HomeNalar PolitikInikah Akhir Hidup NATO?

Inikah Akhir Hidup NATO?

Kecil Besar

Perbedaan pendapat antara Amerika Serikat (AS) dan negara-negara anggota Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) belakangan terlihat semakin kentara. Apa maknanya?


PinterPolitik.com

Perang antara Ukraina dan Rusia yang dimulai pada tahun 2022 telah memasuki fase yang semakin kompleks. Baru-baru ini, hubungan antara Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan pemerintahan Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump mengalami ketegangan signifikan. 


Trump memutus bantuan militer dan intelijen ke Ukraina, memaksa Zelensky mencari gencatan senjata parsial.
Situasi ini memicu perdebatan internal di Ukraina mengenai kepemimpinan Zelensky. Pertemuan mendatang di Arab Saudi direncanakan untuk membahas hubungan bilateral dan renegosiasi sumber daya mineral.

Sementara itu, para pemimpin pertahanan Inggris dan AS berupaya menjembatani perbedaan terkait rencana perdamaian untuk Ukraina. Keputusan Trump untuk menangguhkan bantuan militer dan intelijen ke Ukraina menuai kritik luas, dengan kekhawatiran dampaknya terhadap situasi di lapangan. 

Eropa berjanji meningkatkan belanja pertahanan dan dukungan ke Ukraina, sementara Trump memperingatkan anggota Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) untuk memenuhi kewajiban belanja pertahanan mereka.

Perbedaan sikap antara AS dan negara-negara Eropa dalam menangani konflik ini lantas menimbulkan pertanyaan: mungkinkah ini awal dari perpecahan NATO?

1741527592353157760269356722735

Era Akhir NATO Sudah Datang?

Perang Ukraina-Rusia telah menyoroti ketegangan internal dalam NATO yang dapat memicu perpecahan aliansi tersebut.

Negara-negara Eropa, terutama yang bergantung pada energi Rusia, menghadapi dilema antara mendukung sanksi terhadap Rusia dan menjaga stabilitas ekonomi domestik mereka. Ketergantungan ini membuat beberapa negara Eropa enggan mengambil sikap keras terhadap Rusia, berbeda dengan Amerika Serikat yang mendorong sanksi lebih berat.

Dalam teori politik, konsep “interdependensi kompleks” mengacu pada hubungan saling ketergantungan antara negara-negara yang dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri mereka. Ketergantungan energi Eropa pada Rusia menciptakan hambatan bagi NATO untuk mengambil tindakan kolektif yang tegas, karena negara-negara anggota memiliki kepentingan nasional yang berbeda. Situasi ini mencerminkan ketegangan antara solidaritas aliansi dan kepentingan nasional, yang dapat mengarah pada disintegrasi jika tidak dikelola dengan baik.

Baca juga :  Bahaya Megawati Bangkang Prabowo?

Selain itu, artikel PinterPolitik berjudul Sudah Saatnya NATO Dimusnahkan? sempat menyoroti bahwa peran NATO dipertanyakan setelah runtuhnya Uni Soviet. Aliansi yang awalnya dibentuk untuk menghadapi ancaman Soviet kini kehilangan musuh utama, dan keberlanjutannya dianggap sebagai pemicu ketegangan baru di Eropa Timur.

Pendapat ini diperkuat oleh pandangan bahwa NATO, alih-alih menjadi penjamin keamanan, justru menjadi alat bagi Amerika Serikat untuk mempertahankan hegemoni globalnya, yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan negara-negara Eropa.

Perbedaan pandangan ini menciptakan friksi internal dalam NATO, di mana beberapa negara anggota merasa kebijakan aliansi lebih menguntungkan Amerika Serikat daripada Eropa. Jika ketegangan ini terus berlanjut tanpa solusi yang memadai, bukan tidak mungkin NATO akan menghadapi perpecahan di masa depan.

Pertanyaan lanjutannya lantas adalah, apakah masih ada alasan untuk mempertahankan eksistensi NATO?

17415276599297856883434005206654

NATO di Era Modern – Antara Relevansi dan Beban

Sejak didirikan pada tahun 1949, NATO berfungsi sebagai aliansi pertahanan kolektif untuk menghadapi ancaman Uni Soviet selama Perang Dingin. Namun, dengan berakhirnya Perang Dingin dan runtuhnya Uni Soviet, relevansi NATO mulai dipertanyakan. Aliansi yang awalnya dibentuk untuk menghadapi ancaman spesifik kini beroperasi tanpa musuh yang jelas, menimbulkan pertanyaan tentang tujuan dan fungsi utamanya di era modern.

