Dengarkan artikel ini:
Nama Budi Arie Setiadi, Menteri Koperasi RI, tiba-tiba mencuat dalam pusaran kasus judi online (judol) yang tengah menjadi sorotan nasional. Dalam sidang salah satu tersangka penyelenggara situs judi online, nama Budi Arie yang dulunya menjabat sebagai Menkominfo ini disebut sebagai pihak yang menerima bagian 50 persen dari dana perlindungan situs-situs tersebut.
Tuduhan itu segera dibantah keras oleh Budi. Ia menyebut pernyataan para tersangka sebagai “omon-omon” alias omong kosong dan menudingnya sebagai bagian dari narasi jahat yang menyerang martabat pribadinya.
Namun, polemik tak berhenti di situ. Tak lama setelah bantahan itu, media sosial ramai dengan beredarnya rekaman suara yang diduga milik Budi Arie, yang dalam rekaman tersebut menyebut nama Menko Polkam Budi Gunawan dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai pihak yang terlibat dalam upaya menjatuhkan dirinya. Isu pun bergulir liar. PDIP, melalui sejumlah elite, merespons dengan keras dan bahkan mengancam akan memproses hukum Budi Arie atas tuduhan tak berdasar itu.
Publik pun terbelah. Di satu sisi, banyak yang melihat kasus ini sebagai pengalihan isu belaka. Namun, di sisi lain, tak sedikit pula yang mulai menyadari betapa pelik dan berbahayanya posisi politik Budi Arie saat ini.
Ia bukan sekadar menteri di kabinet Prabowo, tapi juga Ketua Umum Pro Jokowi (Projo), organisasi relawan terbesar Jokowi yang dikenal militan dan loyal. Artinya, Budi berdiri di antara dua kutub kekuasaan: sang presiden yang sudah lengser dan sang presiden baru yang kini tengah menata jabatan dan pemerintahannya.
Dengan posisi semacam ini, kasus yang menimpa Budi Arie tak bisa dibaca semata sebagai urusan hukum. Ia berpotensi menjadi “jebakan politik” yang membahayakan relasi antara Jokowi dan Prabowo. Dalam skenario terburuk, kasus ini bisa menjadi bom waktu yang mengusik stabilitas politik pasca transisi kekuasaan. Benarkah demikian?
Antara Patronase, Skandal, dan Kegagalan Negara
Fenomena yang menimpa Budi Arie dapat dibaca melalui lensa beberapa pemikir. Yang pertama tentu adalah Richard J. Samuels, seorang sarjana politik yang pernah menjelaskan bagaimana skandal bisa menjadi alat politik dalam relasi elite.
Menurut Samuels, skandal tak selalu harus terbukti secara hukum. Cukup dengan membentuk persepsi dan mengatur momentum, skandal bisa digunakan untuk menjatuhkan musuh politik atau memotong pengaruh seseorang dalam lingkar kekuasaan. Kasus Budi Arie bisa dibaca dalam kerangka ini: apakah ada pihak yang ingin mengurangi pengaruh Projo di masa depan?
Selanjutnya, kita bisa menggunakan pemikiran Guillermo O’Donnell mengenai negara dalam kerangka demokrasi delegatif. Dalam konteks Indonesia yang kerap menyaksikan praktik-praktik kekuasaan informal dan relasi patron-klien yang kuat, kasus Budi Arie justru memperlihatkan kegagalan negara dalam mengatur dan melindungi institusi formal dari intervensi politik.
Budi Arie bukan sekadar pejabat; ia adalah representasi dari kekuatan relawan, sebuah entitas non-negara yang kini menjelma menjadi kekuatan politik dengan akses langsung ke pusat kekuasaan. Dalam demokrasi delegatif versi O’Donnell, figur semacam Budi menjadi penting karena mereka beroperasi di wilayah abu-abu antara negara dan masyarakat sipil, antara legalitas dan loyalitas.
Pemikiran ketiga yang relevan adalah dari Pierre Bourdieu soal modal simbolik dan kekuasaan. Budi Arie memiliki dua jenis modal besar: kedekatan dengan Jokowi (modal simbolik) dan posisi strategis di kabinet Prabowo (modal politik). Ketika dua modal ini dipertaruhkan oleh skandal seperti judol, maka yang terancam bukan hanya reputasi pribadi, tapi juga jalinan kekuasaan yang lebih luas.
Dalam pandangan Bourdieu, modal bisa dikonversi dan dipertukarkan, tapi bisa juga dihancurkan jika legitimasi simboliknya runtuh. Itulah yang kini tengah dihadapi Budi Arie. Jika publik mempercayai rekaman suara dan tudingan korupsi itu, maka modal simbolik yang ia bangun sebagai pejuang relawan bersih pun akan ambruk.
