HomeNalar PolitikIsrael vs Palestina di Indonesia

Israel vs Palestina di Indonesia

Video arak-arakan sekelompok orang yang membawa bendera Israel di Papua menjadi topik menarik di tengah menguatnya sentimen politik identitas belakangan ini. Sementara itu, sering juga kita melihat aksi-aksi demonstrasi yang membawa-bawa bendera Palestina.


PinterPolitik.com

“There is no flag large enough to cover the shame of killing innocent people.”

:: Howard Zinn (1922-2010), sejarawan ::

[dropcap]T[/dropcap]iga tahun lalu, ketika masih berkuliah di Yogyakarta, saya cukup heran dengan teman-teman dari Papua yang beberapa kali memposting foto mereka bersama bendera Israel. Foto-foto itu kemudian mereka bagikan di akun media sosial. Beberapa bahkan menyimpan bendera Israel di kamarnya.

Faktanya, jika berbincang-bincang dengan beberapa teman dari Papua atau wilayah Indonesia Timur lain, ada preferensi politik pribadi berbasis identitas yang membuat mereka lebih “merasa dekat” dengan Israel ketika berdiskusi tentang konflik di Timur Tengah. Hal itu bukan hanya terjadi di Papua saja, tetapi juga di daerah-daerah lain yang mayoritas masyarakatnya beragama non-muslim.

Sebagai orang timur, saya pun merasakan hal yang sama, setidaknya sebelum saya kuliah di Yogyakarta dan mempelajari sejarah konflik Israel-Palestina secara mendalam.

Setelah mendapatkan gambaran yang lebih detil tentang konflik ini, pemahaman saya menjadi lebih terbuka, dan dengan sendirinya diskursus yang terjadi karena adanya persepsi yang melihat fakta konflik hanya dari sisi identitas – agama – sebagai dasar justifikasi, pun berganti dengan pemahaman yang lebih komprehensif. Terima kasih untuk dosen kuliah Politik Timur Tengah tentu saja.

Sebaliknya, pandangan dengan garis identitas yang berbeda – dalam hal ini terhadap Palestina-Islam – saya yakin ada di dalam pemikiran teman-teman yang beragama Islam. Memang, benturan-benturan pemahaman berbasis identitas seperti ini menjadi hal yang tak terhindarkan.

Kini, hal itu seolah mendapatkan penegasan kembali setelah beredar sebuah video di dunia maya yang menunjukkan aksi pawai kendaraan di salah satu wilayah di Papua. Aksi tersebut menarik karena kelompok yang beriringan tersebut membawa bendera Israel.

Hal ini kemudian mendapat komentar dari banyak pihak, tidak sedikit yang mempertanyakan aksi tersebut, mengingat saat ini konflik di Yerusalem antara Israel dan Palestina kembali terjadi dan mendatangkan banyak korban jiwa.

Wakil Ketua MPR sekaligus Politisi PKS Hidayat Nur Wahid bahkan mengkritik aksi tersebut dan menyebutnya sebagai kejadian yang seharusnya tidak dibiarkan. Menurutnya Israel adalah negara “teroris“, sehingga sudah selayaknya aksi yang demikian tidak terjadi.

Sikap serupa juga ditunjukkan oleh MUI yang mengecam aksi konvoi ini dan menyebut hal ini berlebihan. Bahkan MUI menilai aksi ini menentang negara karena Indonesia telah menyatakan sikap mendukung kemerdekaan Palestina.

Baca juga :  Amarah Trah Mulyono?

Adapun pihak Kepolisian menyebut acara iring-iringan tersebut tidak punya makna politis, dan merupakan bagian dari tradisi keagamaan yang telah terjadi bertahun-tahun lamanya di Papua.

Seiring meningkatnya tensi politik identitas di dalam negeri dan kondisi politik di Timur Tengah pasca pemindahan Kedubes Amerika Serikat (AS) dari Tel Aviv ke Yerusalem, akankah riak-riak politik ini berdampak terhadap kondisi politik dalam negeri yang belakangan ini sedang kacau-kacaunya?

Israel vs Palestina di Indonesia

Faktanya, ada dimensi politik yang sangat kental dalam simbol-simbol – katakanlah seperti bendera atau logo tertentu – ketika digunakan di tempat publik. Maka, idiom: “Picture (or symbol) is worth a thousand words”, memang benar-benar terbukti. Pada titik ini, simbol – dalam hal ini bendera – menjadi bagian dari identitas politik seseorang atau sekelompok orang tertentu.

Nyatanya, pertentangan Israel vs Palestina dimaknai secara simbolik di tanah air. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam – dan atas dasar Muslim brotherhood – tentu saja dukungan politik terhadap Palestina adalah bagian yang terbesar dalam aspirasi politik nasional.

