncak yang menyalahi izin, Dedi tak gentar, meski proyek itu dikelola BUMD. Ia siap mencabut perda yang memfasilitasi pembangunan di kawasan hijau demi menyelamatkan lingkungan hidup.
Langkah paling berani Dedi sejauh ini adalah pembentukan Satgas Anti-Premanisme. Tindakan ini menimbulkan ketegangan dengan ormas besar seperti GRIB Jaya yang diketuai Hercules. Namun Dedi tak mundur. “Saya tidak akan pernah mendengarkan ancaman dari siapapun,” tegasnya.
Fenomena Dedi Mulyadi jelas bukan sekadar pencitraan. Ia memosisikan diri sebagai pelayan publik yang tak takut konflik, berani menghadapi risiko hukum dan politik, serta berdiri di antara dua kutub ekstrem: modernisasi dan tradisionalisme. Inilah yang membuat banyak pihak membandingkannya dengan Jokowi pada masa awal kemunculannya.
Pertanyaannya: akankah Dedi bisa sukses seperti Jokowi?
Populisme KDM
Untuk memahami mengapa sosok seperti Dedi Mulyadi mendapat tempat begitu luas di ruang publik, ada tiga teori politik yang relevan: populisme performatif, model strongman demokratis, dan moral politics.
Pertama, teori populisme performatif dari Benjamin Moffitt dalam bukunya The Global Rise of Populism yang menyatakan bahwa populisme hari ini tidak lagi semata-mata soal ideologi, tetapi tentang gaya komunikasi dan performa. Dedi menampilkan diri sebagai figur yang ‘dekat dengan rakyat’, tidak segan menyapa langsung warganya lewat kanal media sosial, dan melakukan kunjungan dadakan ke sekolah atau rumah warga.
Gaya berpakaiannya, ucapannya yang berbahasa Sunda, hingga gesturnya yang santai namun tegas, semuanya merupakan bagian dari performa populis yang membangun kesan bahwa ia berbeda dari elite politik lainnya.
Kedua, pendekatan strongman demokratis. Menurut scholar seperti Andreas Schedler dan Steven Levitsky, munculnya pemimpin kuat dalam sistem demokrasi adalah respons terhadap ketidakpuasan publik terhadap elite politik yang korup atau tak responsif.
Dedi hadir sebagai antitesis dari birokrasi lamban. Ia mencopot kepala sekolah yang melanggar kebijakan, menantang ormas preman, dan menghentikan proyek pemerintah sendiri jika terbukti bermasalah. Ini membangun citra strongman yang tetap berada dalam kerangka hukum demokratis, bukan otoritarianisme.
Ketiga, moral politics. Dalam konsep ini, seperti dijelaskan Michael Walzer dalam Interpretation and Social Criticism, politik dilihat sebagai arena pertarungan nilai. Dedi membawa narasi moral dalam setiap kebijakannya.
Misalnya, kebijakan KB tidak hanya soal anggaran, tetapi soal keadilan gender. Larangan perpisahan sekolah bukan hanya efisiensi, tetapi menolak gaya hidup konsumtif. Satgas anti-preman bukan sekadar keamanan, tapi perlindungan hak warga atas rasa aman. Dalam moral politics, pemimpin tidak hanya dituntut mampu mengelola administrasi, tapi juga memimpin secara etis.
Ketiga pendekatan ini menjelaskan bagaimana Dedi berhasil membangun simpati luas, meskipun kebijakannya seringkali menabrak batas kenyamanan banyak pihak. Ia populis tapi bukan demagog. Ia tegas tapi bukan otoriter. Ia moral tapi bukan menggurui. Perpaduan inilah yang membuatnya menjadi figur politik yang relevan dalam lanskap Indonesia hari ini.
Akankah KDM Seperti Jokowi?
Dedi Mulyadi bukan pemain baru dalam politik. Ia pernah menjabat sebagai Bupati Purwakarta dua periode dan dikenal lewat kampanye kultural Sunda yang kental. Kini, di Jawa Barat, ia memimpin provinsi dengan populasi terbesar di Indonesia, sebuah basis politik yang sangat strategis untuk melangkah ke panggung nasional.
Pertanyaannya: apakah Dedi bisa seperti Jokowi? Dari kepala daerah, menjadi Gubernur, lalu melesat ke kursi Presiden?
Secara struktural, peluang itu ada. Jawa Barat adalah provinsi kunci dalam peta elektoral nasional. Siapa yang mampu menguasai Jabar, punya peluang besar menang dalam kontestasi nasional. Jika Dedi berhasil mempertahankan elektabilitas, membangun relasi yang kuat dengan elite partai, dan menjaga basis dukungan publik, ia berpotensi menjadi calon presiden masa depan.
Namun, ada tantangan besar yang harus ia hadapi. Pertama, Dedi belum sepenuhnya terlepas dari identitas lokalnya. Berbeda dengan Jokowi yang mampu melebur dari Solo ke Jakarta dan kemudian nasional, Dedi masih sangat identik dengan Jawa Barat dan kultur Sunda. Untuk naik kelas, ia perlu membangun narasi nasional yang mengatasi batas identitas lokal.
Kedua, Dedi belum memiliki kendaraan politik yang kuat. Jokowi berhasil memanfaatkan PDIP sebagai alat untuk mencapai kekuasaan. Dedi sejauh ini masih bergerak di antara kekuatan politik yang cair. Jika ia gagal membangun aliansi strategis atau menjadi bagian dari partai besar, jalannya bisa terhambat.
Ketiga, resistensi terhadap gaya kepemimpinannya bisa meningkat seiring waktu. Kebijakan kontroversial seperti pelibatan militer untuk siswa atau pembentukan Satgas Anti-Preman bisa menjadi bumerang jika tidak ditangani hati-hati. Lawan-lawan politik dapat dengan mudah menjadikan langkah-langkah tersebut sebagai bukti bahwa Dedi bersifat represif.
Meski begitu, Dedi memiliki modal besar: keberanian untuk melawan arus, kepekaan terhadap problem rakyat, dan kemampuan membangun komunikasi langsung. Ini adalah elemen penting dalam politik elektoral hari ini. Jika Dedi mampu menyempurnakan narasi dan manuver politiknya, bukan tidak mungkin ia akan mengikuti jejak Jokowi—menjadi pemimpin yang lahir dari akar, membumi dalam kebijakan, dan melesat ke puncak kekuasaan.
Dalam lanskap politik pasca-Jokowi yang masih mencari arah, Dedi Mulyadi adalah sosok yang patut diperhitungkan. Ia bisa menjadi wajah baru politik Indonesia: populis tanpa basa-basi, tegas tanpa otoriter, dan moral tanpa dogma. Pertanyaan selanjutnya tinggal satu: apakah rakyat Indonesia siap menerima Kang Dedi sebagai Presiden mereka kelak? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)