HomeNalar PolitikJokowi-SBY, Poros Baru Pilkada 2018?

Jokowi-SBY, Poros Baru Pilkada 2018?

Semua partai politik ingin memanfaatkan Pilkada 2018 untuk merapatkan barisan dan meraba-raba calon kawan dan lawan. Sepertinya, Partai Demokrat juga tengah melakukan demikian.


PinterPolitik.com

Tahun politik 2018 sudah mulai memanas sejak hari pertama, karena masa pendaftaran calon kepala daerah untuk Pilkada telah dibuka sejak 1 Januari kemarin. Partai-partai politik masih meraba-raba arah koalisi terbaik. Banyak yang masih mencari, ada juga yang sudah hampir pasti mengajukan calon tertentu.

Tak hanya bagi partai politik, Pilkada juga penting untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi), pimpinan tertinggi negara ini yang ‘tidak punya partai’. Aman mengatakan demikian karena partai pengusungnya, PDIP masih terlalu memberi jarak dan ragu-ragu untuk mengusung Jokowi lagi pada 2019. (Baca juga: Jokowi Calon Ketua Umum Golkar?)

Sementara itu, sudah banyak partai yang dari jauh-jauh hari ingin mengusung Jokowi untuk Pilpres 2019, seperti Golkar, Hanura, dan Nasdem. Khusus Golkar yang sempat dirundung konflik, ada sinyal kuat bahwa Jokowi memberikan ‘restu’ dalam hal perbaikan citra partai beringin tersebut. Alasannya, penting bagi Jokowi untuk mengamankan Golkar melalui ketua umum yang setia kepadanya. Apalagi, Golkar adalah partai kedua terbesar di parlemen. (Baca juga: Jokowi di Golkar, Banteng Bisa Apa?)

Namun, secara politik elektoral, Pilkada 2018 tetap penting bagi Jokowi. Sekalipun di pusat koalisinya akan terus menguat, namun bila di daerah para politisi pendukung Jokowi meraih kekalahan, Jokowi bisa juga terancam. Kantong-kantong suara di daerah adalah yang utama untuk diraih melalui tangan para pemimpin daerah loyalis Jokowi, terutama di daerah-daerah dengan populasi terbanyak, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.

Sehingga, Jokowi harus terus berpikir taktis. Ia harus menimbang partai-partai yang potensial menjadi koalisinya untuk 2019 nanti, yang dapat dimulai dengan membaca arah dukungan mereka pada 2018 ini. Banyak partai akan datang, namun pasti ada juga yang akan cenderung pergi.

Bila partai-partai yang telah mengusung Jokowi dapat diasumsikan akan bersikap linier dengan dukungan Jokowi di Pilkada, maka partai-partai yang belum mendukung akan bersikap sebaliknya. Oleh karena itu, partai-partai yang belum mengusung dirinya atau yang selama ini masih netral adalah target utama Jokowi. Mereka akan masuk dalam radar Jokowi untuk ditelaah dan diseleksi: mana yang paling berpotensial membantu pemenangan Pilkada 2018 dan membantu dukungan pada Pemilu 2019.

Dengan kondisi saat ini, mungkinkah Partai Demokrat yang netral selama tiga tahun menjadi pilihan yang masuk akal bagi Jokowi?

Tanda-tanda PDKT

Partai Demokrat, baik itu melalui Ketua Umum Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) maupun calon terdepan mereka Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), telah beberapa kali melakukan pendekatan dengan pihak pemerintah maupun Jokowi secara langsung. Kesan ini tertangkap setidaknya beberapa bulan terakhir, setelah sejak 2014 menjadi partai netral.

Pada Agustus lalu, AHY bertemu dengan Jokowi di Istana Negara, dan langkah ini dinilai sebagai pendekatan awal SBY kepada Jokowi. Pengamat politik dari Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti mengatakan, pertemuan tersebut menandakan SBY bermain dua kaki. Ray menilai, 80 persen dari seluruh pertemuan aktor politik seperti itu bermuatan kepentingan koalisi, dalam kasus Demokrat bertujuan untuk mengenalkan AHY sebagai bakal cawapres potensial Jokowi.

Kemudian, SBY dinilai kembali mendekat dengan menyetujui Perppu Ormas menjadi UU Ormas dengan syarat revisi. Walau begitu, beberapa hari kemudian SBY mengancam akan menarik dukungannya dari UU Ormas bila revisi tak dilakukan, dan kemudian bertemu Prabowo Subianto. Tudingan bermain dua kaki pun semakin menguat.

Baca juga :  Anomali Jokowi

Lalu, pembelaan muncul dari Ketua Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum DPP Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean. Dia mengatakan, SBY tidak bermain dua kaki, tapi bermain banyak kaki. Mendukung UU Ormas namun mengritik dan meminta revisi, serta bertemu Prabowo Subianto, adalah cara untuk menjaga pemerintahan tetap akuntabel dan berada di jalur demokrasi yang tepat, begitu katanya.

