Dengarkan artikel ini:
Pembangunan pabrik BYD di Subang disebut-sebut terkendala akibat premanisme. Sementara LG “kabur” dari investasinya di Indonesia karena masalah “lingkungan investasi”. Banyak yang kemudian menyebutkan bahwa premanisme telah mengakar sangat dalam di Indonesia dan cenderung merugikan negara. Benarkah demikian?
Pada mulanya, Indonesia diimpikan sebagai surganya investasi. Di tengah kompetisi kawasan Asia Tenggara yang makin sengit, kita menawarkan apa yang tak dimiliki banyak negara lain: populasi besar, sumber daya alam melimpah, bonus demografi, dan kekayaan mineral strategis untuk energi hijau. Tapi di balik janji-janji itu, ada realitas yang belakangan ini menyengat telinga investor—dan menyengat wajah bangsa sendiri.
Ketika perusahaan raksasa mobil listrik asal Tiongkok, BYD, memutuskan membangun pabrik di Subang, seharusnya itu menjadi kabar baik. Tapi kabar itu berubah getir ketika proyek strategis itu justru terganjal oleh ormas lokal. Alat berat ditahan. Pekerjaan tertunda. Biaya membengkak. Wakil Ketua MPR Eddy Soeparno, dalam sebuah pernyataan, menyebut langsung istilah yang selama ini hanya dibicarakan di ruang-ruang tertutup: “premanisme.”
Kita tak bicara soal tukang parkir liar atau juru pungut di terminal. Yang dimaksud premanisme di sini adalah operasi sistematis, terorganisir, dan—yang paling menyedihkan—terlegitimasi. Mereka datang membawa bendera ormas, menjual jasa keamanan, memaksa perusahaan menggunakan tenaga kerja dari kelompok mereka, bahkan kadang memungut semacam “pajak sosial.” Dalam banyak kasus, mereka lebih ditakuti dari pada aparat hukum.
Dan ini bukan cerita satu-satunya.
LG Energy Solution, investor Korea Selatan yang semula berkomitmen investasi senilai Rp130 triliun untuk industri baterai kendaraan listrik, diam-diam hengkang dari Indonesia. Alasan resmi mereka diplomatis: mempertimbangkan kondisi pasar. Tapi siapa pun yang membaca situasi lapangan tahu, itu adalah isyarat bahwa iklim bisnis di negeri ini terlalu tak pasti—terlalu liar untuk ukuran korporasi multinasional.
Sementara itu, negara tetangga seperti Vietnam justru menyambut gelombang investasi besar: dari LEGO hingga Apple, dari Samsung hingga Hyundai. Bukan karena mereka lebih kaya sumber daya. Tapi karena satu hal: ketertiban. Di sana, tak ada ormas yang bisa menahan alat berat atau memalak investor atas nama “kearifan lokal.”
Benarkah kita sudah terlalu tunduk pada premanisme?
Thugocracy: Benarkah Ada?
Fenomena ini bukan sekadar cerita tentang satu-dua ormas nakal. Ini adalah gejala sistemik. Sebuah tanda bahwa Indonesia sedang menuju bentuk pemerintahan bayangan yang oleh sebagian akademisi disebut sebagai thugocracy—sebuah negara yang dalam praktiknya dikendalikan oleh kekuatan informal, aktor non-negara, para preman berseragam yang memiliki akses politik. Istilah ini gabungan dari kata thug dan cracy sebagai entitas pemerintahan.
Mereka hadir bukan karena negara kuat. Justru sebaliknya, mereka mengisi ruang-ruang kosong yang ditinggalkan oleh negara: keamanan yang tak hadir, birokrasi yang rapuh, dan hukum yang bisa dinegosiasi. Ini bukan hanya kegagalan teknis. Ini adalah pengkhianatan terhadap konsep dasar negara modern.
Max Weber, dalam salah satu pemikirannya, menyebut negara sebagai entitas yang memiliki monopoli atas kekerasan yang sah. Tapi di Indonesia, kekerasan sudah menjadi komoditas. Premanisme adalah bisnis. Mereka yang bisa “mengamankan proyek” lebih punya posisi tawar daripada mereka yang sekadar menegakkan hukum. Bahkan, dalam beberapa kasus, aparat pun bernegosiasi dengan mereka.
