HomeHeadlineAuto Damage Teddy, AHY, Sherly?

Auto Damage Teddy, AHY, Sherly?

Kecil Besar

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Beberapa pejabat publik seperti Teddy Indra Wijaya, AHY, hingga Sherly Tjoanda bukan hanya tampil menarik, mereka menjelma jadi wajah baru politik Indonesia yang serba visual. Namun, mengapa fenomena pejabat publik dengan impresi visual menarik ini menjadi penting dalam diskursus politik kekinian?


PinterPolitik.com

Dalam beberapa tahun terakhir, lanskap politik Indonesia mengalami transformasi tak hanya dari segi kebijakan, tetapi juga impresi yang aesthetic.

Pejabat publik seperti Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya, Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), hingga Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda eksis dengan latar belakang yang sangat berbeda namun memiliki kesamaan dalam persepsi publik, memperlihatkan bagaimana good looks menjadi aset politik yang semakin berpengaruh.

Visual mereka yang dipoles dengan narasi progresif dan performa yang dipublikasikan secara intens di media sosial menjadikan mereka mudah diterima dan dibicarakan publik, baik secara positif maupun kritis.

Fenomena ini bukan tanpa penjelasan di atas kertas. Dalam kajian psikologi sosial, efek ini dikenal sebagai halo effect, sebuah bias kognitif di mana penilaian terhadap satu aspek (misalnya penampilan fisik) memengaruhi penilaian terhadap aspek lainnya (seperti kompetensi atau integritas).

Dengan masifnya penggunaan media sosial, yang sangat menekankan aspek visual dan kesan pertama, halo effect menjadi alat distribusi pengaruh yang ampuh dalam politik.

Bukan hanya Teddy, AHY, maupun Sherly. Nama-nama pejabat publik di level kepala daerah petahana seperti Bupati Bandung Barat Jeje Govinda, Bupati Pangandaran Citra Pitriyami, Wakil Bupati Kudus Bellinda Putri Sabrina Birton, hingga Wakil Wali Kota Kupang Citra Pitriyami, ikut terangkat berkat performa visual yang dibungkus dalam strategi branding digital yang apik.

Dalam konteks yang sama, para mantan pejabat publik seperti Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, Zumi Zola, hingga Airin Rachmi Diany juga sempat menikmati masa kejayaan dalam ekosistem visual-minded publik di eranya masing-masing.

Lantas, mengapa hal ini menjadi krusial dalam diskursus politik-pemerintahan Indonesia?

Ilusi Kompetensi dan Budaya Visual?

Dalam konteks Indonesia, di mana politik sering kali dipersonalisasi dan bersifat figur-sentris, halo effect dinilai bekerja sangat efektif.

Kendati sangat subjektif, terdapat derajat atau selera umum visual yang diterima. Ketika seorang pejabat tampan atau cantik, publik dengan cepat memberi asumsi bahwa mereka juga cerdas, profesional, atau berintegritas.

Penelitian Efraim Efran menunjukkan bahwa dalam sebagian bersar lingkungan interaksi manusia, termasuk politik, kandidat dengan wajah menarik memiliki peluang lebih besar untuk dipilih, bahkan ketika performa objektifnya tidak signifikan.

Baca juga :  Gibran and The AI FOMO

Dalam konteks Teddy, AHY, Sherly Tjoanda, serta pejabat publik lainnya, kiranya bukan hal tabu untuk diinterpretasi bahwa karakteristik fisik mereka seolah menjadi entry point dalam membangun afeksi publik.

Di sinilah peran halo effect menciptakan apa yang disebut sebagai rapid trait inference, penilaian instan dalam hitungan milidetik yang menentukan suka atau tidak suka pada seseorang hanya lewat tampilan visual.

Fenomena berikutnya yang turut menguatkan halo effect adalah ilusi kompetensi (illusion of competence), yaitu kondisi di mana seseorang dianggap kompeten semata karena tampilan luar atau gaya komunikasi, bukan substansi atau hasil kerja di kesan pertama. Kendati, nama-nama tersebut tentu memiliki kompetensi dan torehan performa yang positif sejauh ini.

