Wacana rujuk antara Prabowo Subianto dan Titiek Soeharto yang seolah menjadi isu lima tahunan dan menyeret persoalan tentang pentingnya ibu negara dalam konteks politik di tanah air. Lalu bagaimana sesungguhnya menyikapi isu rujuk Prabowo-Titiek ini dalam konteks Pilpres 2019?
PinterPolitik.com
[dropcap]C[/dropcap]itra keluarga dalam politik memang sering kali menjadi sesuatu yang mutlak. Jika terdapat kandidat atau bahkan pemimpin yang tak memiliki citra kehangatan keluarga, bisa jadi itu merupakan sebuah masalah besar.
Mungkin itulah yang dirasakan oleh Prabowo Subianto dalam beberapa gelaran Pemilu, tak terkecuali dalam Pilpres 2019 kali ini.
Isu tentang rujuknya sang mantan Danjen Kopassus tersebut dengan mantan istrinya, Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto kini kembali menjadi sorotan.
Ketika romansa bercampur politik Share on XHal ini berawal ketika Barisan Emak-emak Militan (BEM) pendukung Prabowo-Sandiaga menyebut mendambakan sang capres rujuk dengan mantan istrinya tersebut. Menurut mereka, rujuknya pasangan itu akan membawa kesejukan bagi masa depan Indonesia.
Mereka juga meyakini bahwa keberadaan Titiek di samping Prabowo akan menyempurnakan kepemimpinannya. Di samping itu, Prabowo merefleksikan sosok yang tegas, kuat dan berwibawa, sehingga perlu seseorang yang mampu memberikan sentuhan kehalusan, yaitu Titiek.
Para emak-emak ini juga melihat kuatnya kepribadian Mbak Titiek – demikian sapaan akrabnya – untuk kembali mendampingi Prabowo.
Sinyal tentang peluang Titiek untuk menjadi ibu negara tersebut juga tersirat dari loyalnya putri ke-4 mantan Presiden Soeharto tersebut menemani Prabowo dalam berbagai acara kampanye.
Dalam sebuah kesempatan kampanye akbar di daerah di Purworejo, Jawa Tengah beberapa waktu lalu, kode kemungkinan dirinya menjadi Ibu Negara jika Prabowo menang juga semakin bergema.
Titiek memang tidak secara gamblang berbicara tentang posisi sebagai ibu negara jika Prabowo menang. Meski begitu, Ketua Dewan Pertimbangan Partai Berkarya itu sempat menyinggung kemungkinan tersebut. Untuk itu, Titiek meminta pendukung untuk bekerja keras sekaligus melakukan pengawasan jalannya Pemilu.
Dengan berhembusnya isu rujuk Prabowo-Titiek ini, tentu menarik untuk membahas tentang peran ibu negara itu sendiri dalam konteks politik, utamanya di Indonesia. Apalagi, ibu negara memiliki tugas yang tak kalah penting. Pertanyaannya adalah mungkinkah wacana ini juga ikut mempengaruhi perjuangan Prabowo memenangkan kekuasaan?
Menakar Peran Ibu Negara
Posisi ibu negara boleh jadi menjadi dambaan bagi hampir seluruh perempuan di negeri ini. Siapa yang tak ingin hidup dalam kekuasaan yang penuh dengan gelimang harta dan ketenaran.
Namun, terlalu sempit jika memaknai tugas ibu negara hanya sebatas pendamping semata bagi para pemimpin laki-laki.
Apalagi, jika belajar dari negara lain, utamanya Amerika Serikat (AS), peran ibu negara atau biasa dikenal dengan istilah first lady, cukup krusial dan penting.
Sebut saja sosok Eleanor Roosevelt, istri presiden ke-30 negeri Paman Sam itu, Franklin D. Roosevelt, yang disebut-sebut sebagai first lady revolusioner bagi perubahan sudut pandang tentang peran ibu negara.
Pada jaman dulu kala, di tahun entah, apakah @prabowo dan Titiek seromantis ini?
Hujan, payung, dan cinta…bersama @jokowi dan Ibu Iriana.@CebongBajaHitam @BiLLRaY_ #JokowiDILANjutkanLagi #PrabowoJumatanDimana pic.twitter.com/h9REb8kNMO
— 2019BakarMenyan (@alazizy) April 5, 2019
Pada Maret 1933, Eleanor mulai mengubah peran konvensional ibu negara yang awalnya hanya sebagai nyonya rumah, menjadi sosok yang cukup berperan aktif dalam pemerintahan suaminya.
Sedangkan di dekade terakhir, ada sosok Michelle Obama, first lady di era Barack Obama ini merupakan salah satu ibu negara yang tidak hanya menjalankan tugasnya sebagai pendamping, namun juga sosok yang cukup aktif dalam dinamika keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan.
Berdasarkan laporan majalah Forbes, Michelle Obama merupakan sosok yang aktif dalam kegiatan Joining Forces untuk membantu para veteran perang mendapatkan pekerjaan, pendidikan dan sumber daya kesehatan yang sangat dibutuhkan setelah mereka selesai bertugas. Bahkan program ini didukung oleh Staf Keamanan Nasional. Hal ini tentu bukan sebuah pencapaian yang main-main.
Kemudian, ada pula nama Hillary Clinton, first lady di era Presiden Bill Clinton ini bahkan menjadi kandidat calon presiden pada Pilpres AS 2016 lalu dan merupakan sosok politisi perempuan yang cukup mampu diandalkan.
Jika melihat tugas dan fungsi para first lady ini, nampaknya menjadi ibu negara tak semudah yang dibayangkan oleh banyak pihak.
