HomeNalar PolitikFinding Ahok

Finding Ahok

Dalam sidang pembelaannya, Ahok mengatakan kalau dirinya hanyalah seekor ikan kecil Nemo di tengah Jakarta. Sebagai orang yang melawan arus, ia mengibaratkan dirinya telah berkorban banyak demi masyarakat. Benarkah?


PinterPolitik.com

“Banyak orang tanya ke saya, kamu siapa, saya bilang saya hanya seekor ikan kecil Nemo di tengah Jakarta. Ini pelajaran untuk kita, lalu disambut tepuk tangan anak-anak, sambutan anak-anak kecil memberikan saya penghiburan dan kekuatan baru, melawan arus menyatakan kebenaran.”

[dropcap size=big]I[/dropcap]tulah sekelumit ucapan Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa dipanggil Ahok, saat membacakan nota pembelaan (pleidoi) di persidangan penodaan agama yang diadakan di Auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta, Selasa (25/4) lalu. Ahok mengibaratkan dirinya sebagai Nemo yang mengajak segerombolan ikan lainnya untuk menyelamatkan diri dari jaring nelayan walau harus pingsan terjepit.

Sebelumnya, pria berusia 48 tahun ini juga mengatakan menjadikan cara hidup ikan Salmon sebagai filosofinya sehari-hari. “Ikan yang ikutin arus itu pasti ikan mati. Kalau ikan yang hidup itu pasti melawan arus. Nah, kalau ikan yang melawan arus sampai ke atas gunung itu ikan Salmon,” katanya saat diwawancarai Deddy Corbuzier untuk acara Hitam Putih, Senin (7/4) malam.

Ahok mengaku bercermin dari perilaku ikan Salmon yang harus meninggalkan lautan dan kembali ke perairan tawar untuk bereproduksi. Siklus hidup ikan ini mempunyai makna tentang perjalanan jauh yang perlu usaha dan kemauan keras serta berani mengambil risiko.

“Dia melawan arus untuk bisa melahirkan generasi berikutnya, sekalipun mungkin nanti dia dimakan beruang di atas sana. Jadi saya pikir kalau orang mau hidup, ya harus seperti itu, harus berani untuk melahirkan generasi berikutnya, sekalipun mungkin nanti kita dimakan beruang,” kata ayah tiga anak tersebut.

Melawan arus, begitulah Ahok selalu menyatakan posisinya. Ia sadar kalau tidak disukai dan sering difitnah, namun ia tetap memilih menyatakan kebenaran, kejujuran, dan melawan korupsi. “Kadang-kadang memang ada sekelompok orang di negeri ini yang salah arah dengan korupsi merajalela, anggaran dimainkan. Mau nggak mau saya mesti teriak dong, arahnya salah. Kalau arahnya ke sana terus, rakyat nggak ada pembangunan.”

Para Pelawan Arus

“Jangan takut menentang arus. Ingatlah, sebuah layang-layang dapat terbang karena menentang angin bukan mengikuti arah angin.” ~ H. Mobie

Contra aquam remigamus atau yang diterjemahkan sebagai “kita mendayung melawan arus.” Kalimat ini merupakan penggalan akhir kalimat seorang filsuf Yunani, Lucius Annaeus Seneca dalam surat yang dikirimkan untuk sahabatnya, Licilius yang memilih kehidupan sunyi filsuf daripada bergelimang harta seperti dirinya. Seneca mengatakan, upaya dirinya mendayung melawan arus adalah hal yang sulit dan bahkan sia-sia.

Dulu, kehidupan yang “mengalir seperti air” memang banyak dipilih orang sebagai jalan yang nyaman dalam meraih kesuksesan. Seiring sejarah, tak sedikit pula orang-orang yang kemudian memilih untuk melawan arus. Walau Albert Camus mengatakan jalan yang harus ditempuh akan berat dan tak berkesudahan, layaknya Sisyphus yang mendorong batu besar ke atas bukit, hanya untuk memandang batu itu berguling kembali ke bawah.

Di era demokrasi dan reformasi sekarang ini, para penentang arus mulai banyak kita temukan. Berbeda dengan era sebelumnya, dimana untuk bersikap berlainan memiliki konsekuensi yang cukup besar. Para pendiri negeri, bisa kita masukkan sebagai tokoh pelawan arus yang berhasil memerdekakan Indonesia walau kehidupan mereka sebagai taruhannya.

Baca juga :  Siasat Rahasia NasDem Soal Hak Angket? 