Namun, dalam konteks pejabat publik yang aktif di media sosial, estetika visual dan gaya komunikasi yang engaging dapat menciptakan persepsi bahwa mereka pasti bekerja atau pasti lebih baik dibanding pejabat lain yang tampil “datar”. Padahal, tidak selalu ada korelasi antara performa visual dan performa struktural.

Media sosial mempertebal efek ini melalui sistem algoritma yang mengutamakan engagement, bukan akurasi atau kualitas kinerja yang hakikatnya memang sukar dinilai oleh mesin.

Dalam budaya politik Indonesia yang sangat visual dan viral-driven, ilusi, atau lebih tepatnya “konstuksi kompetensi” sejak pandangan pertama ini menjadi pengungkit legitimasi instan.

Pendekatan visual branding dalam politik Indonesia kini tidak lagi opsional. Media sosial menjadi arena utama pertarungan narasi.

Seorang pejabat yang tidak mampu tampil baik secara visual akan kalah bersaing dalam perhatian publik meskipun punya rekam jejak yang kuat. Di sinilah branding bukan lagi soal pencitraan semu, melainkan bagian dari kapital politik.

Gambar diri seorang pejabat di Instagram dengan filter tertentu, angle tertentu, dan narasi tertentu menjadi komoditas yang memengaruhi pemilih secara emosional.

Branding inilah yang menjadikan sosok-sosok tersebut tampak cepat mencuri perhatian. Meski secara struktural jabatan pejabat atau kepala daerah tertentu di Indonesia cenderung kurang mendapat eksposur, keberadaan mereka di dunia digital justru melampaui batas geografis tersebut.

mayor teddy prabowo's trusted man

Auto Damage Fix?

Sosok-sosok seperti Teddy, AHY, Sherly Tjoanda, serta pejabat lainnya bukan semata contoh dari halo effect pasif, melainkan mereka mampu mengkapitalisasi persepsi publik melalui kerja nyata yang ditampilkan secara strategis.

Baca juga :  Chaos Pemblokiran Hormuz, Siapa "Rungkad"?

Teddy dan AHY, misalnya, dengan latar belakang militer dan posisi strategis sebagai Menteri Koordinator, telah beradaptasi dari prince charming politik menjadi figur yang mencoba merespons isu pembangunan dan infrastruktur secara serius.

Demikian pula Sherly, yang berani tampil beda dalam gaya komunikasi sebagai gubernur perempuan dengan pendekatan urban & inclusive leadership.

Branding yang selaras antara visual, pesan, dan tindakan aktual dapat menjadi senjata utama untuk mem-breakthrough kemacetan politik yang sering hanya dihuni elite tradisional. Mereka bisa menjadi ikon dari generasi politisi baru yang memiliki charisma, substance, dan reach sekaligus.

Namun, risiko besar juga mengintai ketika ekspektasi publik yang dibangun oleh branding visual tidak diimbangi oleh kualitas kerja yang konkret dan terukur.

Dalam kondisi tersebut, efek halo bisa berubah menjadi efek boomerang, publik merasa tertipu atau kecewa, lalu menjadi antagonis terhadap figur tersebut.

Kasus Zumi Zola, misalnya, menjadi pelajaran penting. Sosoknya dulu dielu-elukan karena wajah rupawan dan gaya populis, tetapi kemudian runtuh karena kasus rasuah.

Sampel itu membuktikan bahwa efek visual memiliki daya tarik yang kuat, tetapi tetap memerlukan pijakan struktural dan integritas personal agar tidak menjadi bubble.

Fenomena ini juga membuka peluang lahirnya kelas sosial politik baru—yaitu politisi yang mampu merangkul populisme digital namun tetap grounded secara kebijakan.

Bila Teddy, AHY, dan Sherly sejauh ini mampu menjaga keseimbangan antara visual charisma dan kebijakan substantif, maka mereka berpeluang menembus struktur kekuasaan yang lebih tinggi di masa depan.

