Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Intrik anggota DPR Verrell Bramasta dalam kebijakan mengirim anak nakal ke barak memantik interpretasi yang cenderung positif terhadap kiprah politiknya kelak. Bahkan, bukan tidak mungkin menapaki karier tertinggi jika Verrell mampu konsisten dan kian elegan berpolitik. Mengapa demikian?
Anggota DPR RI dari Fraksi PAN dan “fraksi artis” Verrell Bramasta, melontarkan penyampaian aspirasi terbuka yang sangat menarik terhadap kebijakan Gubernur Jawa Barat soal mengirim anak nakal ke barak.
Bermuara saling sahut dengan Bupati Purwakarta, Saepul Bahri Binzen atau Om Zein, angin justru seolah mengarah pada Verrell karena apa yang disampaikannya dikatakan tak tendensius dan justru bagian dari diskursus konstruktif.
Dalam pernyataannya di media sosial, Verrell tidak hanya mengemukakan aspirasi masyarakat atas keberatan terhadap pendekatan koersif dalam menyelesaikan persoalan anak-anak dan masalah sosial, tetapi juga menyisipkan gagasan normatif soal etika pejabat publik.
Bahkan, nada yang dikategorikan sebagai “ulti” Verrell untuk pola saling sindir dan tantang yang muncul kemudian dari Bupati Om Zein.
“Kalau tidak mau dikritik, merasa selalu paling benar, tidak usah jadi pejabat,” ujar Verrell dengan nada yang lugas namun sarat pesan politik di unggahan Instagram storynya pada 11 Mei 2025.
Dalam politik, intrik ini tidak bisa dibaca sebagai respons dan aksi-reaksi biasa, melainkan sebagai “intervensi diskursif” yang mencerminkan pergeseran fungsi anggota DPR dari sekadar pelengkap demokrasi prosedural menjadi pengawal moral dari praktik kekuasaan di lapangan. Tentu, konteks ini berada dalam ranah ideal.
Intrik tersebut sekaligus membuka interpretasi bahwa andai terus konsisten mengaktualisasikan praktik politik elegan, bisa saja Verrell akan diperhitungkan dan diberikan ruang oleh para elite senior agar dapat berkiprah di level yang lebih tinggi.
“Titisan Messi”?
Sebagai anggota DPR, Verrell tampaknya sedang menulis ulang narasi tentang stigma terhadap fungsi wakil rakyat, terutama yang berasal dari kalangan artis.
Dalam beberapa kesempatan yang tepat, Verrel seolah menampilkan bahwa dirinya tidak menanti rapat resmi, tapi langsung “turun tangan” di ruang publik, menjadikan kritik sebagai performative act politik yang mengundang reaksi sekaligus proyeksi.
Fenomena Verrell tentu tidak bisa dilepaskan dari konsep celebrity politics, di mana tokoh publik dari dunia hiburan masuk ke ruang politik dan menggunakan modal simbolik mereka untuk mengartikulasikan persoalan publik. Hanya saja, banyak artis yang dianggap “gabut”, terutama setelah menjadi anggota DPR.
Di satu sisi, ia membawa modal sosial sebagai artis, popularitas, kemampuan public speaking, dan engagement yang tinggi di media sosial. Termasuk, variabel hallo effect dari personalitasnya sebagai figur publik muda kekinian.
Dengan pengikut lebih dari 28 juta di Instagram, Verrell memiliki “kapasitas jangkauan” (reach capacity) yang bahkan melebihi sebagian besar politisi senior di negeri ini.
Namun, di sisi lain, keberanian menyuarakan kritik substantif pada isu sensitif seperti penanganan anak-anak bermasalah justru menunjukkan bahwa ia tidak sekadar bermain di permukaan.
Verrell menyiratkan bahwa sikapnya adalah bentuk aspirasi dari konstituen yang konstruktif tanpa tendensi minor. Pernyataan ini menjadi penting, sebab menegaskan intensi untuk tidak asal nyinyir, sebuah label yang kerap diarahkan kepada segelintir aktor politik yang dianggap kerap tidak paham substansi.
Sikap Verrell kemudian seakan membantah stigma tersebut secara empirik dan simbolik. Dalam konteks ini, teori Pierre Bourdieu mengenai modal sosial dan simbolik kiranya relevan digunakan. Verrell mengkonversi modal simbolik dari ketenarannya menjadi legitimasi moral untuk mengoreksi kebijakan.
Ketika masyarakat (terutama anak muda) melihat dirinya menyuarakan keberatan terhadap pendekatan koersif terhadap anak-anak, politisi muda PAN itu seolah sedang mengisi kekosongan perwakilan yang selama ini dirasa jauh dari rakyat.
