Dengarkan artikel berikut. Audio ini dibuat dengan teknologi artificial intelligence.
Perbincangan seputar berkurangnya kelas ekonomi menengah Indonesia belakangan tengah ramai. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkinkah ada kesalahan sistemik di baliknya?
Dikisahkan lima tahun lalu, Andi, seorang karyawan di perusahaan multinasional, merasa hidupnya mulai mapan. Ia baru saja mengambil cicilan rumah di pinggiran Jakarta, membeli mobil bekas untuk keluarganya, dan menyekolahkan anaknya di sekolah swasta yang cukup ternama.
Setiap bulannya, setelah membayar cicilan dan biaya hidup, Andi masih memiliki sisa uang untuk ditabung atau sekadar menikmati akhir pekan di kafe bersama teman-temannya.
Namun,sekitar 2 tahun lalu, kehidupan Andi tiba-tiba berubah. Perusahaannya mengalami penurunan bisnis, gajinya dipotong, dan akhirnya, ia terkena PHK. Dengan pesangon yang tak seberapa, ia mencoba berwirausaha, tetapi masalahnya daya beli masyarakat yang menurun membuat bisnisnya tak bertahan lama.
Kini, ia bekerja serabutan, kadang menjadi pengemudi ojek online, kadang menjadi pekerja lepas dengan penghasilan yang tak menentu. Rumah yang dulu menjadi simbol keberhasilannya kini terancam disita bank karena cicilan yang tertunggak.
Kisah Andi adalah gambaran nyata dari banyak orang di Indonesia yang dulu merasa aman di kelas menengah, tetapi kini perlahan merosot. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa kelas menengah Indonesia turun cukup besar dalam lima tahun terakhir, yakni 21,45 persen pada 2019, kini tinggal 17,13 persen pada 2024.
Tentu pertanyaannya adalah mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah ada alasan politik di baliknya?

Sesuatu Terjadi di Era Jokowi?
Jika kita melihat data jumlah populasi kelas ekonomi menengah Indonesia dari BPS, kita akan menyadari bahwa era kepresidenan Joko Widodo (Jokowi) tampaknya jadi satu-satunya era di mana negara kita mengalami tren penurunan. Dari 2003 ke 2014 contohnya, ketika era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kelas ekonomi menengah Indonesia tercatat naik cukup pesat, yakni dari 5 persen menjadi 15,5 persen.
Ketika awal-awal Jokowi menjabat, populasi kelas menengah ini memang sempat meningkat, dari 2014 hingga 2018 naik sekitar 7,5 persen, menjadi 23 persen. Namun, pada periode 2019 hingga 2024, jumlah tersebut tiba-tiba menurun cukup besar. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Well, sejumlah alasan dinilai jadi faktornya. Pertama, dari tahun 2019 hingga 2024, sejumlah hal penting yang mengalami kenaikan, contohnya seperti pajak pertambahan nilai (PPN) yang berdampak banyak pada kenaikan biaya hidup (mulai dari makanan hingga transportasi), sampai kenaikan listrik dan bahan bakar minyak (BBM) yang di era Jokowi memang cukup sering dilakukan.
Kedua, menurut Ekonom Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, faktor kegagalan dalam industrialisasi juga berpengaruh besar dalam fenomena menciutnya kelas ekonomi menengah Indonesia. Kegagalan ini menurutnya, didasari dari paradigma penghiliran atau hilirisasi yang bertumpu pada kepentingan tingkat retur modal, terutama modal asing, secara parsial pada sektor tertentu yang tidak padat karya. Akibatnya, penghiliran tidak menciptakan penyerapan tenaga kerja yang mampu menghasilkan banyak kelas menengah.
Akan tetapi, dua alasan tersebut tentu bukan satu-satunya yang menyebabkan kelas ekonomi menengah turun. Namun, di luar aspek ekonomi, muncul juga adanya andil politik. Lantas, bagaimana mungkin?

Kelas Menengah “Tidak Menarik”?
Dalam politik elektoral, populasi adalah faktor kunci dalam menentukan arah kebijakan. Di Indonesia, jumlah penduduk calon kelas menengah (AMC) dan rentan memiliki porsi paling besar, yakni 53,4% dan 20,3% secara berurutan. Fakta ini dicurigai menciptakan insentif bagi politisi manapun untuk lebih berorientasi pada kepentingan kelompok tersebut, ketimbang kepada kelompok kelas menengah.
Sementara itu, elite ekonomi dan politik yang jumlahnya jauh lebih kecil tetap mendapatkan perhatian khusus karena pengaruh dan sumber daya yang mereka miliki. Akibatnya, muncul kecurigaan bahwa kelas menengah di Indonesia terjebak dalam limbo politik—tidak cukup besar untuk menjadi kekuatan elektoral yang menarik, tetapi juga tidak cukup kaya atau berpengaruh untuk menjadi pusat perhatian politik.
Dalam buku Stop Middle Class Genocide dari Russell Smith, disebutkan bahwa kelas menengah sering kali menjadi korban dari perubahan struktural dalam ekonomi dan politik, yang secara tidak langsung mengarah pada eliminasi mereka sebagai kekuatan sosial yang independen.
Smith menjelaskan bahwa dalam sistem ekonomi modern, kelas menengah terhimpit oleh dua kekuatan besar: populisme yang menguntungkan kelas bawah dan oligarki yang mengamankan kepentingan elite. Di Indonesia, hal ini tercermin dalam kebijakan populis yang sering kali berfokus pada subsidi langsung bagi masyarakat miskin, sementara regulasi yang menguntungkan korporasi besar tetap dipertahankan.
Fenomena ini semakin diperparah oleh pragmatisme politik. Dalam demokrasi elektoral, politisi cenderung mengalokasikan sumber daya di mana suara mereka bisa dimaksimalkan. Karena jumlah kelas-kelas ekonomi di bawah kelas menengah jauh lebih besar, berbagai program bantuan sosial—dari Bantuan Langsung Tunai (BLT) hingga kartu-kartu sosial—menjadi strategi utama dalam mengamankan dukungan mereka. Sebaliknya, kelas menengah yang lebih kecil dan cenderung tidak terikat secara emosional dengan program semacam ini, sering kali kurang mendapatkan perhatian secara politik.
Dengan demikian, kelas menengah tidak hanya mengalami stagnasi ekonomi, tetapi juga pengabaian politik. Mereka terlalu “kaya” untuk menerima perhatian populis dan terlalu “miskin” untuk mendapatkan perlindungan dari oligarki. Akibatnya, yang terjadi adalah perlahan-lahan kelas menengah kehilangan posisi mereka sebagai pilar stabilitas sosial dan justru semakin mendekati jurang ketidakpastian ekonomi.
Yang jadi kekhwatirannya lantas adalah, jika kondisi ini terus berlanjut, maka konsep “genosida kelas menengah” yang dikemukakan Smith bukanlah sekadar teori, tetapi kenyataan yang perlahan terjadi di Indonesia.
Besar harapannya di pemerintahan baru saat ini Presiden Prabowo Subianto bisa memperhatikan masalah ini karena bagaimanapun kelas menengah adalah kunci krusial bagi Indonesia dalam melepaskan diri dari middle income trap. (D74)