Di masa-masa yang penuh dengan resistensi, seperti  pada rezim Orde Lama dan Orde Baru, Indonesia pun tak kekurangan kaum penantang arus. Salah satu yang masih menjadi legenda adalah Soe Hok Gie. Dalam bukunya, “Catatan Seorang Demonstran”, Gie bahkan dengan lantang menyatakan, “Hanya ada dua pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi aku memilih untuk jadi manusia merdeka.”

Filosofi Ahok yang berani menentang status quo memang bisa dibilang melawan arus. Namun secara kinerja, perlawanan terhadap korupsi, dan kongkalikong proyek, ia bukanlah satu-satunya. Ada nama-nama lain yang tak kalah bersih, seperti Walikota Bandung Ridwal Kamil, Walikota Surabaya Tri Risma Harini, Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, Bupati Bantang Yoyok Riyo Sudibyo, dan banyak lagi.

Walau Ahok  diakui memiliki sifat kepemimpinan yang berani, jujur, tegas, gesit, dan anti korupsi. Namun seringkali pernyataan dan sifatnya yang blak-blakan cenderung mengundang debat banyak pihak. Hasil kerjanya yang baik di mata warga Jakarta, kerap dirusak dengan sifat emosional dan kurangnya kemampuan memilih tutur kata, sehingga sering menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.

Ahok melawan arus

Raport Merah Ahok

Hidup yang terus berdenyut ini membutuhkan orang-orang yang bisa berpikir sendiri, kuat dan tegar menjalaninya, bukan sekadar menerima segala yang sudah ada. Tuhan menciptakan manusia satu dengan yang lainnya begitu berbeda, tidak ada yang sama. manusialah yang bisa menentukan kualitas kemanusiaannya sendiri, mungkin agar mereka bisa melihat hidup dalam dimensi yang luas dan kaya.”

Kutipan di atas diucapkan oleh John Keating dalam film Dead Poets Society yang diperankan oleh Robins William. Keating berprofesi sebagai guru sastra di sekolah asrama elit konservatif. Sebagai guru baru, tanpa konsultasi, ia menerapkan sistem pengajaran yang sangat santai dan cenderung bebas. Ia sengaja mendorong siswanya untuk mengekspresikan perasaan mereka, baik dengan kata-kata maupun sikap.

Posisi Keating bisa dibilang hampir sama dengan Ahok. Keduanya masuk ke dalam institusi penuh birokrasi, intrik, dan konservatif. Mereka terpaksa menghadapi kebobrokan sistem yang telah diwarisi bertahun-tahun, sehingga orang yang membawa perbedaan dianggap ancaman dan musuh bersama. Akhir ceritanya pun sama, keduanya terdepak walau diiringi isak tangis orang-orang yang mencintainya.

Berbeda dengan Keating, penolakan Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta memang sudah terjadi sejak awal. Apalagi sejak resmi menjabat, ia sudah mendulang protes jajaran DPRD DKI akibat kebijakan – kebijakannya yang kontroversial. Kasus saling ejek Ahok dengan Haji Lulung adalah yang fenomenal. Sehingga pada seratus hari pemerintahan Ahok,  Ahok dihadiahi demonstrasi masa yang mengatasnamakan warga.

Walaupun sejumlah survei memperlihatkan tingkat kepuasan warga DKI terhadap kinerja Ahok cukup tinggi, yaitu 70 persen, namun tidak begitu dengan penilaian kerja dari lembaga pemerintahan, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kementarian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemPAN-RB), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri).

Keempat lembaga ini menilai, selama menjabat, Ahok menunjukkan kinerja yang buruk. Indikator yang mendapat nilai merah ini akibat rendahnya penyerapan anggaran daerah, sejumlah pelaksanaan kebijakan yang melanggar perundang-undangan, dan tidak sesuai dengan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Baca juga :  Jokowi Makin Tak Terbendung?

Bukan itu saja, keempat lembaga ini menilai Ahok juga gagal mengatasi empat masalah krusial di Jakarta, yaitu kriminalitas, kesenjangan sosial, kemiskinan, dan upah buruh. Buruknya sinergi antara Ahok dengan sejumlah anggota DPRD juga menjadi sorotan tersendiri dari Kemdagri.

