Dengarkan artikel ini. Audio ini dibuat dengan teknologi AI.
Tidak ada negara adidaya tanpa armada laut yang tangguh—dari Romawi hingga Amerika, lautan selalu jadi panggung kekuasaan dunia. Mengapa laut begitu menentukan?
Dari ribuan tahun sejarah peradaban manusia, satu pola tampak berulang: tidak ada negara adidaya yang bisa bertahan lama tanpa kekuatan armada laut yang tangguh. Kartago di Afrika Utara menyaingi Romawi bukan bukan karena kekuatan tentara daratnya, tetapi karena kekuatan maritimnya di Laut Tengah.
Kekaisaran Romawi sendiri memahami bahwa penguasaan laut adalah kunci dominasi kawasan, bahkan mereka menamakan Laut Tengah sebagai Mare Nostrum — laut kami. Berabad-abad kemudian, Inggris Raya mengukir sejarah sebagai kekaisaran tempat matahari tak pernah terbenam, berkat Royal Navy yang menguasai samudra. Dan hari ini, Amerika Serikat tetap menjadi adidaya global, didukung oleh US Navy yang memiliki kehadiran di hampir setiap lautan dunia.
Sementara itu, negara-negara dengan kekuatan darat luar biasa — seperti Jerman dalam dua perang dunia, atau Rusia dan Tiongkok saat ini — selalu mengalami keterbatasan dalam menjangkau dan mempertahankan pengaruh global karena kelemahan relatif dalam angkatan laut. Bahkan kekuatan ekonomi seperti Uni Eropa tak mampu menandingi kehadiran global AS, meski secara teknologi dan finansial mereka bersaing.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa penguasaan laut selalu menjadi prasyarat adidaya? Dan mengapa negara dengan kekuatan darat besar justru kesulitan menjangkau status yang sama?

Laut sebagai Panggung Kekuasaan Global
Teori geopolitik klasik memberikan dasar kuat untuk memahami pentingnya kekuatan laut dalam menjadikan suatu negara sebagai adidaya. Halford Mackinder, seorang geografer Inggris, mengemukakan Heartland Theory, bahwa siapa pun yang menguasai daratan Eropa Timur dapat menguasai dunia.
Namun teori ini kemudian ditantang oleh Alfred Thayer Mahan, seorang perwira angkatan laut AS, yang dalam The Influence of Sea Power upon History (1890) berargumen bahwa negara-negara yang menguasai lautlah yang justru mendominasi sejarah dunia.
Mahan menunjukkan bahwa kekuatan laut bukan hanya soal peperangan, melainkan kemampuan untuk mengontrol perdagangan global, memproyeksikan kekuatan militer lintas benua, dan menjaga stabilitas kawasan.
Laut memberi keunggulan logistik, fleksibilitas, dan jangkauan strategis yang tak bisa diberikan oleh kekuatan darat semata. Bahkan dalam konteks modern, teori Nicholas Spykman mengenai rimland menekankan pentingnya pesisir dan wilayah maritim sebagai titik strategis utama dalam pengendalian geopolitik.
Secara geostrategis, laut memungkinkan kekuatan militer hadir tanpa harus mendirikan pangkalan darat yang memicu konflik diplomatik. Kapal induk, kapal selam nuklir, dan destroyer modern menjadi simbol kekuatan yang bisa berpindah tanpa batas wilayah negara lain.
Laut juga menyimpan kekayaan alam besar — dari minyak bawah laut, jalur pelayaran, hingga akses ke benua-benua lain — yang semuanya punya nilai politik dan ekonomi tinggi.
Di ranah politik internasional, penguasaan laut juga berarti penguasaan narasi global. Negara dengan armada laut kuat bisa segera menanggapi krisis, memberikan bantuan, atau mengirim sinyal kekuatan yang sulit diabaikan oleh lawan maupun sekutu. Ini membuat mereka bukan hanya pemain, tetapi pengatur panggung geopolitik.
Namun kini kita hidup di era baru. Perang siber, kecerdasan buatan, satelit dan senjata hipersonik membuat panggung pertarungan kekuasaan semakin tak berbentuk. Pertanyaan pun muncul: di dunia yang semakin virtual dan orbital, apakah kekuatan laut masih punya signifikansi sebesar itu?

Bagaimana di Masa Depan?
Meskipun banyak analis geopolitik memprediksi bahwa masa depan akan ditentukan oleh penguasaan ruang siber dan angkasa, lautan tetap menjadi fondasi paling nyata dari dominasi global. Sekitar 90% perdagangan dunia masih berlangsung lewat jalur laut.
Bahkan kabel internet bawah laut — tulang punggung konektivitas digital global — terlindungi oleh kehadiran armada laut negara-negara besar. Laut, dalam konteks ini, menjadi penghubung antara dunia fisik dan dunia digital.
Dalam beberapa dekade ke depan, kemungkinan besar kekuatan maritim masih akan menjadi komponen utama dari status adidaya. Namun tentu saja bentuknya akan beradaptasi. Kapal induk masa depan mungkin akan dilengkapi sistem pertahanan laser, drone bawah laut otonom, atau bahkan kemampuan tempur berbasis kecerdasan buatan. Tapi esensi kekuatan laut tidak berubah: menguasai jalur ekonomi, menjangkau wilayah global, dan mengatur ritme geopolitik dunia.
Negara seperti Tiongkok menyadari hal ini dan tengah membangun kekuatan maritim yang belum pernah mereka miliki dalam sejarah, mulai dari ekspansi armada AL hingga pembangunan pulau-pulau buatan di Laut Cina Selatan. AS pun terus mempertahankan keunggulannya melalui modernisasi US Navy dan kehadiran globalnya. Dengan demikian, kekuatan laut bukan hanya soal kapal dan rudal, tapi tentang siapa yang bisa mengatur lalu lintas global — fisik maupun digital.
Dan selama dunia tetap bergantung pada laut untuk mengalirkan ekonomi dan teknologi, maka siapa pun yang menguasai laut, masih akan menguasai dunia. (D74)