HomeHeadlineDeddy Corbuzier: the Villain?

Deddy Corbuzier: the Villain?

Kecil Besar

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Staf Khusus (Stafsus) Kementerian Pertahanan (Kemhan) Deddy Corbuzier kembali menuai kontroversi melalui video dirinya yang berbicara soal polemik revisi Undang-Undang (UU) tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pertanyaannya adalah: mengapa Deddy?


PinterPolitik.com

“…mengarah pada kekerasan bukanlah sebuah kritik membangun” – Deddy Corbuzier, Staf Khusus Kementerian Pertahanan (16/3/2025)

Kenny membaca berita soal revisi Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang menuai polemik. Banyak pihak menolak, bahkan sejumlah aktivis nekat memprotes langsung jalannya rapat DPR yang disebut-sebut dilakukan diam-diam di sebuah hotel di Jakarta.

Saat warganet ramai-ramai mengecam rapat tersebut, tiba-tiba Deddy Corbuzier, staf khusus Kementerian Pertahanan (Kemhan), muncul dengan videonya. Alih-alih membahas substansi revisi, Deddy justru menyerang para pemrotes di hotel, menuding aksi mereka mirip gerakan anarkis.

Kenny mengernyit. “Kok jadi begitu?” pikirnya sambil membaca kolom komentar yang penuh dengan makian untuk Deddy.

Gelombang protes terhadap revisi UU TNI seketika bercabang. Sebagian tetap fokus pada isi revisi, sementara sebagian lagi malah sibuk menghujat Deddy yang dinilai selalu membelokkan isu.

Kenny menghela napas. Ini bukan pertama kalinya Deddy membuat video yang mengundang kemarahan publik.

Namun, pertanyaan yang lebih mengganggu Kenny adalah: mengapa warganet masih selalu terpancing? Padahal, dari dulu pola Deddy sudah bisa ditebak—muncul di momen kontroversial, bicara dengan nada provokatif, lalu membiarkan gelombang emosi bekerja untuknya.

“Jadi, ini strategi atau sekadar kebiasaan?” gumam Kenny sambil menutup beritanya. Ia pun menyadari, entah Deddy sadar atau tidak, videonya lagi-lagi berhasil menjadi pusat perhatian.

Strategi Kucing Mati

Kenny masih memikirkan video Deddy Corbuzier yang mengalihkan perhatian publik dari polemik revisi UU TNI. Sejak video itu viral, warganet lebih sibuk menghujat Deddy ketimbang terus menekan DPR soal rapat di hotel yang disebut-sebut penuh kejanggalan.

Baca juga :  Nadir Pariwisata: Kita Butuh IShowSpeed

Ia bertanya-tanya, apakah ini sekadar kebiasaan Deddy, atau ada sesuatu yang lebih besar? Saat mencari tahu lebih lanjut, Kenny menemukan sebuah istilah menarik: dead cat strategy.

Istilah ini diperkenalkan oleh Lynton Crosby, seorang penasihat politik asal Australia. Ia menjelaskan bahwa jika seseorang melempar kucing mati ke meja makan, semua orang akan terkejut dan berhenti membicarakan hal lain—tidak peduli mereka marah atau jijik, fokus mereka tetap akan tertuju pada kucing itu.

Kenny mulai menyadari sesuatu. Dalam banyak kasus, strategi ini digunakan oleh politisi atau kelompok tertentu untuk mengalihkan perhatian publik dari isu yang lebih penting.

Ia melihat polanya dalam kasus Deddy. Saat revisi UU TNI mendapat gelombang penolakan besar, tiba-tiba Deddy muncul dengan videonya yang menyulut emosi publik, seolah-olah melempar “kucing mati” ke meja diskusi nasional.

Warganet pun terpancing. Alih-alih terus membahas isi revisi, mereka justru terpecah menjadi dua kubu—satu menghujat Deddy habis-habisan, dan satu lagi membelanya dengan argumen bahwa protes di hotel memang berlebihan.

Kenny menghela napas panjang. Apakah ini hanya kebetulan, atau ada yang sengaja menggunakan Deddy sebagai alat pengalih perhatian? Dari sekian banyak figur publik, mengapa selalu Deddy?

Deddy Bermain Jadi “the Villain”?

Kenny semakin yakin bahwa Deddy Corbuzier bukan sekadar sosok kontroversial biasa. Ia tampaknya menerapkan taktik playing the villain, sengaja menjadi “penjahat” di mata publik untuk menarik perhatian dan memancing emosi.

