HomeNalar PolitikJokowi dan Prahara Rohingya

Jokowi dan Prahara Rohingya

Kecil Besar

Pada November 2016, kasus Rohingya sempat mengemuka. Namun, tanggapan pemerintah tidaklah sereaktif sekarang. Bahkan, saat itu Menlu Retno Marsudi hanya menelepon Menteri Urusan Luar Negeri Myanmar.


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]K[/dropcap]embali memanasnya konflik dan kekerasan terhadap masyarakat Rohingya di Myanmar menarik perhatian dunia internasional. Tidak ketinggalan, berbagai protes bermunculan di Indonesia. Aksi simpati dan bantuan terhadap masyarakat Rohingya terus mengalir, entah atas dasar kemanusiaan maupun persaudaraan sesama muslim.

Namun, saking kuatnya pemberitaan dan sebaran informasi terkait penderitaan masyarakat Rohingya, isu yang terekspos bergeser dari konflik etnis – serta sosial-politik dan ekonomi – menjadi cenderung berbau konflik agama yang tajam. Tajamnya sentimen agama antara umat Islam dan penganut agama Buddha ini muncul dari generalisasi sempit serta sebaran infomasi yang tidak terkendali di media sosial. Konflik di Rohingya akhirnya menjadi konsumsi politik dalam negeri Indonesia dan digunakan oleh para politisi untuk saling serang.

Hal inilah yang kemudian membuat Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mengeluarkan pernyataan yang menyebut isu Rohingya yang semakin panas dibahas di dalam negeri sebagai upaya untuk menyerang pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kapolri mengatakan bahwa isu Rohingya diangkat untuk melahirkan sentimen umat Islam terhadap pemerintahan Jokowi. Apakah benar demikian?

Pernyataan Kapolri ini memang mendatangkan kritik dari berbagai pihak. Namun, yang jelas, hal ini membuktikan bahwa apa yang dialami oleh masyarakat Rohingya mendatangkan bias yang cukup besar bagi politik domestik di Indonesia.

Rohingya: Jokowi Belajar dari Ahok?

Sikap politik Jokowi yang dengan segera mengutus Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi untuk bertemu dengan pemerintah Myanmar dan membahas persoalan yang terjadi di wilayah negara bagian Rakhine memang patut diapresiasi. Hal ini menunjukkan sikap politik luar negeri Indonesia yang ikut berperan aktif dalam mengatasi konflik politik di kawasan.

Namun, sikap cepat tanggap ini sangat berbeda dengan sikap pemerintahan Jokowi menanggapi isu yang sama pada November 2016 lalu. Saat itu, Menlu Retno hanya menelepon Menteri Urusan Luar Negeri Myanmar. Padahal saat itu skala konflik yang terjadi juga tidak kecil dan penindasan yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap masyarakat Rohingya juga sampai dengan melakukan pengusiran dan pembakaran pemukiman. Memang saat itu politik domestik Indonesia sedang disibukkan dengan gelaran Pilkada, termasuk di Jakarta. Namun, sikap yang berbeda ini tentu patut dipertanyakan.

Baca juga :  Mitos “Hantu Dwifungsi”, Apa yang Ditakutkan?
Jokowi dan Prahara Rohingya
Presiden Jokowi mengutus Menlu Retno Marsudi untuk membahas aksi kekerasan terhadap kaum Rohingya di Myanmar (Foto: Mudanews)

Sebetulnya, sikap yang berbeda ini sangat terlihat dalam beberapa bulan terakhir ketika Jokowi melakukan pendekatan yang berbeda untuk menghadapi gerakan politik domestik yang menggunakan isu agama – bukan hanya dalam kasus Rohingya saja. Pendekatan politik ini dilakukan Jokowi pasca kasus yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Faktanya kasus Ahok menunjukkan bahwa isu agama sangat mampu melahirkan gerakan politik yang masif dan berpotensi menurunkan Jokowi di tengah jalan – kita tentu ingat aksi-aksi 411 dan 212 juga diwarnai dengan dugaan makar. Setelah kasus Ahok, masyarakat menyaksikan kebijakan-kebijakan ‘pengelolaan’ isu agama yang dilakukan oleh Jokowi, misalnya melalui Perppu Ormas, pembubaran HTI, dan aksi-aksi mendekatkan diri kepada para pemuka agama.

