HomeNalar PolitikIndonesia Terancam Isme-isme?

Indonesia Terancam Isme-isme?

“Ideologi hebat akan menciptakan masa-masa yang hebat pula.” ~ Kim Jong Il


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]I[/dropcap]ndonesia dalam ancaman! Topik itulah yang kerap kali dibahas diberbagai seminar, diskusi, dan sejenisnya. Hingar bingar perpolitikan dan dinamika masyarakat dalam negeri, selalu disertai dengan pembahasan mengenai “isme-isme” yang mungkin menjadi ancaman bagi ideologi bangsa, Pancasila. Salah satu yang baru saja digelar adalah seminar mengenai “Pancasila Sebagai Pandangan Hidup” yang digelar di Jakarta, Selasa (19/9) lalu.

Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Franz Magnis-Suseno, mengatakan kalau kemajemukan bangsa terancam mengalami disintegrasi akibat munculnya ideologi populisme. ‘Isme’ ini kerap dimaknai dengan pemisahan masyarakat dalam dua kelompok, yaitu rakyat kebanyakan dan para petinggi yang diposisikan sebagai musuh rakyat. Mengapa? Karena egoisme dikalangan elit dapat memecah belah bangsa, salah satu contohnya adalah timbulnya radikalisme rakyat yang dipicu oleh para politikus.

Namun selain populisme dan radikalisme, belakangan ini banyak juga berembus ‘isme’ lain yang diduga ikut menjadi ancaman bangsa, yaitu neoliberalisme (neolib) serta komunisme. Sama halnya dengan populisme, kedua ‘isme’ ini juga dapat menciptakan perpecahan. Terutama komunisme, karena sudah menjadi momok bangsa berpuluh tahun lamanya. Terbukti, belakangan isu komunisme masih menciptakan pertikaian, baik antar masyarakat maupun rakyat dengan aparat.

Indonesia Diancam Isme-isme

Mengapa isme-isme ini mampu mengganggu dan mengancam keutuhan bangsa? Sebagai negara yang dibangun bersama dengan darah dan airmata, sejak awal Indonesia sudah menetapkan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Namun dengan hadirnya berbagai ancaman ini, apakah mengindikasikan kalau Pancasila sudah mulai ditinggalkan dan tidak sakti lagi? Bila benar, mengapa hal ini bisa terjadi? Bukankah untuk menjadi bangsa yang besar, kita seharusnya mampu mempertahankan jati diri?

Isme dan Ideologi Negara

“Setiap tipe ideologi politik biasanya akan memiliki banyak variasi berbeda di dalamnya.” ~ John Mackey

Sebagai seorang filsuf dan cendekia, Antoine Destutt de Tracy dari Prancis, merupakan orang pertama yang mengungkapkan istilah ideologi di tahun 1796. Kata yang diambil dari Bahasa Yunani tersebut, terdiri dari “idea” (ide) dan “logy” (ilmu). Sehingga ideologi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang terdiri dari gabungan beberapa ide atau pemikiran. Tracy juga memaknai ideologi sebagai sistem metafisis yang terdiri dari kebiasaan-kebiasaan atau kesepakatan masyarakat dalam bernegara.

Baca juga :  Biden ‘Setengah Hati’ Selamati Prabowo?

Walau awalnya istilah ini dianggap konyol oleh Napoleon Bonaparte, namun Tracy membuktikan kalau ideologi diperlukan sebagai pandangan hidup dalam bermasyarakat dan bernegara. Apalagi di setiap perubahan zaman, selalu muncul ide-ide atau pemikiran baru dari para tokoh yang memiliki karisma dan pengaruh di masyarakat. Ketika ide para tokoh tersebut timbul menjadi suatu konsep yang kemudian sama-sama dicari dan diterapkan oleh masyarakat, maka pemikiran itu pun dapat disebut sebagai ‘isme’.

Jadi sederhananya, ideologi terdiri dari beberapa isme yang disepakati oleh masyarakat sebagai pandangan hidup dalam bernegara. Karena berisi gabungan isme, maka tidak mengherankan bila ideologi suatu negara dapat berubah seiring perkembangan zaman. Terutama bila ada isme baru yang dianggap lebih cocok dan sesuai dengan kehidupan bernegara oleh masyarakatnya. Karena itu, ideologi sebenarnya dapat juga bersifat dinamis, tergantung dari kesepakatan antara rakyat dan pemerintahannya.

Indonesia sendiri, sejak persiapan kemerdekaan, para pendiri bangsa sudah menyetujui Pancasila sebagai ideologi negara. Di dalamnya pun terdapat isme-isme yang disepakati oleh para tokoh bangsa yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Walau istilah Pancasila diungkapkan pertama kali oleh Bung Karno, namun kelima sila di dalamnya merupakan hasil kesepakatan bersama dan disetujui sebagai panduan bagi bangsa Indonesia dalam bernegara.