Namun, hal tersebut bukan tanpa risiko. Politik performatif yang ditampilkan Verrel seringkali menghadapi tuduhan simplifikasi masalah. Tentu, tantangannya adalah menjaga kesinambungan antara gagasan dan aksi, antara performa dan kinerja.
Hal itu dikarenakan, andai Verrell berhasil mengimplementasikannya, masa depan PAN kiranya juga akan cerah. Benarkah demikian?

Pengaruh Masa Depan PAN?
Dengan dinamika yang bergulir hingga detik ini, pertanyaan krusial yang muncul kemudian adalah, ke mana arah politik seorang Verrell Bramasta? Apakah ini hanya langkah taktis sesaat sebagai politisi yang wait and see mengenai reelection-nya, atau bagian dari strategi jangka panjang yang mengindikasikan reposisi PAN dan pergeseran konstelasi elektoral partai politik di Indonesia?
Dalam konteks PAN, sosok Verrell kiranya menawarkan narasi baru, yakni politik yang relatable, inklusif, dan tidak kaku oleh jargon lama. PAN, yang selama ini kerap berada di bayang-bayang tokoh senior dan elit konservatif serta kiprah artis yang kurang efektif, memiliki peluang untuk membangun ulang basis elektoral melalui figur-figur muda dengan daya tarik luas.
Jika menggunakan pendekatan marketing politik, bagi PAN kemungkinan Verrell adalah market-oriented politician yang menyerap aspirasi, memahami bahasa publik, dan menyesuaikannya dengan narasi politik yang dapat diterima massa.
Verrell dinilai tahu kapan harus berbicara, tahu siapa audiensnya, dan mengerti platform apa yang paling efektif untuk menyuarakan gagasan maupun aspirasinya.
Dengan semua ini, Verrell tampaknya memiliki semua prasyarat elektoral yang dibutuhkan untuk maju ke level lebih tinggi, yakni modal sosial berupa Kedekatan dengan pemilih muda dan warga urban, modal simbolik berupa reputasi sebagai figur publik yang memiliki rekam jejak positif, modal komunikatif berupa public speaking yang terlatih dan responsif terhadap opini publik, serta modal media berupa jejaring digital yang luas, terutama di kalangan Gen Z dan milenial sebagai basis pemilih terbesar di kontestasi elektoral kelak.
Namun detik ini, semua modal itu hanya menjadi potensi, bukan jaminan. Untuk menjadikannya “kekuatan elektoral” yang riil, Verrell harus menampilkan kesinambungan performa politik, bukan sekadar sesekali tampil menonjol.
Andai memutuskan konsisten dan ingin berkiprah atau mengabdi lebih di dunia politik, Verrell kiranya perlu menunjukkan kemampuan legislasi, keberpihakan yang konsisten pada isu-isu rakyat, serta koherensi dalam mengambil sikap politik yang tidak hanya populis, tapi juga etis.
Verrell tentu bukan politisi konvensional, dan justru karena itu, dirinya berpotensi mengisi ruang yang tidak bisa dijangkau oleh politisi lama atau politisi artis generasi lama.
Keberaniannya menyampaikan aspirasi dan gagasan kritis seperti barak untuk anak bermasalah bukan hanya soal substansi isu, tapi juga tentang redefinisi peran wakil rakyat di tengah masyarakat yang jenuh pada politik elitis yang kadang terlalu “ngadi-ngadi”.
Di tengah stagnasi partai-partai dalam menjawab tantangan zaman, figur seperti Verrell bisa menjadi katalis perubahan jika konsisten. PAN sendiri bisa membaca ini sebagai peluang untuk reposisi, dari partai yang berasosiasi dengan elit konservatif menjadi partai transformatif yang ramah pada kaum muda, urban, dan progresif.
Namun demikian, politik bukan sekadar panggung satu kali. Ia adalah proses panjang penuh evaluasi. Tantangan bagi Verrell adalah keluar dari jebakan politik gaya dan naik kelas menjadi pelaku politik gagasan, bahkan hingga ke level tertinggi.
Di masa ketika rakyat merindukan keterhubungan dan ketulusan dari politisinya, Verrell punya peluang besar.
Tapi peluang saja tidak cukup. Putri Venna Melinda itu kiranya harus terus menulis cerita yang bukan hanya dengan kata, tapi juga dengan kebijakan, keberpihakan, dan keberanian yang konsisten.
Seperti kutipan terkenal Niccolo Machiavelli, “a prince must learn how not to be good,” tetapi mungkin Verrell sedang membuktikan bahwa di zaman sekarang, politisi yang berani terlihat baik dan bertindak benar justru adalah mereka yang akan menang. Dan tentu itu yang diharapkan, kendati dalam derajat tertentu kiranya terlalu naif. (J61)