HomeNalar PolitikJokowi-Pheidon, Risalah Dollar 14 Ribu

Jokowi-Pheidon, Risalah Dollar 14 Ribu

Semua berdebat. Apakah nilai tukar rupiah yang menyentuh Rp 14.000 per dolar AS beberapa hari terakhir berbahaya? Para pengamat seolah menyelipkan kisah kegelapan di akhir bronze age, sementara oposisi pasang kuda-kuda dan siap menyerang pemerintah.


PinterPolitik.com

“The best way to destroy the capitalist system is to debauch the currency.” – Vladimir Lenin

[dropcap]S[/dropcap]istem perdagangan dan ekonomi dalam kurun waktu dua ribu tahun seolah luluh lantak, ketika “orang-orang laut” (the sea people) menyerbu peradaban di sekitar Mediterania di akhir bronze age – zaman perunggu – sekitar tahun 1200 SM.

Kerajaan Mesir Kuno, peradaban Bangsa Het, hingga orang-orang Mycenaean di Yunani Kuno yang telah membangun kedigdayaan ekonomi dan politik – termasuk juga mata uang – harus menghadapi kehancuran besar. Saking besarnya dan minimnya sumber sejarah di era ini, para ilmuwan menyebutnya sebagai the dark era.

Zaman ini disebut sebagai bronze age atau era perunggu, karena logam yang terbentuk dari percampuran tembaga dan timah ini menjadi komoditas yang melambangkan kerja sama dan perdagangan antara negara-negara di Mediterania.

Saat itu jarang ada negara yang bisa memproduksi timah dan tembaga sekaligus, sehingga untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, negara-negara tersebut melakukan perdagangan di antara mereka, tentu saja dengan nilai mata uang yang telah disepakati.

Namun bronze age harus berakhir, termasuk dengan sistem alat tukar yang digunakan saat itu. Barulah enam ratus tahun kemudian, Pheidon II dari Argos, Yunani memperkenalkan standarisasi alat tukar – semacam kurs kuno – dengan menggunakan berat perak.

Zaman tersebut menandai era kembali menguatnya hubungan ekonomi antarnegara dan awal transformasi uang – yang sudah dikenal sejak zaman Mesopotamia (3000 SM) – dan nilai tukarnya, ke era yang lebih modern. Walaupun tidak seterkenal para pemimpin Athena dan Sparta, Pheidon II akan tercatat di dalam buku-buku ekonomi sebagai orang yang mengembalikan citra uang dalam sistem ekonomi, setelah nilainya hancur pada akhir era perunggu.

Kisah uang dan nilai tukar di zaman kuno ini, menjadi catatan pinggir yang menarik untuk dibahas beberapa hari terakhir, khususnya ketika menyaksikan nilai tukar rupiah yang telah mencapai Rp 14.000 per dollar Amerika Serikat (AS).

Untuk pertama kalinya sejak 2015, nilai tukar rupiah menyentuh angka tersebut. Sontak kondisi ini menjadi pergunjingan yang hangat di masyarakat.

Kelompok oposisi menyoroti secara khusus dan menganggap hal ini menunjukkan Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kehilangan kredibilitas politik. Setidaknya, itulah kata-kata yang keluar dari mulut tokoh-tokoh macam dua Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah dan Fadli Zon.

Bahkan, Ketua MPR sekaligus Ketua Umum PAN dalam kesempatan menerima Jenderal (Purnawirawan) Gatot Nurmantyo – yang digadang-gadang sebagai calon presiden alternatif di 2019 – juga menyinggung nilai tukar rupiah tersebut dan meminta masyarakat untuk tetap bersatu menjelang tahun politik. Pernyataan ini secara tersirat menjelaskan ada makna politis di balik pelemahan nilai mata uang garuda tersebut.

Lalu apa kata Pemerintah? Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menganggap kondisi ini belum membahayakan. Menurutnya, kondisi ekonomi dalam negeri masih stabil dan belum berbahaya.

