Dengarkan artikel ini. Audio ini dibuat dengan teknologi AI.
Etiopia menjadi salah satu negara dengan budaya peradaban paling tua di dunia saat ini. Apa rahasianya?
Selama ribuan tahun, manusia telah menciptakan peradaban yang megah—dari Mesir dan Babilonia, hingga Yunani dan Tiongkok. Namun, banyak dari kejayaan masa lampau itu kini hanya tinggal puing-puing dan buku sejarah. Peradaban runtuh, kerajaan hilang, dan negara-negara berganti peta serta nama. Meski begitu, beberapa wilayah di dunia masih menunjukkan kontinuitas luar biasa: mereka berhasil mempertahankan identitas nasionalnya sepanjang zaman.
Salah satu contoh paling dikenal tentu saja adalah Tiongkok, yang sejak zaman Dinasti Shang dan Zhou telah membentuk kerangka peradaban yang terus berkembang hingga menjadi negara modern saat ini. Namun, apa jadinya jika kita mengatakan bahwa di benua Afrika pun terdapat satu negara yang menyimpan riwayat serupa—dan bahkan mungkin lebih mengejutkan?
Negara itu adalah Etiopia.
Terletak di Tanduk Afrika, Etiopia bukan hanya negara yang berhasil lolos dari penjajahan dalam waktu lama, melainkan juga pewaris langsung dari sebuah peradaban kuno: Kerajaan Aksum. Berdiri sejak awal abad pertama Masehi, Aksum dikenal sebagai salah satu kekuatan besar dunia kuno, sejajar dengan Romawi, Persia, dan India. Dan yang lebih menarik, akar-akar Aksum tak pernah sepenuhnya tercabut dari tanahnya.
Lantas, mengapa peradaban kuno seperti Aksum bisa tetap bertahan dalam bentuk negara modern yang kita kenal hari ini sebagai Etiopia? Apa yang membuatnya unik dibandingkan dengan peradaban-peradaban besar lain yang telah lama lenyap?

Dari Aksum ke Addis Ababa
Jika kita telusuri sejarah, Etiopia kerap tampil sebagai pengecualian. Ketika imperium Persia meluaskan pengaruhnya ke Asia Barat dan Mesir, Etiopia tetap utuh di selatan. Saat Kekaisaran Romawi menaklukkan Afrika Utara dan Laut Tengah, Aksum malah menjalin hubungan dagang setara dengan mereka—bukan sebagai bawahan, melainkan mitra.
Pada abad ke-20, saat hampir seluruh Afrika dijajah oleh kekuatan Eropa, Etiopia kembali tampil mengejutkan. Dalam Perang Italia-Etiopia Kedua tahun 1935, pasukan Benito Mussolini berhasil menduduki Addis Ababa, namun tidak pernah benar-benar menaklukkan perlawanan rakyat Etiopia. Lima tahun kemudian, bersama bantuan Sekutu, Kaisar Haile Selassie kembali memulihkan kemerdekaan negaranya. Sampai hari ini, Etiopia tetap menjadi satu dari sedikit negara Afrika yang tak pernah dijajah sepenuhnya.
Apa rahasianya?
Pertama, ada faktor geografis. Wilayah dataran tinggi yang terjal dan pegunungan Simien menjadikan Etiopia sebagai benteng alami yang sulit ditembus. Sejarah mencatat, bahkan tentara modern Italia pun kesulitan bertempur di medan yang berat itu.
Kedua, Etiopia memiliki identitas nasional yang kuat dan unik, berkat warisan Kerajaan Aksum. Agama Kristen Ortodoks Ethiopia yang berkembang sejak abad ke-4, alfabet Ge’ez yang khas, serta narasi sejarah yang terus hidup dalam budaya lokal, memperkuat rasa kebangsaan rakyatnya.
Sejarawan Richard Pankhurst menyebutkan bahwa tidak seperti banyak kerajaan Afrika lainnya yang akhirnya hilang atau larut dalam sejarah, Aksum memiliki warisan yang tetap hidup dan beradaptasi. Perubahan tidak menghapus identitasnya, melainkan memperkuat inti ke-Etiopia-annya.
Ketiga, kekuatan mitos sejarah dan simbolisme juga sangat besar. Kaisar Haile Selassie, misalnya, mengklaim dirinya sebagai keturunan langsung dari Raja Salomo dan Ratu Sheba—narasi yang tidak hanya memperkuat kekuasaan politik, tetapi juga memperdalam legitimasi spiritual di mata rakyat. Bagi banyak orang Etiopia, mempertahankan negara bukan semata tindakan politik, tetapi juga bentuk kesetiaan kepada takdir historis dan keyakinan ilahi.
Keempat, Etiopia memiliki tradisi militer yang panjang dan terorganisir. Bahkan pada masa Kerajaan Aksum, pasukannya dikenal kuat dan efektif. Tak heran jika di masa modern pun, perlawanan terhadap penjajah dilakukan secara sistematis, bukan sporadis.
Dalam sebuah artikel dari Journal of African Civilizations, penulis menyatakan bahwa ketahanan Etiopia tidak hanya bisa dijelaskan dari aspek militer. Ia bersumber dari kesinambungan budaya politik, kepemimpinan agama, dan ingatan kolektif yang mengakar dalam masyarakatnya. Dengan kata lain, Etiopia mampu bertahan karena masyarakatnya percaya bahwa mereka memang ditakdirkan untuk bertahan.

Refleksi dari Peradaban yang Bertahan
Melihat keberlanjutan Aksum menjadi Etiopia hari ini, kita seakan diajak menyadari bahwa umur panjang sebuah negara tidak selalu tergantung pada kekuatan militer, luas wilayah, atau kemajuan teknologi. Kadang, yang jauh lebih penting adalah keteguhan identitas, memori sejarah yang hidup, dan narasi besar yang diyakini bersama.
Etiopia bukan hanya bukti bahwa peradaban Afrika memiliki warisan besar, tetapi juga contoh bahwa ketahanan budaya bisa menjadi pondasi yang lebih kokoh daripada benteng batu. Di tengah dunia yang terus berubah, ketika banyak bangsa kehilangan arah karena globalisasi, Etiopia tetap berjalan dengan akar kuat di masa lalu dan kepala tegak menatap masa depan.
Mungkin inilah pelajaran besar dari Aksum dan Etiopia:
bahwa kekuasaan sejati tidak selalu soal dominasi atas dunia, tetapi dominasi atas waktu—dan kemampuan untuk terus menjadi diri sendiri di tengah gempuran zaman.
Dan di dunia yang penuh perubahan ini, mungkin kita semua butuh sedikit lebih banyak “Etiopia” dalam cara kita memandang bangsa dan identitas. (D74)