Ketiga teori ini membuka cakrawala bahwa kasus Budi Arie bukan sekadar soal pidana atau bukan, tapi soal persepsi, struktur kekuasaan, dan kapital politik. Dalam konteks ini, pertempuran yang sesungguhnya sedang berlangsung adalah pertempuran untuk merebut narasi.
Risiko Politik Jokowi-Prabowo
Relasi Jokowi dan Prabowo, sejauh ini tampak mesra. Setelah memenangkan Pilpres 2024, Prabowo bahkan menunjukkan itikad merangkul Jokowi dengan memberi tempat bagi loyalis sang presiden, termasuk Budi Arie. Namun, kasus yang kini membelit Menteri Koperasi itu berpotensi menjadi titik keretakan awal. Ada beberapa skenario politik yang bisa dipetakan dari kasus ini.
Pertama, Prabowo berada dalam dilema. Di satu sisi, ia butuh dukungan dari kelompok relawan Projo yang dipimpin Budi Arie, terutama untuk menjaga stabilitas politik di akar rumput. Di sisi lain, sebagai presiden yang kini menjabat, ia juga tak bisa membiarkan kabinetnya dicemari oleh kasus hukum, apalagi yang menyangkut isu sensitif seperti judi online.
Jika Prabowo memilih membela Budi Arie, ia bisa dituduh tidak tegas terhadap korupsi. Tapi jika ia melepas Budi Arie, maka hubungan dengan Projo dan, secara tidak langsung, dengan Jokowi bisa merenggang.
Kedua, posisi Jokowi sendiri juga dilematis. Budi Arie adalah loyalisnya. Tapi Jokowi juga tak ingin terlihat intervensi terhadap proses hukum di era transisi. Apalagi, jika benar Budi Arie menyebut Budi Gunawan dan PDIP sebagai aktor di balik serangan itu, maka ini bisa memicu eskalasi konflik antara lingkar Jokowi dengan PDIP sebagai eks partai pengusungnya sendiri.
PDIP tentu tidak akan tinggal diam jika tuduhan itu terus bergulir tanpa klarifikasi. Isu ini bisa menghidupkan kembali ketegangan lama antara Megawati dan Jokowi yang terus menjadi bumbu relasi politik dua tokoh tersebut pasca Pilpres 2024.
Ketiga, posisi Budi Arie bisa menjadi “tumbal politik”—sebuah mekanisme pembersihan simbolik agar transisi kekuasaan tetap mulus. Dalam skenario ini, baik Jokowi maupun Prabowo bisa memilih jalan kompromi: membiarkan proses hukum berjalan, lalu menjadikan Budi Arie sebagai korban dari sistem. Skema semacam ini sering terjadi dalam politik transisi: demi menjaga stabilitas jangka panjang, seseorang harus dikorbankan agar kapal besar kekuasaan tetap berlayar.
Namun, apapun skenarionya, kasus ini sudah berhasil mengguncang satu hal: kepercayaan publik terhadap transisi kekuasaan yang damai dan tanpa gangguan. Ketika nama-nama besar seperti Budi Arie, Budi Gunawan, dan PDIP disebut-sebut dalam pusaran isu yang belum jelas kebenarannya, publik mulai mempertanyakan siapa sebenarnya yang mengatur narasi di balik layar.
Pada akhirnya, dalam politik Indonesia yang penuh intrik, tak ada kasus yang benar-benar berdiri sendiri. Kasus Budi Arie dan dugaan keterlibatannya dalam pusaran judi online, serta tudingan terhadap elite lain seperti Budi Gunawan dan PDIP, tak bisa dilihat semata sebagai peristiwa individual. Ini adalah bagian dari dinamika politik yang lebih luas: tentang transisi kekuasaan, relasi antarelite, dan perebutan pengaruh di tengah perubahan zaman.
Apakah kasus ini akan benar-benar mengganggu hubungan Jokowi dan Prabowo? Terlalu dini untuk memastikan. Namun yang jelas, ini adalah sinyal bahwa transisi kekuasaan dari Jokowi ke Prabowo tidak akan berlangsung sebersih dan sesenyap yang dibayangkan. Relawan, menteri, partai, dan aparat kini saling mencurigai, dan dalam situasi seperti ini, siapa pun bisa menjadi korban.
Mungkin itulah kenapa publik harus lebih waspada. Bukan hanya terhadap isu judi online yang makin meresahkan, tapi juga terhadap bagaimana isu ini digunakan untuk tujuan-tujuan politik yang lebih besar. Jika kita tak hati-hati, kasus ini bisa menjadi awal dari retakan yang lebih besar dalam fondasi kekuasaan kita. Dan ketika itu terjadi, bukan hanya Budi Arie yang akan terjatuh, tapi juga kepercayaan publik terhadap semua institusi yang terlibat di dalamnya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)