Hal inilah yang mungkin menyebabkan Jokowi lebih reaktif dalam mengelola isu politik yang dikaitkan dengan agama. Isu Rohingya memang telah menjadi konsumsi politik yang kalau tidak dikelola dengan baik oleh Jokowi berpotensi melahirkan guncangan politik dalam negeri. Jika salah mengambil sikap, maka rencana demonstrasi seperti yang ingin dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) di Candi Borobudur akan mendatangkan guncangan politik dalam negeri. Sikap simpati yang awalnya berasaskan kemanusian sangat mungkin berubah menjadi gerakan intoleransi – ujung-ujungnya berdampak pada pemerintahan Jokowi sendiri.

Sikap reaktif Jokowi ini juga beralasan, apalagi beberapa tokoh politik oposisi juga bereaksi atas kekerasan yang terjadi pada masyarakat Rohingya, misalnya yang disuarakan oleh dua Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Fadli Zon bahkan mengkritik bantuan pemerintah Indonesia yang dianggapnya sangat kurang. Sementara, Fahri Hamzah menulis surat terbuka untuk Presiden Jokowi melalui akun twiternya.

Sikap cepat tanggap Jokowi dan pernyataan Kapolri terkait upaya menyerang pemerintah lewat sentimen agama menunjukkan bahwa pemerintah terlihat ingin meredam gejolak politik domestik yang timbul dari kasus Rohingya. Padahal, secara politik luar negeri, peluang Indonesia mencampuri penyelesaian konflik ini sangatlah kecil. Dalam posisi sebagai negara berdaulat maupun sebagai sesama anggota ASEAN, Indonesia tidak bisa mencampuri urusan domestik Myanmar. Di ASEAN ada prinsip non-interference (dalam Piagam ASEAN) yang tidak membolehkan negara-negara anggota saling mencampuri urusan domestik negara lain – hal yang juga menyebabkan mengapa sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Indonesia tidak dapat berbuat banyak membantu penyelesaian konflik di Rakhine ini.

Baca juga :  Open Loker Cawapres 2029, Puan Maharani? 

Artinya, sikap pemerintah memang punya nilai politik domestik yang tidak sedikit. Sikap ini memang harus diambil Jokowi demi meredam sentimen agama yang menguat di dalam negeri.

Manjurnya Politisasi Isu Agama?

Identitas – dalam hal ini agama – menjadi isu yang sangat manjur jika dikelola dengan baik dalam politik. Faktanya memang rata-rata konflik yang terjadi pasca perang dingin terjadi karena benturan budaya dan agama – seperti yang diungkapkan oleh Samuel P. Huntington. Sementara itu, politik juga sangat berhubungan dengan manajemen konflik – artinya manajemen isu agama dan budaya.

Kasus Ahok menunjukkan manjurnya persoalan agama dijadikan sebagai isu politik. Hal ini membuat segala sesuatu yang berhubungan dengan agama belakangan menjadi komoditas politik yang sangat sensitif. Jokowi terlihat tidak mau riak-riak politik atas dasar agama kembali bermunculan lagi. Ada ketakutan yang muncul dari Jokowi bahwa isu agama memang menjadi persoalan yang bisa menjatuhkan dirinya bahkan menjelang pemilihan presiden 2019 nanti.

Presiden Jokowi bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla pada acara Dzikir Kebangsaan bersama pemuka agama di halaman Istana Merdeka, Jakarta, 1 Agustus 2017 (Foto: tempo.co)

Isu agama disebut manjur karena posisi politik Jokowi memang tidak sekuat pendahulu-pendahulunya – ia bukan dari militer dan tidak punya partai politik sendiri. Namun, kebijakan Jokowi sangat diterima oleh masyarakat banyak dan menjadikannya tokoh paling populer saat ini. Oleh karena itu, banyak pihak menilai hanya isu agama dan hubungan sipil-militerlah yang dianggap mampu menjegal jalan Jokowi untuk kembali terpilih lagi. Jika ingin jalannya mulus, Jokowi harus mampu mengelola persoalan-persoalan yang berbasis dua isu itu.