Pancasila memiliki isme unik yang tidak dimiliki negara lain. Selain sebagai negara berketuhanan, Indonesia juga menjunjung tinggi kemajemukan (pluralisme) serta demokrasi kerakyatan berbasis gotong royong. Sehingga walau memiliki banyak suku, Pancasila mampu menyatukan dan memperkuat rasa saling sepenanggungan. Jadi bila ada isme lain yang bertentangan akan dilihat sebagai ancaman, bukan hanya bagi ideologi negara tapi juga kesatuan dan persatuan bangsa.

Pancasila, Tameng Ancaman Isme

“Ideologi punya sedikit andil dalam tindakan ‘sadar’ – karena biasanya selalu berada di dalam bawah sadar.” ~ Louis Althusser

Sebagai pandangan hidup dalam bermasyarakat dan bernegara, ideologi sudah selayaknya terpatri disetiap tindakan dan ucapan masyarakatnya. Bahkan, menurut filsuf Prancis Louis Althusser, seharusnya sudah tersimpan di dalam bawah sadar setiap rakyat. Begitu juga dengan Pancasila, sebagai ideologi bangsa, sudah seharusnya semua tindak tanduk pemerintah dan masyarakat mencerminkan sila-sila yang terkandung di dalamnya – baik sadar maupun tidak sadar.

Baca juga :  Strategi Prabowo Imbangi Pengaruh Jokowi di KIM?

Sebagai ideologi terbuka, Pancasila umumnya tidak terganggu dengan masuknya isme lain. Misalnya ketika Soeharto menggunakan paham kapitalisme sebagai modal pembangunan. Paham perekonomian yang memungkinkan pemilik swasta mengendalikan dan mengambil keuntungan dari perdagangan, industri, dan alat-alat produksi ini, tidak mendapat penolakan berarti dari masyarakat. Kenapa? Karena pemilik modal, dalam hal ini pengusaha dan rakyat umum dapat meraih keuntungan sebesar-besarnya.

Namun tidak sama ketika Bung Karno berupaya mengakomodir paham komunisme. Isme yang ide pemikirannya dicetuskan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels ini, pada akhirnya menimbulkan penolakan karena bertentangan dengan nilai-nilai bangsa. Walau Indonesia memiliki sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat, namun paham komunisme yang bertujuan menciptakan masyarakat tanpa kelas dengan melenyapkan kelas sosial secara brutal, memicu radikalisme berdarah yang menyakitkan sepanjang sejarah.

Begitu pun ketika pemerintah mulai terpengaruh dengan paham neolib yang lebih mengutamakan perekonomian dengan menghilangkan peran negara sama sekali, masyarakat mulai resah. Lepasnya peran pemerintah di sektor-sektor vital kehidupan, tentu bertentangan dengan undang-undang dasar (UUD) 1945. Ketika semua kebutuhan dasar hidup berada di tangan swasta dan asing, ini sama saja menghilangkan ekonomi kerakyatan yang seharusnya dijunjung tinggi negara.

Walau tidak menimbulkan pergolakan berarti, namun perekonomian yang tidak seimbang ini lambat laun juga menghasilkan isme lain, yaitu populisme. Lepasnya peran pemerintah pada perekonomian rakyat, menciptakan kekuasaan yang besar bagi para pemilik modal dan pihak asing. Masyarakat yang perekonomiannya tergantung dengan mereka, pada akhirnya menjadi alat ampuh untuk mengusik pemerintahan. Di sinilah posisi Indonesia saat ini, berdasarkan radikalisme yang terjadi belakangan ini.

Maraknya benturan di masyarakat yang dipicu oleh adanya isu SARA akhir-akhir ini, juga disinyalir sengaja disebar untuk kepentingan-kepentingan bisnis. Adu kekuatan di bidang politik pun, umumnya juga memiliki agenda yang sama. Semua ujung-ujungnya duit dan bagi-bagi proyek, walaupun harus membenturkan antara masyarakat dengan pemerintah. Bila begini kenyataannya, apakah masih dapat dikatakan bahwa isme yang menjadi ancaman? Siapa sebenarnya yang telah melupakan Pancasila di alam bawah sadarnya? Mungkin kita semua harus mulai berkaca. (R24)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Informasi Bias, Pilpres Membosankan

Jelang kampanye, pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oposisi cenderung kurang bervarisi. Benarkah oposisi kekurangan bahan serangan? PinterPolitik.com Jelang dimulainya masa kampanye Pemilihan Presiden 2019 yang akan dimulai tanggal...

Galang Avengers, Jokowi Lawan Thanos

Di pertemuan World Economic Forum, Jokowi mengibaratkan krisis global layaknya serangan Thanos di film Avengers: Infinity Wars. Mampukah ASEAN menjadi Avengers? PinterPolitik.com Pidato Presiden Joko Widodo...

Jokowi Rebut Millenial Influencer

Besarnya jumlah pemilih millenial di Pilpres 2019, diantisipasi Jokowi tak hanya melalui citra pemimpin muda, tapi juga pendekatan ke tokoh-tokoh muda berpengaruh. PinterPolitik.com Lawatan Presiden Joko...