Baca juga :  Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Pemerintah juga disebutnya terus berupaya untuk menekan dampak dari pelemahan rupiah yang ditengarai sebagai akibat dari penguatan ekonomi dalam negeri AS ini, agar tidak berdampak banyak bagi masyarakat. Sementara, Bank Indonesia (BI) juga meminta masyarakat tidak panik dan menghadapi situasi ini.

Tentu pertanyaannya adalah apakah memang situasi ini tidak benar-benar berbahaya?

Dollar Rp 14.000, Bahaya?

Isu pelemahan nilai rupiah ini, nyatanya punya dimensi politik yang sangat kuat ketimbang murni persoalan ekonomi semata. Kubu oposisi Pemerintahan Jokowi jelas memanfaatkan momen ini untuk mengkritik pemerintah. Maka, bahasa yang muncul menjadi bervariasi, mulai dari istilah “kriminalisasi rupiah” ala Rocky Gerung, hingga penurunan “kredibilitas politik” ala Fahri Hamzah.

Jika berkaca pada pernyataan Pemerintah melalui Menkeu, memang terlihat bahwa walaupun rupiah melemah, pengelolaan dari sisi fiskal tetap terjaga, dengan defisit transaksi berjalan di bawah batas aman 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), inflasi di kisaran 3,5 persen, serta tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 5,06 persen untuk kuartal I 2018 yang dinilai masih baik.

Jokowi-Pheidon, Risalah Dollar 14 Ribu

Namun, khusus untuk indikator terakhir, oleh banyak pihak dinilai tidak sesuai target, bahkan dianggap sebagai perlambatan pertumbuhan ekonomi oleh beberapa media asing.

Selain itu, pelemahan nilai mata uang Indonesia akibat menguatnya ekonomi AS dan kenaikan suku bunga Bank Sentral AS (The Fed) dianggap lebih baik dibandingkan beberapa negara lain. Rupiah hanya terdepresiasi 1,3 persen, lebih kecil dibandingkan India yang mencapai 1,9 persen dan Australia yang mencapai 1,4 persen.

BI menghimbau masyarakat tidak perlu panik karena selain indikator ekonomi Indonesia masih positif, cadangan devisa Indonesia yang masih aman di kisaran US$ 126 miliar, dan realisasi penerimaan pajak yang positif, membuat Indonesia dianggap tetap aman.

PinterPolitik mengecek data tersebut di portal Trading Economics, dan menemukan angka US$ 126 miliar  (Rp 1.764 triliun) merupakan cadangan devisa Indonesia pada bulan Maret 2018. Untuk bulan April, cadangan devisa tersebut telah berkurang US$ 1 miliar (Rp 14 triliun).

Menariknya, ada tren penurunan yang signifikan sejak bulan Januari 2018, di mana cadangan devisa Indonesia masih menyentuh US$ 132 miliar (Rp 1.848 triliun). Penurunan ini menunjukkan bahwa ada cadangan devisa yang digunakan oleh Pemerintah untuk mengantisipasi fluktuasi nilai tukar.

Menkeu juga menyebut, bahwa pemerintah terus fokus menjaga perekonomian Indonesia. Fondasi ekonomi terus diperkuat dan kinerja ekonomi dipertahankan agar dampak pelemahan rupiah ini tidak berdampak signifikan.

Walaupun secara makro kondisinya tidak berbahaya, pelemahan rupiah ini akan berdampak pada transaksi yang berhubungan dengan valuta asing, katakanlah dalam hal pembayaran utang atau transaksi ekonomi yang lain.

Utang pemerintah yang jatuh tempo pada 2018 berjumlah hampir Rp 400 triliun. Jika rupiah melemah, maka jumlah utang pemerintah akan membengkak. Setiap pelemahan Rp 100 terhadap dollar, utang Indonesia akan naik Rp 10,96 triliun.

