HomeNalar PolitikGibran Hanya Umpan Jokowi?

Gibran Hanya Umpan Jokowi?

Kecil Besar

Tidak dipungkiri dalam beberapa waktu terakhir polemik gugatan batas usia calon presiden (capres) di Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi topik yang dibicarakan seluruh lapisan masyarakat. Kira-kira ada motif politik apa yang tersimpan di baliknya? 


PinterPolitik.com 

Dalam beberapa minggu terakhir, Mahkamah Konstitusi (MK) sepertinya jadi lembaga negara yang paling banyak diperbincangkan. Iyess, gugatan batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dari yang minimal 40 tahun menjadi 35 tahun ,berhasil menarik perhatian seluruh masyarakat Indonesia ke kantor MK yang terletak di Jalan Medan Merdeka, Jakarta tersebut. 

MK memang telah menolak usulan usia minimum dari 40 tahun menjadi 35-40 tahun. Namun menariknya, di hari yang sama MK juga mengabulkan gugatan bahwa orang yang pernah menjadi kepala daerah bisa menjadi capres atau cawapres meski di bawah 40 tahun.  

Putusan ini sontak mendapat beragam kritik negatif dari warganet, karena secara tidak langsung telah membuka jalan bagi anak sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka -yang berusia 36 tahun- untuk menjadi capres atau cawapres. Bahkan, media internasional seperti South China Morning Post pun turut menyoroti hal ini, dengan menyebut putusan yang diputuskan MK tersebut berpotensi mencoreng nilai demokrasi.  

Namun, ada satu hal menarik yang bisa kita perhatikan dari dinamika politik ini. Sebagai keluarga pejabat tinggi, Jokowi dan Gibran kemungkinan besar sebetulnya memahami gelombang negatif yang sedang terarah kepada mereka pasca putusan MK.  

Tapi, kalau memang mereka sadar akan hal itu, tentu menarik untuk kita pertanyakan, apakah sentimen negatif ini adalah “kecelakaan”? Atau jangan-jangan justru ini hanya menjadi salah satu keping dari desain politik besar Jokowi? 

infografis bahayanya gaya berpolitik jokowi

Jokowi Tidak Boleh Kita Remehkan? 

Kanal YouTube Akbar Faizal Uncensored merilis video podcast pada tanggal 30 September yang lalu. Dalam video berjudul MENIT AKHIR KONSTELASI POLITIK “MENUNGGU UJUNG PERMAINAN TEPI JURANG JOKOWI, Ketua Majelis Pertimbangan PPP, Muhammad Romahurmuziy (Romy), membagikan pandangan menariknya mengenai gaya berpolitik Jokowi. 

Baca juga :  Sejauh Mana “Kesucian” Ahok?

Romy mengatakan bahwa ada tiga ciri khas gaya permainan politik Jokowi. Pertama, Jokowi adalah tipe politisi yang suka menjadi sutradara, penulis skenario, tetapi juga sekaligus senang memainkan peran sebagai pemain dari skripnya sendiri. Dengan kebiasaan yang demikian, Romy menyebut mungkin hampir tidak ada kesalahan dari desain politik yang dibuat dan dijalankan Jokowi, karena ia mengenal skripnya sendiri. 

Kedua, Romy menyebut Jokowi sering membuat narasi yang tidak jarang membuat publik keliru. Ibarat mengendarai kendaraan di jalan, Jokowi terkadang terlihat sedang menyalakan sein (lampu) ke arah kiri, tapi ia tiba-tiba malah belok kanan. Ini artinya, kata Romy, kita tidak boleh melihat langkah-langkah politik Jokowi sebagai fragmen-fragmen yang terpisah, karena semua yang ia lakukan sesungguhnya merupakan bagian dari rangkaian yang utuh, dengan tujuan yang jelas. 

Ketiga, Jokowi menurut Romy juga sangat senang sekali bermain politik di “tepi-tepi jurang”. Kalau kita coba interpretasikan, tidak jarang memang Jokowi sering berada dalam pusaran topik-topik yang kontroversial, seperti wacana tiga periode, sampai wacana Gibran menjadi cawapres. Oleh karena itu, menurut Romy, banyak orang yang akhirnya tertipu oleh permainan politik Jokowi, entah itu karena kebencian, atau ketakutan. Padahal, tujuan Jokowi sebenarnya mungkin sangat berbeda dengan narasi yang ada di dalam masyarakat. 

Dari ketiga ciri khas gaya politik Jokowi tadi, mungkin kita bisa mencurigai bahwa di balik huru-hara di MK beberapa hari lalu, diskursus soal Gibran yang berpotensi menjadi cawapres barangkali bukan tujuan utama dari desain politik yang sedang bermain. Dengan embel-embel demokrasi, seluruh lapisan masyarakat Indonesia seakan melihat keributan kemarin sebagai wanti-wanti penurunan nilai demokrasi. 

Padahal, Gibran sendiri diketahui tidak membuat Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), tidak seperti bacawapres-bacawapres lainnya seperti Erick Thohir atau Yusril Ihza Mahendra. Ini jadi indikasi bahwa mungkin kekhawatiran publik terkait bayangan politik dinasti Jokowi mungkin hanya paranoia belaka. 

Baca juga :  Apocalypse Now Prabowo: Sritex dan Tritum Konfusianisme

Bila memang demikian, pertanyaan selanjutnya adalah, mungkinkah sedang ada skenario politik lain yang berjalan di belakang gonjang-ganjing batas usia cawapres? 

image 8

Gibran Hanya Pancingan? 

