HomeHeadlineGibran and The AI FOMO

Gibran and The AI FOMO

Kecil Besar

Dengarkan artikel ini:

Audio dibuat menggunakan AI.

Sebuah artikel di portal East Asia Forum tulisan Annadi Muhammad Alkaf cukup menggelitik karena membahas bagaimana pendekatan politik terkait AI di Indonesia cenderung salah jalan. Menurutnya, Indonesia seolah hanya takut ketinggalan dari negara lain, dan lupa bahwa esensi AI bukan sekedar adu canggih-canggihan semata atau bisa atau tidak kita membuat sebuah chatbot, melainkan bagaimana AI diterapkan untuk membantu keseharian hidup masyarakat, baik itu di sisi ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain. Pertanyaannya: benarkah demikian?


PinterPolitik.com

Wapres Gibran Rakabuming Raka bisa dibilang jadi salah satu tokoh di pemerintahan yang cukup getol mengampanyekan penggunaan Artificial Intelligence (AI). Bahkan konten-konten Gibran di media sosial sangat sering menggunakan AI. Ia juga kerap berkunjung ke sekolah-sekolah dan mendorong adanya kurikulm terkait prompting dan coding – agar anak-anak Indonesia sudah terbiasa dengan AI.

Dan seolah tak cukup, Indonesia juga disebut tengah berupaya mengembangkan platform mirip ChatGPT. Bahkan beberapa perusahaan seperti GOTO dan Indosat sudah juga meluncurkan SahabatAI sebagai platform chatbot Indonesia.

Selain sektor swasta, sebelumnya beberapa pernyataan dari pemerintah juga mengindikasikan bahwa Indonesia tengah berupaya mengembangkan platform chatbot AI. Pernyataan ini disampaikan tak lama setelah rilis DeepSeek-R1, model AI generatif asal Tiongkok yang sukses mengguncang dominasi Silicon Valley dengan biaya jauh lebih murah.

Proyek ambisius ini disampaikan langsung oleh Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan pada Februari 2025, dan kabarnya akan dikepalai oleh “anak-anak muda terbaik” Indonesia, untuk kemudian dilaporkan ke Presiden Prabowo dalam dua minggu.

Apa yang membuat pengumuman ini menarik? Selain dadakan, narasi AI ini muncul dalam lanskap politik yang semakin sarat dengan hasrat simbolik. Wapres Gibran—yang sejak masa kampanye sudah sering menonjolkan tema teknologi, dari “Startup Day” hingga “Smart Village”—jadi aktor utama dalam menghidupkan semangat technonationalism. Gibran cukup aktif mempromosikan penggunaan AI dalam platform sosial medianya. Warganet disuguhi postingan dengan narasi “video pakai AI”, presentasi pitch menggunakan generative voice, atau visual AI tentang masa depan kota pintar.

Fenomena ini bisa dibaca sebagai bentuk fear of missing out (FOMO) politik teknologi. Alih-alih mengikuti arah strategi nasional AI yang sudah dirancang sejak 2020, pemerintah tampak terpukau oleh narasi besar generative AI yang menjanjikan kesetaraan dengan negara-negara besar. DeepSeek menjadi katalis bukan karena kedalaman teknologinya, tetapi karena daya dorong geopolitiknya. Seolah Indonesia berkata, “Kalau Tiongkok bisa, kita juga bisa.”

Baca juga :  Great Sacrifice Prabowo's Basarnas Troops

Padahal dalam National AI Strategy 2020–2045, prioritas Indonesia adalah pada AI terapan yang menyentuh kebutuhan langsung masyarakat: pertanian, kesehatan, reformasi birokrasi, dan UMKM. Namun karena tekanan geopolitik dan kebutuhan tampil sebagai negara “maju teknologi,” fokus pemerintah tampaknya mulai bergeser. Tujuan jangka panjang digantikan ambisi jangka pendek.

Maka, pertanyaannya: apakah Indonesia benar-benar butuh versi lokal ChatGPT, atau ini hanya panggung pencitraan elite digital?