SBY dan Prabowo sempat dikabarkan akan membuat poros oposisi Jokowi bersama-sama

Selepas bulan Oktober dan November 2017 hingga sekarang, SBY semakin mendekat ke Jokowi. Pada peringatan 3 tahun pemerintahan Jokowi-JK, SBY melalui rekaman video yang disebar, mengucapkan selamat atas pencapaian Jokowi. Pada 27 Oktober 2017, Jokowi menyambut SBY dengan veranda talk di halaman Istana negara. Keesokan harinya, giliran AHY yang bertemu dengan Wapres Jusuf Kalla (JK) di Istana Wapres.

Bagi AHY sendiri, hal ini membuat semakin kencang isu dirinya akan dijadikan Menteri Pemuda dan Olahraga oleh Jokowi. Langkah yang mungkin terjadi itu, disebut-sebut menjadi plot awal AHY akan menjadi cawapres Jokowi pada 2019, mengingat AHY adalah salah satu calon kuat menurut banyak lembaga survei.

Belum lagi, kemarin (3/1), Demokrat mengeluhkan soal kriminalisasi yang kerap dilakukan kepada partai berlambang mercy itu. Namun, Demokrat melalui Hinca Panjaitan tidak menuding Jokowi sebagai dalangnya, sekalipun Jokowi memegang kekuasaan. Dari pernyataan itu, ada sinyal bahwa Demokrat sadar ada ‘musuh’ lain yang menggerakkan Polri, dan itu bukan Jokowi. Jokowi perlu didekatkan ke Demokrat dan dijauhkan dari partai lain yang adalah ‘musuh’ itu.

Benteng Jokowi di Pilkada, Turut Diusung Demokrat

Banyak yang bilang, pemilihan kepala daerah hanya akan mempertimbangkan untung-ruginya dalam konteks daerah saja. Tidak ada korelasi yang kuat antara koalisi di daerah dengan di pusat, karena partai yang bentrok di pusat bisa saja berkoalisi di daerah, atau sebaliknya.

Namun, tren terkini tidak mengatakan demikian. Ada koalisi Gerindra-PKS-PAN yang terlihat makin kuat di banyak daerah, termasuk juga di pusat—dengan PAN berperan abu-abu. Sementara itu, ada pula sinyal dari Jokowi, yang sempat mendorong Ridwan Kamil melalui Golkar di Jabar, dengan pakta dukungan kepada Jokowi, yang diprotes karena melanggar kaderisasi Golkar di daerah. Atau, ketika Jokowi disinyalir mendukung Khofifah di Jatim.

Ya, pulau Jawa tentu harus menjadi konsentrasi Jokowi jika ingin kembali berkuasa, karena Jawa merupakan lumbung suara nasional terbesar. Yang terbaru, Jokowi akhirnya mengalihkan dukungan Golkar dari Ridwan Kamil kepada Dedi Mulyadi. Dedi yang berperan cukup besar melobi internal Golkar dan Jokowi untuk mendukung Airlangga Hartarto menjadi Ketua Umum Golkar, akhirnya mendapatkan tiket yang diinginkannya di Jabar.

Di sisi lain, Demokrat baru saja me-rebound Wakil Gubernur Jabar Deddy Mizwar yang didepak dari PKS, untuk diajukan dalam Pilkada kali ini. Tak lama berselang, pasangan Dedi Mulyadi-Deddy Mizwar (DM-DM) diperkenalkan kepada publik. Koalisi Sajajar, demikian istilah Dedi Mulyadi, adalah gambaran dari seimbangnya kekuatan Golkar-Demokrat yang saling bahu membahu di Jawa Barat.

Bahkan, Ketua DPD Golkar Jabar itu mengatakan, Koalisi Sajajar ini akan berlanjut di Kota Bandung, Kota Bekasi, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Subang. Kesemuanya adalah daerah dengan jumlah penduduk yang besar di Jawa Barat.

Baca juga :  Gibran, Utang Moral AHY ke Jokowi-Prabowo?

Tentu saja, langkah Demokrat merapat ke Golkar adalah keputusan yang sangat strategis. Apalagi, ada Jokowi di belakang Golkar dan ada SBY di pucuk pimpinan Demokrat.

Pasangan Dedi Mulyadi-Deddy Mizwar tinggal memilih siapa cagub siapa cawagub. Ada Jokowi-SBY di belakang mereka

Di Jawa Timur, dilepasnya Khofifah oleh Jokowi disambut dengan cepat oleh Demokrat. Golkar juga telah lama mengusung Khofifah, namun belum memberi surat rekomendasi sejak November 2017. Diduga, gonjang-ganjing internal Golkar membuat partai kuning itu masih setengah hati mengusung Khofifah. Golkar saat itu belum tahu, apakah pimpinan selanjutnya dimenangkan oleh loyalis Jokowi atau bukan,

Namun, kembali pasca-Munaslub yang memenangkan Airlangga Hartarto, Golkar nampak telah yakin mendukung Khofifah. Khofifah menyatakan, surat rekomendasi dari Golkar akan hadir segera di minggu ini. Dan ini, sekali lagi menjelaskan bahwa ada Golkar dan Demokrat di kubu yang sama.