Kalau kita coba raba-raba, kemungkinan ada dua motif politik lain yang berjalan di balik keributan soal gugatan usia capres-cawapres. 

Pertama, bisa jadi ini adalah momentum puncak bagi Gibran dan mungkin keluarga Jokowi secara keseluruhan, untuk membuat citra positif di publik dengan sangat baik. Dengan terbukanya jalan lebar bagi Gibran untuk maju sebagai cawapres, tapi Gibran malah menolak tawaran, kritikan negatif yang sekarang menyebar bisa diprediksi akan berbalik menjadi apresiasi yang sangat positif.  

Kedua, mungkin juga persoalan di MK kemarin adalah bagian dari taktik umpan politik. Dengan membuat publik dan seluruh partai politik (parpol) merasa tidak pasti akan terjunnya Gibran ke bursa Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024), mereka secara otomatis akan mengambil sikap preemptive (pencegahan). Hal ini sepertinya kemudian termanifestasi menjadi pengumuman Mahfud MD sebagai cawapres Ganjar Pranowo. 

Singkatnya, obrolan panas soal Gibran menjadi semacam umpan untuk mendorong pihak tertentu mengeluarkan kartunya. Namun, bila benar demikian, tentu pertanyaannya adalah, siapa yang diuntungkan? Well, untuk sementara bisa saja hal ini menguntungkan pihak kubu Prabowo Subianto. 

Dengan mengetahui terlebih dahulu siapa-siapa saja lawannya, Prabowo akan lebih hati-hati dalam memilih bacawapresnya. Mungkin, karena harus menghadapi powerhouse ahli hukum (Mahfud), Prabowo akhirnya condong untuk memilih Yusril Ihza Mahendra sebagai lawannya, yang juga sesama ahli hukum. 

Tetapi, pada akhirnya tentu ini semua hanya asumsi belaka. Yang jelas, dalam beberapa hari ke depan dinamika politik Indonesia akan semakin menarik untuk kita perhatikan. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

PDIP Terpaksa “Tunduk” Kepada Jokowi?

PDIP melalui Puan Maharani dan Joko Widodo (Jokowi) tampak menunjukan relasi yang baik-baik saja setelah bertemu di agenda Ramadan Partai NasDem kemarin (21/3). Intrik elite PDIP seperti Deddy Sitorus, dengan Jokowi sebelumnya seolah seperti drama semata saat berkaca pada manuver PDIP yang diharapkan menjadi penyeimbang pemerintah tetapi justru bersikap sebaliknya. Lalu, kemana sebenarnya arah politik PDIP? Apakah akhirnya secara tak langsung PDIP akan “tunduk” kepada Jokowi?

The Irreplaceable Luhut B. Pandjaitan? 

Di era kepresidenan Joko Widodo (Jokowi), Luhut Binsar Pandjaitan terlihat jadi orang yang diandalkan untuk jadi komunikator setiap kali ada isu genting. Mungkinkah Presiden Prabowo Subianto juga memerlukan sosok seperti Luhut? 

The Danger Lies in Sri Mulyani?

IHSG anjlok. Sementara APBN defisit hingga Rp31 triliun di awal tahun.

Deddy Corbuzier: the Villain?

Stafsus Kemhan Deddy Corbuzier kembali tuai kontroversi dengan video soal polemik revisi UU TNI. Pertanyaannya kemudian: mengapa Deddy?

Sejauh Mana “Kesucian” Ahok?

Pasca spill memiliki catatan bobrok Pertamina dan dipanggil Kejaksaan Agung untuk bersaksi, “kesucian” Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seolah diuji. Utamanya, terkait pertaruhan apakah dirinya justru seharusnya bertanggung jawab atas skandal dan kasus rasuah perusahaan plat merah tempat di mana dirinya menjadi Komisasis Utama dahulu.

Teror Soros, Nyata atau “Hiperbola”? 

Investor kondang George Soros belakangan ramai dibincangkan di media sosial. Apakah ancaman Soros benar adanya, atau hanya dilebih-lebihkan? 

Begitu Sulit Sri Mulyani

Kementerian Keuangan belum juga memberikan paparan kinerja APBN bulan Januari 2025.

Mitos “Hantu Dwifungsi”, Apa yang Ditakutkan?

Perpanjangan peran dan jabatan prajurit aktif di lini sipil-pemerintahan memantik kritik dan kekhawatiran tersendiri meski telah dibendung sedemikian rupa. Saat ditelaah lebih dalam, angin yang lebih mengarah pada para serdadu pun kiranya tak serta merta membuat mereka dapat dikatakan tepat memperluas peran ke ranah sipil. Mengapa demikian?

More Stories

The Irreplaceable Luhut B. Pandjaitan? 

Di era kepresidenan Joko Widodo (Jokowi), Luhut Binsar Pandjaitan terlihat jadi orang yang diandalkan untuk jadi komunikator setiap kali ada isu genting. Mungkinkah Presiden Prabowo Subianto juga memerlukan sosok seperti Luhut? 

Teror Soros, Nyata atau “Hiperbola”? 

Investor kondang George Soros belakangan ramai dibincangkan di media sosial. Apakah ancaman Soros benar adanya, atau hanya dilebih-lebihkan? 

Inikah Akhir Hidup NATO?

Perbedaan pendapat antara Amerika Serikat (AS) dan negara-negara anggota Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) belakangan terlihat semakin kentara. Apa maknanya?