Pasca kasus Ahok, memang serangan dengan menggunakan agama kerap diarahkan kepada Jokowi. Pada akhirnya, semuanya tergantung bagaimana Jokowi mengelola isu ini. Dengan demikian pertanyaan apakah Jokowi akan mengalami hal serupa seperti yang dialami oleh Ahok akan ditentukan oleh Jokowi sendiri.

Kekerasan yang dialami oleh masyarakat Rohingya memang harus dikutuk dan sudah seharusnya Indonesia membantu penyelesaian konflik ini. Namun, yang terpenting, jangan sampai konflik ini mendatangkan perpecahan di Indonesia. Bagaimana pun juga keprihatinan jangan sampai berbuah perpecahan di dalam negeri sendiri. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Sejauh Mana “Kesucian” Ahok?

Pasca spill memiliki catatan bobrok Pertamina dan dipanggil Kejaksaan Agung untuk bersaksi, “kesucian” Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seolah diuji. Utamanya, terkait pertaruhan apakah dirinya justru seharusnya bertanggung jawab atas skandal dan kasus rasuah perusahaan plat merah tempat di mana dirinya menjadi Komisasis Utama dahulu.

Teror Soros, Nyata atau “Hiperbola”? 

Investor kondang George Soros belakangan ramai dibincangkan di media sosial. Apakah ancaman Soros benar adanya, atau hanya dilebih-lebihkan? 

Begitu Sulit Sri Mulyani

Kementerian Keuangan belum juga memberikan paparan kinerja APBN bulan Januari 2025.

Mitos “Hantu Dwifungsi”, Apa yang Ditakutkan?

Perpanjangan peran dan jabatan prajurit aktif di lini sipil-pemerintahan memantik kritik dan kekhawatiran tersendiri meski telah dibendung sedemikian rupa. Saat ditelaah lebih dalam, angin yang lebih mengarah pada para serdadu pun kiranya tak serta merta membuat mereka dapat dikatakan tepat memperluas peran ke ranah sipil. Mengapa demikian?

Inikah Akhir Hidup NATO?

Perbedaan pendapat antara Amerika Serikat (AS) dan negara-negara anggota Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) belakangan terlihat semakin kentara. Apa maknanya?

Apocalypse Now Prabowo: Sritex dan Tritum Konfusianisme

Badai PHK menghantui Indonesia. Setelah Sritex menutup pabriknya dan menyebabkan 10 ribu lebih pekerja kehilangan pekerjaan, ada lagi Yamaha yang disebut akan menutup pabrik piano yang tentu saja akan menyebabkan gelombang pengangguran.

Tiongkok Pesta Thorium, Bisa Pantik “Perang”? 

Dunia dihebohkan dengan kabar bahwa Tiongkok berhasil menemukan cadangan thorium yang jumlahnya diprediksi bisa menghidupi kebutuhan energi negara tersebut selama 60 ribu tahun. Kira-kira, apa dampak geopolitik dari hal ini? 

Ini Akhir Cerita Thohir Brothers?

Mega korupsi Pertamina menguak dan mulai terarah ke Menteri BUMN, Erick Thohir, dan sang kakak, Garibaldi atau Boy Thohir. Utamanya, terkait jejaring kepentingan personal dan politik yang bisa saja akan menjadi pertimbangan Presiden Prabowo Subianto kelak atas sebuah keputusan. Benarkah demikian?

More Stories

Begitu Sulit Sri Mulyani

Kementerian Keuangan belum juga memberikan paparan kinerja APBN bulan Januari 2025.

Apocalypse Now Prabowo: Sritex dan Tritum Konfusianisme

Badai PHK menghantui Indonesia. Setelah Sritex menutup pabriknya dan menyebabkan 10 ribu lebih pekerja kehilangan pekerjaan, ada lagi Yamaha yang disebut akan menutup pabrik piano yang tentu saja akan menyebabkan gelombang pengangguran.

The War: Prabowo vs Mafia Migas

Kasus dugaan korupsi di Pertamina Patra Niaga nyatanya menyimpan pertanyaan besar soal keberadaan para “mafia” di bisnis migas.