Ilusi Komunitas Epistemik

Untuk memahami gejala ini secara lebih mendalam, kita bisa menggunakan teori dari Peter Haas tentang epistemic communities. Dalam dunia kebijakan publik, komunitas epistemik adalah jaringan ahli yang memiliki keyakinan bersama, metodologi ilmiah, dan otoritas moral untuk memengaruhi pengambil keputusan. Di negara-negara maju, komunitas ini sangat kuat dalam menyusun kebijakan berbasis data—seperti halnya RAND Corporation di Amerika Serikat atau CASS di Tiongkok.

Masalahnya, di Indonesia, komunitas ini lemah. Kebijakan kerap dibentuk oleh narasi politik, bukan oleh keilmuan. Dalam konteks ini, pengumuman proyek AI nasional tidak dikawal oleh komunitas epistemik, tetapi lebih menyerupai elite impulse—dorongan sepihak dari kekuasaan tanpa basis riset, roadmap, atau kapasitas teknis.

Di sinilah letak ironi AI FOMO di Indonesia. Negara seolah ingin melompat ke panggung besar teknologi global tanpa membangun fondasi lokal. Kita ingin jadi pemain AI tanpa memperkuat komunitas ilmuwan data. Kita ingin mengatur masa depan digital tanpa menguatkan literasi digital dasar. Bahkan lembaga seperti BRIN atau BSSN yang seharusnya jadi pilar riset dan keamanan informasi, tidak disebut dalam roadmap pengembangan GPT Indonesia ini.

Yang lebih menyedihkan, retorika “anak-anak muda” yang akan memimpin proyek ini justru memperkuat narasi simbolik ketimbang substansi. Tanpa rencana komprehensif, anak muda hanya dijadikan “figuran digital” dalam skenario politik besar. Bukannya membangun komunitas teknokrat, kita justru mengandalkan gimmick generasi Z demi popularitas sesaat.

Terjebak Mimpi Silicon Valley?

Jika kita menyarikan dari tulisan Annadi Alkaf, setidaknya ada dua masalah besar dari pendekatan Indonesia terhadap AI.

Pertama, kegagalan memahami konteks dan kapasitas. Proyek seperti ChatGPT, Gemini, atau DeepSeek lahir dari ekosistem teknologi yang sangat matang: universitas riset unggulan, perusahaan unicorn dengan miliaran dolar kapitalisasi, serta pemerintah yang konsisten dalam pendanaan riset jangka panjang. Indonesia tidak berada dalam posisi itu. Bahkan anggaran riset kita masih tertinggal dari Singapura, Malaysia, bahkan Vietnam. Dalam kondisi seperti ini, mimpi membangun “GPT Lokal” hanya akan berujung pada wasting resources.

Kedua, kesalahan orientasi. Generative AI bukan satu-satunya bentuk kecerdasan buatan. Justru, banyak negara sukses memanfaatkan AI dalam bentuk yang lebih sederhana dan aplikatif. Singapura, misalnya, meluncurkan GenAI Navigator untuk membantu UMKM memilih solusi AI yang tepat. Bukan sekadar membangun model besar, tetapi mengarahkan AI agar benar-benar menyentuh bisnis kecil. Di sektor kesehatan, AI bisa membantu diagnosis dini atau manajemen rumah sakit. Di pertanian, AI digunakan untuk prediksi cuaca dan manajemen lahan. Itu semua lebih relevan dan berdampak langsung.

Baca juga :  Gonjang-ganjing Perang Konser ASEAN

Indonesia justru punya contoh bagus. Program BRIN bersama Kementerian Pertanian yang mengembangkan AI prediksi iklim untuk ketahanan pangan adalah satu contoh pemanfaatan yang tepat sasaran. Namun program seperti ini tidak dijadikan headline. Yang dielu-elukan justru proyek-proyek megah tanpa arah yang jelas.

Dalam logika kekuasaan populis, proyek teknologi sering kali tidak dilihat sebagai sarana, tetapi sebagai panggung. AI menjadi semacam artefak kekuasaan: sesuatu yang menunjukkan kemajuan, meskipun tidak selalu digunakan dengan bijak.

Pada akhirnya, kita tak boleh menolak kemajuan. AI bisa—dan seharusnya—menjadi bagian dari pembangunan nasional. Namun arah kebijakan AI Indonesia harus dibangun dari kebutuhan rakyat, bukan dari hasrat elite. Gibran dan jajaran pemerintahan Prabowo perlu menyadari bahwa kekuatan Indonesia bukan terletak pada menyaingi ChatGPT, tetapi pada memanfaatkan AI untuk sektor-sektor seperti pertanian, pendidikan, dan UMKM.