Bahkan, Demokrat dinilai lebih jeli memahami pilihan Jokowi, dengan mendukung Khofifah sedini mungkin, yang kemudian akan dikonklusikan dengan dukungan segera dari Golkar. Merupakan keuntungan pula bagi Jokowi, bila bekerja sama dengan Demokrat di Jatim yang adalah basis massa kuat Demokrat untuk menandingi PKB.

Begitu pula di Jawa Tengah. Kandang Banteng ini dinilai hampir pasti dimenangkan oleh PDIP.  Namun, Demokrat dan Golkar tentu ingin mencari celah dan momentum untuk mengusung calon sendiri.

Selain itu, dengan dukungan Golkar+Nasdem+Hanura, Jokowi telah cukup memenuhi syarat presidential threshold. Dengan demikian, Jokowi dapat lebih leluasa menekan partai lain termasuk PDIP untuk lebih setia kepadanya, tanpa adanya syarat kursi jabatan menteri yang besar atau tanpa terus melekat dengan citra sebagai ‘petugas partai’.

Hal ini juga bisa menjelaskan koalisi Golkar dan Demokrat plus PPP di Jateng, yang baru terbentuk setelah Munaslub Golkar. Ada kalkulasi yang dilakukan Jokowi, entah bersama SBY atau tidak, untuk lagi-lagi mengawinkan Golkar dan Demokrat. Sehingga, walaupun Kandang Banteng termasuk sangat sulit ditembus, masuknya Jokowi dalam poros Golkar-Demokrat-PPP bisa menjadi tantangan yang serius bagi PDIP.

Apakah ini berarti Jokowi turut ingin menjatuhkan dominasi PDIP di Jawa Tengah melalui Golkar, berbarengan dengan ambisi Demokrat? (Baca juga: Rodeo Banteng di Jawa Tengah)

2019: Tancap Gas Bersama?

Faktanya, Demokrat memang mendukung hampir semua posisi politik Jokowi pada Pilkada di tanah Jawa—kecuali di DKI Jakarta 2017 tentunya. Kedekatan Demokrat melalui SBY atau AHY tak hanya terlihat di tingkat pusat, namun cukup tersirat di daerah-daerah.

Memahami belum adanya tanda-tanda reshuffle kabinet, menunjukkan bahwa sebenarnya Jokowi sedang menimbang-nimbang partai mana yang baik untuk terus diajak berkoalisi. Mungkin ada yang masuk dan bertambah, mungkin pula ada yang berkurang. Yang pasti, Demokrat akan terus merapat dan sepertinya mulai ingin meninggalkan status sebagai partai netral. Bagaimana pun juga, partai politik akan selalu berusaha untuk dekat dengan cita-cita utamanya: kekuasaan.

Ditambah lagi, bila permusuhan PDIP-Demokrat masih ada—yang bersumber dari hubungan yang kurang baik antara Megawati Soekarnoputri dengan SBY—maka Demokrat harus sabar dan perlahan-lahan dalam mendukung Jokowi.  Bagaimana pun juga, citra Jokowi masih sangat lekat dengan PDIP.

Pada akhirnya, Jokowi tentu akan menghitung plus-minus dukungan politik, apakah lebih baik tetap dengan PDIP, ataukah beralih pada sumber kekuatan lain. Jika status keterikatan politik bernama ‘petugas partai’ tetap menjadi syarat utama dukungan banteng, maka sangat mungkin membangun poros bersama SBY adalah pilihan yang paling logis untuk 2019.  (R17)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Mengejar Industri 4.0

Revolusi industri keempat sudah ada di depan mata. Seberapa siapkah Indonesia? PinterPolitik.com “Perubahan terjadi dengan sangat mendasar dalam sejarah manusia. Tidak pernah ada masa penuh dengan...

Jokowi dan Nestapa Orangutan

Praktik semena-mena kepada orangutan mendapatkan sorotan dari berbagai pihak, baik di dalam maupun luar negeri. Di era Presiden Joko Widodo (Jokowi), praktik-praktik itu terus...

Indonesia, Jembatan Dua Korea

Korea Utara dikabarkan telah berkomitmen melakukan denuklirisasi untuk meredam ketegangan di Semenanjung Korea. Melihat sejarah kedekatan, apakah ada peran Indonesia? PinterPolitik.com Konflik di Semenanjung Korea antara...