Dalam konteks Indonesia, peran ibu negara cukup bermakna negatif di era Orde Baru, di mana menurut Julia Suryakusuma, terdapat pandangan state-ibuism yang diartikan sebagai paham yang menempatkan perempuan berpatron pada laki-laki.
Dalam konteks Orba, state-ibuism ini merupakan cara Soeharto untuk mengontrol eksistensi perempuan, utamanya ibu-ibu pejabat, agar mau tunduk kepada kekuasaan suami-suaminya. Sehingga, state-ibuism sesungguhnya merujuk pada posisi yang tidak menguntungkan bagi perempuan.
Sayangnya, semangat state-ibuism sepertinya masih menjadi ideologi yang masih dianut oleh para ibu negara di tanah air.
Oleh karenanya, dengan ideologi state-ibuism ini, peran ibu negara masih dibatasi sebagai pembantu dan pendamping laki-laki saja, bahkan hingga hari ini.
Sesungguhnya, sosok Ani Yudhoyono yang menjadi pendamping Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) disebut-sebut sebagai salah satu ibu negara yang mampu keluar dari pakem tersebut, meskipun namanya masih sulit untuk disejajarkan dengan sosok seperti Hillary ataupun Michele Obama.
Lalu bagaimanakah dengan peluang Titiek Soeharto atau bahkan ibu negara saat ini, Iriana Jokowi? Sudahkan mereka mampu memerankan tugas berat ibu negara yang revolusioner layaknya kebanyakan first lady di AS?
Ibu Negara, Kekuatan Citra Politik
Dalam konteks politik Indonesia saat ini, peran ibu negara nampaknya masih belum mampu disandingkan dengan tokoh-tokoh sekelas Michelle Obama dan yang lainnya.
Jika merujuk pada framing berita yang ada, kehadiran perempuan sebagai pendamping pemimpin laki-laki masih hanya sebatas pelengkap. Otoritasnya tak bisa begitu leluasa, bahkan pada kadar tertentu menjadi senjata politik saja di momen-momen elektoral.
Hal ini berkaitan dengan citra family man yang penting dimiliki oleh politisi laki-laki, di mana kehadiran ibu negara sebagai istri akan semakin memperkuat citra politik tersebut. Konteks ini berhubungan dengan penilaian masyarakat terhadap citra dan personalitas kandidat.
Ini juga selaras dengan pendapat Lewis L. Gould dari University of Texas at Austin, yang mencontohkan bahwa Presiden Theodore Roosevelt di AS merupakan orang pertama yang menggunakan keluarga secara sadar untuk meningkatkan daya tarik personalnya. Sehingga, sejak saat itu gambaran sebagai family man menjadi sangat penting bagi seorang politisi.
Their periodic renewal of romantic interest in one another is, amazingly, perfectly in sync with the electoral cycle. The outcome as well it seems. https://t.co/RHAMK16h87
— Ian Wilson (@iwilson69) April 4, 2019
Dalam konteks Prabowo, isu rujuk antara dirinya dan Titiek Soeharto juga pada titik tertentu bisa dinilai lebih mengarah pada simbolisme politik belaka. Ini juga bisa menjadi alat untuk melegitimasi kepemimpinan dan persona sang Ketua Umum Partai Gerindra tersebut.
Meskipun begitu, tidak ada yang salah dalam politik jika menggunakan strategi semacam ini. Sebab, konteks rujuk ini – bisa juga dianggap sebagai semacam pernikahan politik – juga cukup lazim terjadi.
Hal tersebut diungkapkan Suzanne Dixon yang menyebutkan bahwa pernikahan aliansi politik cukup jamak terjadi di era Kekaisaran Romawi, di mana pernikahan didasarkan pada kalkulasi kepentingan politik semata dengan perhitungan untung rugi dan status sosial.
Oleh karenanya, jika memang isu rujuk antara Titiek dan Prabowo ini benar adanya, maka akan cukup memberikan angin segar bagi kubu oposisi untuk memaksimalkan suara, seiring dengan hari pencoblosan yang semakin dekat.
Terlebih, sosok Titiek Suharto boleh jadi adalah perempuan yang memiliki kekuatan secara politik, mengingat statusnya sebagai darah biru klan Cendana. Selain itu, ia juga telah malang melintang dalam kancah perpolitikan tanah air sejak lama.
Oleh karenanya, jika keduanya rujuk, hal ini juga akan menjadi senjata politik pengimbang bagi petahana yang selama ini kerap mengunggulkan citra family man-nya di hadapan awak media.
Bahkan beberapa waktu terakhir, Jokowi cukup intens berkampanye bersama Iriana di banyak titik – hal yang mungkin jarang dijumpai pada Pilpres 2014 lalu.
Jika diperbandingkan vis à vis dengan Iriana Jokowi, boleh jadi secara pengalaman dan pengaruh politik, Titiek masih bisa dikatakan unggul. Hal ini terlihat dari perolehan suaranya pada Pileg 2014 lalu, di mana ia menempati 10 besar caleg dengan suara terbanyak. Tentu hal tersebut bukan perolehan yang main-main.
If Prabowo wins the election, then Titiek Soeharto will be the First Lady. Wait, they're divorced, so how is this possible? I'm confused. Are they planning to re-married AFTER winning the election, or just because she's his ex-wife she gets to have the title?
— ?? (@FNADIAAR) April 2, 2019
Walaupun demikian, sesungguhnya kapitalisasi ibu negara sebagai alat politik ini dalam konteks state-ibuism ini sungguh mencederai eksistensi perempuan itu sendiri, di mana secara politik ia dipaksa untuk menjadi alat berkuasa politisi laki-laki.
Pada akhirnya, dilema ini yang akan terus menempatkan perempuan dalam posisi state-ibuism dan membelenggunya sehingga sulit untuk bisa berdaulat secara politik. (M39)