Pemerintah juga harus transparan dan melibatkan komunitas ilmiah sejak awal. Jika Indonesia benar-benar ingin membangun AI sovereign, maka kita butuh ekosistem, bukan ilusi. Butuh investasi riset, bukan janji manis. Butuh roadmap strategis, bukan reaksi panik pada tren global.

Kalau tidak, maka proyek AI Indonesia akan menjadi seperti banyak program lainnya: gembar-gembor di awal, senyap di tengah jalan, dan hilang dalam ingatan publik.

AI bukan panggung. Ia adalah alat. Dan masa depan tidak ditentukan oleh siapa yang tampil paling cepat, tapi siapa yang membangun paling dalam. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Nexus BAE: Boy Ara Erick

Boy Thohir, Maruarar Sirait, dan Erick Thohir membentuk periphery maupun simpul kekuasaan yang menyatukan modal, kebijakan negara, dan narasi publik. Konsolidasi ini merepresentasikan wajah baru ekonomi-politik Indonesia, di mana kekuasaan dijalankan melalui harmoni antara elite bisnis, teknokrat, dan komunikator sosial.

Prajogo Pangestu: Rise, Fall, and Rise Again!

Dulu nyetir angkot, sekarang jadi salah satu orang terkaya di Indonesia. Apa rahasia bisnis Prajogo Pangestu bertahan dari Orde Baru sampai hari ini?

Imin & El Clasico HMI-PMII?

Pernyataan "pinggir jurang" Cak Imin soal HMI dan PMII memantik kembali rivalitas lama dua organisasi Islam terbesar di Indonesia. Di balik candaan politik itu, tersembunyi pertarungan simbol, kelas sosial, dan identitas yang berpotensi memperdalam polarisasi tokoh muda Islam di kalangan kampus dan turunannya jika tak dibingkai secara dewasa.

The Mahjong Game: Trump vs Xi

Mungkinkah AS di bawah Trump kini mulai meninggalkan papan "catur" dan mulai mengasah strategi "mahjong-nya" untuk melawan Xi Jinping?

Gen Z is Going Corrupt?

Publik diramaikan dengan pembahasan tersangka kasus korupsi yang tengah diusut KPK atas nama Nur Afifah Balqis yang masih berusia 24 tahun.

AS-Tiongkok = Sasuke-Naruto? 

Hubungan Amerika Serikat dan Tiongkok tidak sesederhana permusuhan atau persaingan semata. Di balik rivalitas yang sering muncul di permukaan, ada sejarah panjang kerja sama dan keterkaitan yang membentuk keseimbangan global. 

Trump dan Soccer Super Power?

Kehadiran Presiden Donald Trump di final FIFA Club World Cup 2025 kiranya bukan sekadar tontonan, tapi simbol ambisi Amerika Serikat menjadi kekuatan global baru di sepak bola. Dari Beckham di LA Galaxy, Messi di Inter Miami hingga Task Force Piala Dunia 2026, AS tampak serius membentuk identitas baru, soccer super power.

Filosofi Kopi Prabowo Subianto?

Presiden Prabowo Subianto dikenal dengan kebiasaannya meminum kopi hitam. Apa sebenarnya filosofi kopi ala Prabowo?

More Stories

Gen Z is Going Corrupt?

Publik diramaikan dengan pembahasan tersangka kasus korupsi yang tengah diusut KPK atas nama Nur Afifah Balqis yang masih berusia 24 tahun.

Prabowo’s International Political Dance

Prabowo bisa dibilang menjadi salah satu presiden yang paling aktif dalam politik internasional. Ini kontras dengan presiden sebelumnya, Jokowi, yang tak begitu getol dalam panggung internasional kecuali jika berhubungan dengan masalah ekonomi.

Mythical Leaders from Gunung Lawu?

Gunung Lawu, menjulang gagah di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, bukan sekadar gunung. Ia adalah jantung rahasia Jawa, tempat para leluhur dipercaya masih bersemayam, dan panggung abadi bagi narasi kepemimpinan yang tak lekang oleh waktu.