Dampak Arogansi

“Jika diri Anda dan musuh Anda mulai sombong, maka Anda menempatkan diri Anda dalam bahaya.” ~ Sun Tzu

Kesombongan, saling fitnah, dan saling tuding, itulah yang terjadi ketika Pemilihan Kepala Daerah DKI lalu. Seperti yang diperingatkan Sun Tzu, kondisi Jakarta sempat berubah memanas dan nyaris timbul perpecahan. Walau kekhawatiran itu tidak terbukti, namun di akar rumput, perilaku saling ejek dan nyinyir masih terus berlangsung.

Arogansi, itulah kelemahan Ahok yang sebenarnya sudah diperingatkan banyak orang. Bukan hanya Haji Lulung saja yang mengaku kesal, sebagian pengurus PDIP Jakarta pun sempat mengungkapkan ketidaksukaannya kepada calon gubernur yang diusung. “Pengurus di Jakarta lebih banyak yang tidak suka Ahok,” kata Kepala Biro Pemilu dan Pilkada Badan Saksi Pemilu Nasional PDIP, William Yani, Sabtu (20/8/2016).

Tak hanya di kalangan elit politik, bahkan diakar rumput pun arogansi Ahok banyak menimbulkan penolakan. Bahkan Forum RT-RW sempat menggabungkan diri untuk menggalang tiga juta KTP tidak mendukung pemimpin arogan. Persoalan penggusuran dan penataan hunian warga miskin menjadi biang keladinya, apalagi dalam salah satu debat, Ahok sendiri mengakui, ia tidak memperhitungkan analisa sosial terlebih dulu.

Sementara itu, Sekjen Solidaritas Pemuda Kristen Anti Penggusuran Jakarta (Sekapur Jakarta) Rapen AM Sinaga menyampaikan, cara-cara yang dilakukan Ahok dalam menata Ibukota sangat jauh dari cita-cita, juga tugas dan fungsi seorang kepala daerah di Jakarta. Selain sangat terkesan arogan, Ahok juga sangat pro kepada pengembang.

Selama ini, Ahok merasa tindakannya menggusur warga miskin adalah tindakan yang heroik dan benar. Hingga warga sendiri yang melawan karena tidak mau diperlakukan semena-mena. “Semut saja diinjak pasti menggigit. Semut yang bergerak di lahan Negara pun akan melawan. Apalagi warga yang digusur dan ditindas? Pasti melawan. Lagi pula fungsi pemerintahan bukan sekedar menata dengan cara-cara kasar dan menyakiti. Banyak cara lain yang konstitusional dan beradab kok,” tukasnya.

Menjadi seorang yang melawan arus, bukan berarti harus menggunakan gaya kepemimpinan temperamental. Karena sebenarnya, seorang pemimpin harus lebih bisa mengontrol diri, khususnya mengontrol emosi. Setelah mendapatkan benturan keras beberapa kali, akhirnya Ahok pun bersedia untuk mulai mengontrol emosinya, jika sedang merasa kesal. Ahok mengaku mendapat jurus jitu mengontrol emosi dari Presiden ketiga RI, BJ Habibie.

“Sekarang, saya sudah lebih pintar. Saya diajarin dari Pak Habibie kalau mau marah dan kesal senyum saja. Ini pelajaran dari Pak Harto katanya, kalau mau marah senyum saja. Makanya pas debat kemarin berhasil. Dikerjain, saya senyum, kalau dulu aku maki balik,” kata Ahok, Senin (27/3) lalu. Sayangnya, kesadaran Ahok datang sangat terlambat. Seperti juga Nemo yang terlambat menyadari posisinya saat berenang melawan arus, sehingga harus pingsan tertimpa ikan-ikan lain. (Berbagai sumber/R24)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Informasi Bias, Pilpres Membosankan

Jelang kampanye, pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oposisi cenderung kurang bervarisi. Benarkah oposisi kekurangan bahan serangan? PinterPolitik.com Jelang dimulainya masa kampanye Pemilihan Presiden 2019 yang akan dimulai tanggal...

Galang Avengers, Jokowi Lawan Thanos

Di pertemuan World Economic Forum, Jokowi mengibaratkan krisis global layaknya serangan Thanos di film Avengers: Infinity Wars. Mampukah ASEAN menjadi Avengers? PinterPolitik.com Pidato Presiden Joko Widodo...

Jokowi Rebut Millenial Influencer

Besarnya jumlah pemilih millenial di Pilpres 2019, diantisipasi Jokowi tak hanya melalui citra pemimpin muda, tapi juga pendekatan ke tokoh-tokoh muda berpengaruh. PinterPolitik.com Lawatan Presiden Joko...