Israel vs Palestina di Indonesia

Tidak heran, aspirasi politik tersebut seringkali menghiasi aksi-aksi politik yang bahkan tidak berhubungan dengan perjuangan Palestina, katakanlah dalam demo-demo politik mengkritik kebijakan pemerintah. Bahkan, hal ini pernah diprotes oleh Kedutaan Besar Palestina untuk Indonesia pada Januari 2017 lalu ketika bendera Palestina hampir selalu ada dalam demonstrasi yang terjadi.

Perwakilan negara tersebut merasa hadirnya bendera Palestina di setiap demonstrasi seolah menunjukkan bahwa Palestina-lah dalang di balik berbagai aksi demonstrasi tersebut – walaupun sebetulnya tujuan para pendemo adalah untuk menunjukkan dukungan politik dan simpati.

Hal yang sama juga terjadi pada bendera Israel. Setelah melakukan penelusuran, saya sedikit paham mengapa Israel – bahkan identitas benderanya – dianggap sebagai sesuatu yang dekat dengan masyarakat Papua.

Tradisi mengibarkan bendera Israel telah terjadi selama bertahun-tahun di Papua. Seperti dikutip dari CNN, konvoi yang videonya beredar di dunia maya menurut Kepolisian dilakukan oleh Sion Kids Center – sebuah komunitas keagamaan di wilayah tersebut yang ingin mengembalikan ajaran Kristen kepada akar-akar Alkitab Perjanjian Lama yang berfokus pada perjalanan Bani Israel.

Selain itu, masyarakat Papua punya sejarah panjang dengan adanya Pendeta dari Israel yang berdakwah ke Papua. Hal inilah yang membuat ada kedekatan historis dengan Israel yang dirasakan oleh masyarakat Papua. Gereja Injil Di Indonesia (GIDI) merupakan salah satu Gereja di Papua yang menyebut komunitasnya dekat dengan Israel. Kedekatan itu terjadi karena GIDI juga ada di Israel.

Pada titik ini, dua kondisi tersebut menjadi benturan yang sangat kontras. Persoalannya adalah tentu saja karena simbol politik, dalam hal ini bendera Israel. Faktanya, simbol politik – disebut politik karena ini adalah tentang bendera negara – punya dimensi yang spesifik terhadap identitas.

Bagaimanapun juga, ketika bendera sebuah negara dipakai, maka ada perasaan bahwa entitas negara tersebutlah yang digunakan. Hal ini juga terjadi pada bendera Palestina yang menimbulkan penolakan dari Kedubes negara tersebut ketika digunakan untuk demonstrasi di Indonesia. Adapun bendera Israel, sekalipun digunakan untuk tujuan yang bukan bersifat politik, tetap punya makna politik karena bendera itu dipakai sebagai lambang negara.

Baca juga :  Mungkinkah Jokowi Seperti Lee Kuan Yew?

Pertanyaanya adalah apakah reaksi yang timbul berlebihan?

Perang Simbol: Politik Identitas

Jawaban atas pertanyaan di atas tentu saja tidak bisa dipisahkan dari subyektivitas. Bagi masyarakat Papua, pengibaran bendera ini adalah tradisi dan bagian dari perayaan keagamaan. Oleh karena itu, bendera Israel melekat pada tradisi keagamaan masyarakat setempat.

Namun, perlu diingat bahwa bendera adalah sebuah simbol yang punya identitas politik. Ia mewakili negara, bangsa, identitas wilayah, bahasa, lagu kebangsaan, bahkan tidak jarang pula mewakili agama. Tidak semua orang Israel beragama Yahudi. Penduduk Israel ada juga yang beragama Kristen, Islam, Druze, Bha’i,  bahkan juga Hindu dan Buddha.

Walaupun demikian, bendera Bintang Daud tersebut jelas punya akar pada gerakan Zionisme yang sejalan dengan identitas ke-Yahudi-an. Hal yang sama pula terjadi pada bendera Palestina yang dinarasikan dengan identitas yang sama dengan persaudaraan Islam.

Mayer N. Zald dari Vanderbilt University menyebutkan bahwa simbol politik seperti bendera nasional selalu ditampilkan sebagai pembangkit semangat solidaritas dan melambangkan penegasan kembali kekuasaan negara. Ia juga menyebut bahwa simbol politik adalah gambaran persetujuan politik dan bahwa simbol tersebut menentukan hubungan antara “aktor” dengan “audiens”.

Sementara Katherine Green menyebut simbol politik punya makna psikologis yang besar ketimbang sekedar kalkulasi rasional murni. Simbol politik seperti bendera – yang sejarahnya memang pertama kali digunakan oleh militer – punya makna psikologis untuk mengikat identitas tertentu.

Pada titik ini, bendera negara jelas punya ikatan spesifik dengan identitas nasional sebuah negara. Terkait bendera Israel di Papua, hal ini pernah dikomentari oleh Wapres Jusuf Kalla pada 2015 lalu yang menyebut mungkin masyarakat Papua “tidak tahu” akan persoalan itu.