Strategi ini sering dikaitkan dengan rage bait, sebuah teknik media yang digunakan untuk memancing kemarahan publik agar meningkatkan keterlibatan (engagement). Menurut Whitney Phillips dalam bukunya This Is Why We Can’t Have Nice Things: Mapping the Relationship Between Online Trolling and Mainstream Culture, rage bait bekerja karena algoritma media sosial lebih memprioritaskan konten yang memicu respons emosional—terutama kemarahan dan perdebatan.

Baca juga :  Prabowo's Revolusi Hijau 2.0?

Kenny melihat pola ini dalam video Deddy soal revisi UU TNI. Alih-alih bersikap netral atau membahas substansi, Deddy memilih menyerang para pemrotes, menuduh mereka sebagai kelompok anarkis—sebuah pernyataan yang jelas akan memicu reaksi keras.

Seperti yang bisa ditebak, warganet pun marah. Twitter dan Instagram dipenuhi perdebatan, bukan lagi soal revisi UU TNI, melainkan soal Deddy dan perannya sebagai staf khusus Kementerian Pertahanan (Kemhan).

Ini bukan pertama kalinya. Sebelumnya, Deddy juga pernah menuai kontroversi dengan mempertanyakan siswa-siswi sekolah yang tidak menyukai makanan yang diberikan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang langsung membuatnya viral dalam semalam. Kenny kini sadar, ini bukan sekadar kebetulan—Deddy tahu bahwa kemarahan publik adalah bahan bakar algoritma media sosial.

Namun, Kenny kini menyadari sesuatu yang lebih besar. Jika rage bait adalah senjata Deddy, maka ia adalah “kucing mati” yang dilempar untuk mengalihkan perhatian publik. Deddy tidak hanya bermain sebagai the villain, tetapi juga menjadi alat strategis dalam permainan politik yang lebih besar. (A43)


Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies and The Democracy’s “Devil’s Advocate”

Anies Baswedan belakangan ini melempar argumen tandingan soal bonus demografi Indonesia, topik yang baru-baru ini dibahas oleh Gibran Rakabuming Raka, Wakil Presiden Indonesia. Mungkinkah Anies berusaha mengambil peran sebagai “pemantik” diskursus dalam demokrasi Indonesia, persis seperti Rocky Gerung di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) dulu?

Never Downplay Prabowo’s Tactics?

Gerakan masif dan terstruktur pemerintahan Presiden Prabowo Subianto di bidang pembangunan dan pangan mulai terlihat. Menariknya, TNI seolah menjadi pivot penggerak dalam gagasan terkait hal itu. Lalu, mengapa hal ini dilakukan Presiden Prabowo?

Prabowo-Jokowi: Too Close Too Much Trouble

Kedekatan Prabowo dan Jokowi rupa-rupanya tak disukai banyak pihak, terutama oleh faksi-faksi politik di lingkaran politik koalisi Prabowo sendiri.

Prabowo’s Men: Penyambung Lidah Presiden

Presiden Prabowo menunjuk Mensesneg Prasetyo Hadi sebagai juru bicara (jubir). Mengapa penyambung lidah presiden ini punya peran penting?

Berebut Kursi Gibran: Menuju 2029?

Perebutan kursi cawapres 2029 semakin panas dengan manuver politik. Mampukah Gibran mempertahankan posisinya di tengah permainan ini?

Return of the Wolf Warrior?

Retorika internasional Tiongkok belakangan mulai menunjukkan perubahan. Kira-kira apa esensi strategis di baliknya? 

Prabowo’s Revolusi Hijau 2.0?

Presiden Prabowo mengatakan bahwa Indonesia akan memimpin revolusi hijau kedua di peluncuran Gerina. Mengapa ini punya makna strategis?

Cak Imin-Zulhas “Gabut Berhadiah”?

Memiliki similaritas sebagai ketua umum partai politik dan menteri koordinator, namun dengan jalan takdir berbeda, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Zulkifli Hasan (Zulhas) agaknya menampilkan motivasi baru dalam dinamika politik Indonesia. Walau kiprah dan jabatan mereka dinilai “gabut”, manuver keduanya dinilai akan sangat memengaruhi pasang-surut pemerintahan saat ini, menuju kontestasi elektoral berikutnya.

More Stories

Prabowo’s Men: Penyambung Lidah Presiden

Presiden Prabowo menunjuk Mensesneg Prasetyo Hadi sebagai juru bicara (jubir). Mengapa penyambung lidah presiden ini punya peran penting?

Berebut Kursi Gibran: Menuju 2029?

Perebutan kursi cawapres 2029 semakin panas dengan manuver politik. Mampukah Gibran mempertahankan posisinya di tengah permainan ini?

Prabowo’s Revolusi Hijau 2.0?

Presiden Prabowo mengatakan bahwa Indonesia akan memimpin revolusi hijau kedua di peluncuran Gerina. Mengapa ini punya makna strategis?