Dalam konteks ini, ormas bukan lagi organisasi sipil. Mereka telah berevolusi menjadi aktor kuasi-negara yang menjalankan fungsi—dan sering kali melampaui—kewenangan aparat resmi. Mereka menciptakan hukum sendiri, menentukan siapa yang boleh bekerja di sebuah proyek, bahkan siapa yang boleh masuk ke sebuah kawasan industri.
Pertanyaan besarnya: bagaimana ini bisa terjadi?
Jawabannya salah satunya ada pada politik elektoral yang transaksional. Dalam setiap siklus Pilkada atau Pemilu, ormas-ormas ini menjadi komoditas penting. Mereka punya massa. Mereka bisa memobilisasi. Mereka bisa “mengamankan kampanye” atau bahkan “menekan lawan.” Para kandidat pun, sadar atau tidak, berutang budi kepada mereka. Dan setelah menang, utang itu harus dibayar.
Inilah yang membentuk simbiosis gelap antara kekuasaan dan kekuatan informal. Negara tak bisa—atau tak mau—menindak mereka, karena mereka adalah bagian dari jaringan kekuasaan itu sendiri. Premanisme jadi kebal hukum, justru karena mereka dekat dengan pusat kekuasaan.
Yang lebih mengerikan, publik pun mulai terbiasa. Premanisme dianggap sebagai “biaya sosial” yang harus diterima dalam setiap proyek. Para kontraktor lokal sudah mengalokasikan dana untuk ormas dalam setiap perhitungan anggaran. Investor asing pun—jika nekat bertahan—terpaksa memakai jalur informal ini agar proyeknya bisa jalan.
Dalam jangka panjang, ini adalah racun. Iklim investasi menjadi rusak. Biaya ekonomi meningkat. Dan kepercayaan terhadap negara menurun.
Prabowo Harus Apa?
Pemerintahan Prabowo Subianto kini menghadapi dilema besar. Di satu sisi, ia punya ambisi besar untuk menjadikan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi global. Tapi di sisi lain, ia mewarisi republik yang telah dikuasai oleh jejaring informal yang sulit disentuh hukum.
Jika Prabowo ingin membuktikan bahwa ia bukan hanya pemimpin simbolik, maka inilah ujian pertamanya. Ia harus memilih: melindungi status quo yang membesarkannya, atau memukul balik para preman yang menggerogoti republik ini dari dalam.
Langkah pertamanya tak harus spektakuler. Cukup dengan satu kasus: bersihkan proyek BYD dari gangguan ormas, proses hukum para pelakunya, dan pastikan bahwa aparat penegak hukum tak bermain dua kaki. Jika itu berhasil, itu akan menjadi pesan keras: era premanisme telah berakhir.
Tapi itu saja tak cukup.
Negara harus mengembalikan makna ormas ke fungsinya semula: ruang partisipasi sipil, bukan alat pemerasan. Perlu revisi serius terhadap regulasi ormas. Bukan sekadar menertibkan administratif, tapi membatasi ruang gerak mereka dalam kegiatan ekonomi. Negara harus berani memutus mata rantai antara ormas dan proyek-proyek negara.
Dan yang tak kalah penting, publik harus mulai dilibatkan dalam kampanye kesadaran: bahwa premanisme bukan tradisi, bukan kearifan lokal, dan bukan sesuatu yang patut ditoleransi. Di era digital ini, tekanan publik bisa menjadi kekuatan politik. Viralkan kasusnya. Buka data-datanya. Bongkar relasinya.
Sejarah menunjukkan bahwa negara bisa bangkit dari cengkeraman kekuatan informal. Italia pernah dibungkam oleh mafia, hingga negara—di bawah Giovanni Falcone dan Paolo Borsellino—bangkit melawan. Kolombia pernah dikuasai kartel narkoba, tapi publik dan negara akhirnya memenangkan pertempuran panjang.
Indonesia pun bisa. Tapi itu hanya mungkin jika negara berani mengakui bahwa musuhnya bukan hanya kemiskinan atau korupsi—tapi juga premanisme yang terstruktur, sistematis, dan mendapat tempat di dalam sistem.
Jika tidak, maka jangan heran jika satu per satu investor meninggalkan republik ini. Bukan karena pajak tinggi. Tapi karena negeri ini tak lagi bisa membedakan mana negara, mana preman.
Dan saat itu terjadi, kita tak lagi hidup dalam demokrasi. Kita hidup dalam thugocracy—republik para preman. Semoga itu tidak terjadi. (S13)