Ini juga yang menjadi alasan mengapa Neil Amstrong menancapkan bendera AS ketika ia pertama kali menginjakkan kaki di Bulan. Bendera negara adalah identitas dan legitimasi kekuasaan pemerintahan tertentu.

Komentar Hidayat Nur Wahid dan MUI jelas mengambil porsi identitas itu – selain juga karena Indonesia telah menyatakan dukungan politik bagi kemerdekaan Palestina. Tapi apakah itu berarti tradisi masyarakat Papua harus dipersalahkan?

Ini juga pertanyaan yang akan menimbulkan jawaban yang subyektif. Yang jelas, riak-riak politik seperti ini jika tidak disikapi dengan bijak akan menimbulkan pertentangan-pertentangan baru. Bagaimanapun juga, masalah ini punya dampak yang bisa memperkeruh situasi nasional yang belakangan memang semakin tidak terkendali.

Secara politik, tentu saja ada pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari ribut-ribut ini. Hanya penyelesaian yang bijak dan kepala dingin dari semua pihak yang mau menurunkan ego pribadi atau kelompoknyalah yang bisa membuat hal ini tidak berlarut-larut. Tapi apakah hal itu bisa terjadi?

Walaupun tidak ada “moral” dalam politik – demikian kata Machiavelli – saya percaya hal ini dapat tetap terjadi. Itulah yang digariskan dalam sila ke-4 Pancasila yang kita percayai bersama, bahwa segala sesuatu bisa diselesaikan lewat komunikasi dan dialog yang lebih mendewasakan.

Yang jelas, seperti kata Howard Zin di awal tulisan, tidak ada bendera yang cukup lebar untuk menyembunyikan rasa malu akibat membunuh banyak orang yang tidak berdosa. (S13)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Politik Hukum Jokowi dan Sejahtera Hakim

Para hakim melakukan “mogok” bertajuk cuti bersama. Mereka menuntut pemerintah menaikkan tunjangan dan gaji yang tidak berubah sejak tahun 2012.

Anies Bantu Prabowo Melupakan Jokowi?

Kendati tak saling berkaitan secara langsung, kemungkinan merangkul Anies Baswedan ke jajaran menteri bisa saja menambah kekuatan dan daya tawar Prabowo Subianto andai memiliki intensi melepaskan pengaruh Jokowi di pemerintahannya. Mengapa demikian?

Dharma Pongrekun vs ‘Elite Global’

Dharma Pongrekun singgung soal elite asing terkait pandemi Covid-19 dalam Debat Pilkada) Jakarta 2024. Mengapa konspirasi bisa begitu diyakini?

Jokowi Tidak Abadi 

Perbedaan sorakan yang diberikan para politisi ketika pelantikan anggota DPR/DPD/MPR 2024-2029, kepada Jokowi dan Prabowo tuai respons beragam dari warganet. Apa yang sebenarnya terjadi? 

Puan Sudah Siap Ketuai PDIP?

Puan Maharani kembali terpilih sebagai Ketua DPR RI untuk periode 2024-2029. Jika mampu menyelesaikan kepemimpinan hingga tahun 2029, maka Puan akan tercatat sebagai anggota DPR dengan masa jabatan terlama dan memimpin dalam 2 periode.

AHY Makes Demokrat Great Again?

Tidak terlalu dini kiranya untuk meneropong kepemimpinan Indonesia di tahun 2029 saat nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) muncul sebagai salah satu kandidat menjanjikan. Mengapa demikian?

Kenapa Pendukung Anies Pilih RK?

Para pemilih Anies Baswedan dinilai cenderung memilih pasangan calon Ridwan Kamil (RK)-Suswono di Pilkada Jakarta 2024. Mengapa demikian?

Siasat Prabowo Medical Check-up Gratis

Presiden terpilih RI, Prabowo Subianto, berencana untuk melakukan kebijakan medical check-up gratis. Siasat apa yang mendasari rencana Prabowo?

More Stories

Politik Hukum Jokowi dan Sejahtera Hakim

Para hakim melakukan “mogok” bertajuk cuti bersama. Mereka menuntut pemerintah menaikkan tunjangan dan gaji yang tidak berubah sejak tahun 2012.

Puan Sudah Siap Ketuai PDIP?

Puan Maharani kembali terpilih sebagai Ketua DPR RI untuk periode 2024-2029. Jika mampu menyelesaikan kepemimpinan hingga tahun 2029, maka Puan akan tercatat sebagai anggota DPR dengan masa jabatan terlama dan memimpin dalam 2 periode.

Mungkinkah Jokowi Seperti Lee Kuan Yew?

Prediksi yang menyebut Jokowi akan tetap punya pengaruh dalam kekuasaan Prabowo Subianto – setidaknya dalam jangka waktu 1 tahun pertama – menjadi pergunjingan yang menarik di kalangan para pengamat politik.