Namun, bila tidak, maka mereka akan menjadi bagian dari daftar panjang politisi one-hit wonder, yang redup begitu jabatan atau perhatian publik bergeser.

Dalam dunia politik Indonesia yang sangat fluktuatif dan berorientasi persepsi, kemampuan mempertahankan narasi dan merealisasikan janji adalah mata uang paling mahal.

Fenomena seperti dijabarkan di atas  tampak sangat jarang dibahas dalam analisis maupun teoretis yang mendalam. Namun, di saat yang sama, menunjukkan bahwa wajah politik Indonesia tengah mengalami pergeseran besar, dari politik orasi menjadi politik impresi.

Ini membuka ruang baru bagi politisi muda dan visual untuk naik panggung, namun juga menuntut kedewasaan publik untuk tidak terperangkap dalam ilusi kompetensi.

Kuncinya ada pada kesadaran kritis publik dan etika visual politik. Tanpa itu, kita hanya akan menjadi penonton dalam pertunjukan politik estetika, bukan peserta aktif dalam demokrasi substansial. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

SBY Effect: Jalan RI-2 AHY?

Di tengah situasi ekonomi yang tidak menentu, kerinduan terhadap era SBY kembali mencuat. Apakah ini pertanda arah baru dalam politik Indonesia?

Maye Musk: Senjata Elon-Tiongkok?

Di tengah perseteruannya dengan Presiden Trump, Elon Musk mendapatkan dukungan dari netizen Tiongkok.

Mengapa Xi-Putin Suka “Menghilang”?

Belakangan ini, absennya Xi Jinping dari publik menjelang KTT BRICS 2025 menarik perhatian sejumlah media internasional. Fenomena seperti ini bukan hal baru, dan pernah terjadi juga pada beberapa pemimpin dunia lainnya.

Myanmar and Dasco’s Strategic Idea?

Pernyataan Sufmi Dasco Ahmad soal operasi militer selain perang dalam konteks isu diplomati terkini di Myanmar kiranya bukan sekadar reaksi spontan. Mengapa berikan?

Bila Zohran Mamdani Nyalon di Indonesia

Naiknya nama Zohran Mamdani di New York City bisa dibilang fenomenal, termasuk di Indonesia. Bagaimana bila Zohran jadi calon di Indonesia?

Gibran and The AI FOMO

Sebuah artikel di portal East Asia Forum tulisan Annadi Muhammad Alkaf cukup menggelitik karena membahas bagaimana pendekatan politik terkait AI di Indonesia cenderung salah jalan.

Bayang-Bayang Suksesi Partai Banteng?

Suksesi kepemimpinan di PDIP masih jadi tanda tanya besar. Di balik penundaan kongres, tersimpan dinamika internal yang patut dicermati.

Pramono dan Matcha-isasi

Matcha kini jadi komoditas yang digemari secara global. Bahkan, Gubernur Jakarta Pramono Anung-pun sempat membuat konten matcha.

More Stories

Myanmar and Dasco’s Strategic Idea?

Pernyataan Sufmi Dasco Ahmad soal operasi militer selain perang dalam konteks isu diplomati terkini di Myanmar kiranya bukan sekadar reaksi spontan. Mengapa berikan?

Politik Pendidikan Brilian Presiden Prabowo

Sekolah Rakyat menjadi langkah berani Presiden Prabowo dalam merombak wajah pendidikan nasional. Dengan kekuatan politik dan sumber daya penuh, inisiatif ini bisa menjadi terobosan progresif untuk memutus stigma negatif terhadap pendidikan bagi rakyat yang membutuhkan.

Great Sacrifice Prabowo’s Basarnas Troops

Tragedi Juliana Marins di Gunung Rinjani membuka mata publik pada pengorbanan senyap Basarnas di tengah berbagai tantangan teknis dan nonteknis yang melanda, termasuk anggaran yang terbatas. Lalu, apakah hal ini akan dibiarkan begitu saja, atau justru akan ada gebrakan besar dari Presiden Prabowo?