Beberapa pihak berpendapat bahwa NATO telah menjadi beban bagi Amerika Serikat. Alih-alih berfungsi sebagai penjamin keamanan transatlantik, NATO dianggap sebagai alat bagi AS untuk mempertahankan dominasinya, seringkali dengan mengorbankan kepentingan negara-negara anggota lainnya. Situasi ini menciptakan ketegangan internal, terutama ketika kebijakan aliansi tidak sejalan dengan kepentingan nasional anggota lainnya.

Selain itu, hubungan antara Amerika Serikat dan Rusia telah mengalami perubahan. Meskipun ketegangan masih ada, terdapat upaya diplomasi dan negosiasi yang menunjukkan bahwa kedua negara dapat bekerja sama dalam isu-isu tertentu. Perubahan dinamika ini menambah alasan untuk mengevaluasi kembali peran NATO. Dalam konteks ini, penting bagi negara-negara anggota NATO untuk mengevaluasi kembali tujuan dan fungsi aliansi ini.

Baca juga :  Era of De-globalization, China?

Apakah NATO masih relevan sebagai aliansi pertahanan kolektif, ataukah perlu direformasi untuk menyesuaikan diri dengan tantangan keamanan abad ke-21? Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab untuk memastikan bahwa aliansi ini tidak menjadi beban, tetapi tetap menjadi penjamin keamanan dan stabilitas bagi anggotanya. (D74)

spot_imgspot_img

#Trending Article

PDIP Terpaksa “Tunduk” Kepada Jokowi?

PDIP melalui Puan Maharani dan Joko Widodo (Jokowi) tampak menunjukan relasi yang baik-baik saja setelah bertemu di agenda Ramadan Partai NasDem kemarin (21/3). Intrik elite PDIP seperti Deddy Sitorus, dengan Jokowi sebelumnya seolah seperti drama semata saat berkaca pada manuver PDIP yang diharapkan menjadi penyeimbang pemerintah tetapi justru bersikap sebaliknya. Lalu, kemana sebenarnya arah politik PDIP? Apakah akhirnya secara tak langsung PDIP akan “tunduk” kepada Jokowi?

The Irreplaceable Luhut B. Pandjaitan? 

Di era kepresidenan Joko Widodo (Jokowi), Luhut Binsar Pandjaitan terlihat jadi orang yang diandalkan untuk jadi komunikator setiap kali ada isu genting. Mungkinkah Presiden Prabowo Subianto juga memerlukan sosok seperti Luhut? 

The Danger Lies in Sri Mulyani?

IHSG anjlok. Sementara APBN defisit hingga Rp31 triliun di awal tahun.

Deddy Corbuzier: the Villain?

Stafsus Kemhan Deddy Corbuzier kembali tuai kontroversi dengan video soal polemik revisi UU TNI. Pertanyaannya kemudian: mengapa Deddy?

Sejauh Mana “Kesucian” Ahok?

Pasca spill memiliki catatan bobrok Pertamina dan dipanggil Kejaksaan Agung untuk bersaksi, “kesucian” Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seolah diuji. Utamanya, terkait pertaruhan apakah dirinya justru seharusnya bertanggung jawab atas skandal dan kasus rasuah perusahaan plat merah tempat di mana dirinya menjadi Komisasis Utama dahulu.

Teror Soros, Nyata atau “Hiperbola”? 

Investor kondang George Soros belakangan ramai dibincangkan di media sosial. Apakah ancaman Soros benar adanya, atau hanya dilebih-lebihkan? 

Begitu Sulit Sri Mulyani

Kementerian Keuangan belum juga memberikan paparan kinerja APBN bulan Januari 2025.

Mitos “Hantu Dwifungsi”, Apa yang Ditakutkan?

Perpanjangan peran dan jabatan prajurit aktif di lini sipil-pemerintahan memantik kritik dan kekhawatiran tersendiri meski telah dibendung sedemikian rupa. Saat ditelaah lebih dalam, angin yang lebih mengarah pada para serdadu pun kiranya tak serta merta membuat mereka dapat dikatakan tepat memperluas peran ke ranah sipil. Mengapa demikian?

More Stories

The Irreplaceable Luhut B. Pandjaitan? 

Di era kepresidenan Joko Widodo (Jokowi), Luhut Binsar Pandjaitan terlihat jadi orang yang diandalkan untuk jadi komunikator setiap kali ada isu genting. Mungkinkah Presiden Prabowo Subianto juga memerlukan sosok seperti Luhut? 

Teror Soros, Nyata atau “Hiperbola”? 

Investor kondang George Soros belakangan ramai dibincangkan di media sosial. Apakah ancaman Soros benar adanya, atau hanya dilebih-lebihkan? 

Tiongkok Pesta Thorium, Bisa Pantik “Perang”? 

Dunia dihebohkan dengan kabar bahwa Tiongkok berhasil menemukan cadangan thorium yang jumlahnya diprediksi bisa menghidupi kebutuhan energi negara tersebut selama 60 ribu tahun. Kira-kira, apa dampak geopolitik dari hal ini?