Sektor lain yang terdampak adalah impor, mulai dari impor BBM, hingga bahan baku dan produk-produk jadi lainnya. Kenaikan ini tentu saja akan menyedot cadangan devisa negara, sehingga masuk akal penurunan cadangan devisa terjadi.

Baca juga :  Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Selain itu, harga barang-barang kebutuhan masyarakat juga berpotensi akan terdampak. Pemerintah mungkin mampu mengatasi kenaikan harga BBM, namun itu akan memaksa Indonesia untuk berutang atau memanfaatkan cadangan devisa yang ada.

Secara ekonomis, kondisi rupiah Rp 14.000 terhadap dollar memang masih tergolong aman. Beberapa pengamat ekonomi menganggap level Rp 15.000-lah yang harus menjadi konsen Pemerintah.

Namun, seperti kata Fahri Hamzah, ada dampak politik yang akan dihadapi oleh Pemerintahan Presiden Jokowi, mulai dari kepercayaan di sisi investasi, hingga kepercayaan masyarakat akan kemampuan pemerintah mengontrol pasar mata uang. Jangan lupa, salah satu kekacauan ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 adalah karena nilai tukar rupiah yang anjlok terhadap dollar AS.

Secara teknis, Pemerintah memang telah memiliki berbagai kebijakan untuk mengantisipasi pelemahan rupiah terhadap dollar ini, misalnya dengan adanya swap agreement dengan beberapa negara lain, termasuk dengan Tiongkok. Tetapi, apakah itu cukup?

Politik Nilai Tukar

Tak diragukan lagi, nilai tukar mata uang selalu punya dimensi politis. Kejatuhan Presiden Soeharto di tahun 1998, salah satunya merupakan akibat ketidakmampuan pria kelahiran Bantul, Yogyakarta itu untuk mengontrol nilai tukar mata uang garuda.

Secara umum, nilai mata uang memang punya dimensi politik yang sangat besar. Jeffrey A. Frieden dari Harvard University menyebut, nilai tukar punya nilai politik dalam menentukan kebijakan sebuah negara dalam politik internasional maupun domestik.

Namun, setiap kebijakan yang berhubungan dengan mata uang selalu menghasilkan winner dan looser, serta ada dampak terhadap konteks politik pengambil kebijakan tersebut. Dalam konteks domestik, politisi mengambil kesempatan dalam kebijakan yang berkaitan dengan mata uang untuk memperkuat posisi politiknya di hadapan lawan.

Artinya, jika nilai tukar rupiah melemah terhadap dollar, maka hal ini akan menjadi serangan politik yang efektif bagi oposisi terhadap pemerintah. Hal inilah yang terlihat pada Jokowi. Pelemahan rupiah mengisi ceruk kritik terhadap kebijakan ekonomi Jokowi. Apalagi, jika dampak yang terjadi akibat kondisi ini adalah peningkatan jumlah utang, maka bisa dipastikan isu ini akan cukup laku dijual.

Tentu saja akan menjadi tantangan yang besar bagi Jokowi memperbaiki nilai tukar. Kisah tentang Pheidon dan kehancuran bronze age merupakan bukti sahih pentingnya nilai tukar bagi sebuah negara – sekalipun kisah di Yunani ini punya konteks yang berbeda. Yang jelas, Jokowi harus memperhatikan hal ini dengan seksama.

Indonesia memang punya swap agreement dengan Tiongkok terkait nilai tukar terhadap dollar AS. Namun, apakah hal itu saja cukup? Tentu saja kebijakan yang lebih mandiri mutlak diperlukan. Tanpa hal itu, Indonesia akan tetap terombang-ambing.

Pada akhirnya, seperti kata Vladimir Lenin di awal tulisan, mengacaukan nilai mata uang adalah cara untuk menghancurkan kapitalisme. Tapi jangan lupa, Lenin tidak hidup di tahun 1998. Kehancuran mata uang akan sangat mungkin menghasilkan chaos yang luar biasa. Tentu kita tidak ingin hal itu, bukan? (S13)

 

 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?

More Stories

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.