Dengarkan artikel ini:
Citra dan sosok Gibran Rakabuming Raka lahir dari engagement di media sosial (medsos). Mungkinkah Gibran kini akan berakhir juga dengan jebakan engagement?
“There’s no such thing as bad publicity” – P.T. Barnum, pemain teater asal Amerika Serikat (AS)
Kenny akhirnya berhasil membuat salah satu video TikTok-nya masuk dalam FYP setelah berbulan-bulan mencoba berbagai format dan konsep. Perasaan senang membuncah dalam dirinya, seolah seluruh usaha dan kreativitas yang selama ini ia curahkan akhirnya membuahkan hasil.
Di tengah rasa bahagianya, Kenny tiba-tiba teringat pada sosok Gibran Rakabuming Raka, yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia. Dulu, Gibran sempat viral berkat cuitan-cuitannya di Twitter (sekarang X) yang penuh humor, spontanitas, dan kedekatan dengan warganet.
Namun, kini keadaan sudah berubah; Kenny memperhatikan bahwa banyak konten Gibran di YouTube justru dibanjiri dislike dan komentar negatif. Bukan hanya kritik tajam, tetapi juga cibiran dan ejekan yang terkadang terasa berlebihan.
Kenny pun mulai merasakan kegelisahan dalam dirinya, membayangkan apakah popularitas di dunia maya memang selalu bersifat sementara dan penuh risiko. Ia bertanya-tanya, mungkinkah suatu saat nanti video-videonya yang kini disukai banyak orang justru menjadi bahan serangan warganet?
Memandang layar ponselnya, Kenny bertanya dalam hati: Mengapa dulu Gibran bisa viral dan mendapatkan engagement positif yang begitu tinggi? Lalu, mengapa Gibran yang sekarang justru berbeda, menerima engagement yang lebih banyak bernada negatif?
The Rise of Gibran
Kenny masih merenungkan perubahan citra Gibran di media sosial. Ia bertanya-tanya bagaimana dulu Gibran bisa begitu populer dan mendapatkan respons positif, padahal ia adalah anak Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pada masa itu, Gibran tampil sebagai sosok santai dan bersahaja, seolah tidak terbebani identitas sebagai keluarga pejabat tinggi negara. Ia diterima publik karena dianggap mewakili suara rakyat biasa, bukan sebagai bagian dari elite kekuasaan.
Dalam bukunya The Media and Modernity (1995), John B. Thompson menjelaskan bahwa dalam era mediatization, tokoh publik membangun citranya bukan hanya lewat tindakan nyata, tetapi juga melalui narasi yang dikonstruksi media. Gibran di masa lalu berhasil membangun narasi dirinya sebagai “outsider” yang dekat dengan keseharian rakyat.
Namun kini, setelah menjabat sebagai Wakil Presiden, Gibran tidak lagi dapat menghindari persepsi sebagai bagian dari struktur kekuasaan itu sendiri. Menurut Thompson, ketika seseorang masuk dalam arena kekuasaan, mediatization membuat segala tindakannya lebih rentan terhadap sorotan kritis dan sinisme publik.
Kenny pun menyadari bahwa yang berubah bukan hanya cara Gibran berbicara atau bertingkah di media sosial, tetapi juga posisi sosial-politiknya di mata publik. Kehadiran kekuasaan itu sendiri sudah menggeser simpati menjadi kewaspadaan, bahkan ketidakpercayaan.
Sambil menatap angka-angka statistik videonya, Kenny bertanya-tanya: Mengapa Gibran akhirnya harus tetap bertahan dengan cibiran warganet? Mungkinkah ada strategi komunikasi jangka panjang di balik konten-konten yang kini ia buat?
The Fall of Gibran?
Kenny terus memikirkan perubahan nasib Gibran Rakabuming Raka di media sosial setelah menjabat sebagai Wakil Presiden. Ia mulai menyadari bahwa di balik cibiran warganet, ada sesuatu yang lebih besar sedang dimainkan.
Gibran mungkin memahami bahwa dalam dunia politik, publisitas tetap menjadi kebutuhan, bukan sekadar pilihan. Apalagi setelah ayahnya, Jokowi, tidak lagi menjabat sebagai Presiden, pengaruh keluarga mereka di ruang publik pun perlahan bisa memudar.
Dalam konsep Top of Mind Awareness (TOMA), tokoh yang ingin bertahan dalam persaingan harus terus muncul dalam pikiran masyarakat, baik lewat pemberitaan positif maupun kontroversi. Kenny mulai melihat bahwa meskipun banyak yang mengkritik, Gibran tetap berhasil menjaga namanya dalam percakapan publik.
Diskursus yang beredar di media sosial, televisi, maupun media daring memastikan bahwa Gibran tidak benar-benar “hilang” dari kesadaran kolektif masyarakat. Bahkan, dalam dunia politik, kehadiran—apa pun bentuknya—sering kali lebih penting daripada penilaian baik atau buruk itu sendiri.
Kenny memahami bahwa menjaga TOMA penting bagi Gibran jika ia ingin mempertahankan relevansinya menuju Pemilihan Presiden (Pilpres) 2029 nanti. Meski cibiran terus berdatangan, absennya pemberitaan justru bisa menjadi ancaman lebih besar daripada sentimen negatif.
Sambil menggulir layar ponselnya, Kenny semakin yakin bahwa popularitas di dunia digital memang keras, tetapi juga strategis. Ia pun menyimpulkan, dalam dunia politik modern, bertahan di dalam arus pembicaraan publik adalah bagian dari perjuangan jangka panjang untuk kekuasaan. (A43)