Dengarkan artikel berikut. Audio ini dibuat dengan teknologi AI.
Dunia dikejutkan oleh penundaan tarif ratusan persen antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Menariknya, hal ini diprediksi akan sangat berdampak terhadap Eropa.
Setelah berbulan-bulan spekulasi dan ketegangan yang menyelimuti perekonomian global, Amerika Serikat dan Tiongkok akhirnya mencapai kesepakatan mengejutkan untuk menunda penerapan tarif dagang ratusan persen.
Mulai pertengahan Mei 2025, tarif AS atas produk Tiongkok diturunkan dari 145% menjadi 30%, sementara Tiongkok menurunkan tarifnya atas produk AS dari 125% menjadi 10%. Kesepakatan ini berlaku selama 90 hari sebagai “jendela negosiasi” yang diharapkan dapat memperbaiki hubungan ekonomi kedua negara yang selama ini penuh friksi.
Dampak awal dari kesepakatan ini cukup positif. Pasar saham global langsung merespons dengan optimisme. Pelaku bisnis dan investor menyambut baik keputusan tersebut karena mengurangi ketidakpastian jangka pendek. Namun, ada satu hal menarik yang jarang dibahas, yakni bagaimana dampaknya terhadap Eropa.
Sebelumnya, Uni Eropa termasuk pihak yang disebut-sebut akan turut terkena imbas perang dagang AS—terutama dalam sektor otomotif dan energi terbarukan. Sekarang, dengan kesepakatan AS-Tiongkok yang bersifat eksklusif bilateral, posisi Eropa menjadi semakin dilematis.
Apakah penundaan tarif ini justru membuat Eropa kian tersisih dari orbit ekonomi global? Pertanyaan ini menjadi krusial, terutama karena Eropa tampaknya tak masuk dalam kalkulasi strategis dari kedua negara adidaya tersebut.

Eropa yang Terpojok di Panggung Ekonomi Global
Sebelum kesepakatan ini tercapai, hubungan antara Eropa dan Tiongkok mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Salah satu indikasi utamanya adalah keputusan Beijing untuk mencabut sanksi terhadap sejumlah pejabat Uni Eropa yang sebelumnya dijatuhi pembatasan akibat kritik terhadap perlakuan Tiongkok terhadap minoritas Uyghur.
Langkah ini dipandang sebagai upaya Tiongkok untuk membuka jalan menuju kolaborasi ekonomi yang lebih dalam dengan Eropa, mengingat kedua pihak sama-sama merasa terdesak oleh tekanan tarif dan politik dari Washington.
Dalam beberapa bulan terakhir, data menunjukkan peningkatan ekspor Uni Eropa ke Tiongkok, khususnya di sektor teknologi hijau dan otomotif listrik. Di sisi lain, Eropa juga semakin gencar mempromosikan “otonomi strategis” sebagai pilar baru kebijakan luar negerinya, sebuah pendekatan yang bertujuan mengurangi ketergantungan terhadap AS dalam hal keamanan dan ekonomi. Tiongkok tampaknya melihat peluang dalam hal ini—Eropa yang mencari diversifikasi, dan Tiongkok yang ingin meredam isolasi dari Barat.
Namun, dengan kesepakatan dagang baru antara AS dan Tiongkok, seluruh skenario tersebut seolah berbalik. Washington dan Beijing kini memiliki insentif baru untuk menjaga stabilitas ekonomi bilateral mereka. Sementara itu, Eropa terancam terjepit dalam duel simbiosis antara dua ekonomi terbesar dunia. Teori “triadic diplomacy” dalam ekonomi politik internasional menjelaskan bahwa dalam sistem multipolar, aktor ketiga sering kali menjadi pihak yang paling tidak diuntungkan ketika dua kekuatan besar memilih jalan bilateral.
Kondisi ini membuat Eropa menghadapi tantangan baru. Strategi otonomi strategis yang dicanangkan selama ini, justru membuatnya semakin terisolasi karena tidak mampu menawarkan daya tawar sebesar AS maupun Tiongkok. Tanpa kekuatan militer sepadan, dan dengan struktur politik yang cenderung lambat mengambil keputusan, Uni Eropa terlihat kurang gesit dalam merespons perkembangan geopolitik ekonomi yang serba cepat.
Lebih jauh, sikap proteksionis AS yang semakin berani—termasuk kemungkinan tarif atas mobil listrik asal Eropa—menunjukkan bahwa kesepakatan AS-Tiongkok ini bisa jadi lebih tentang memperkuat posisi tawar kedua negara terhadap dunia luar. Dalam hal ini, Eropa menjadi korban dari diplomasi ekonomi yang mengedepankan kepentingan nasional sempit.

Ketika Tengah Jadi Titik Terlemah
Walau arah dinamika perdagangan internasional bisa berubah sewaktu-waktu, momen kesepakatan AS-Tiongkok ini menunjukkan satu hal penting: bahwa dalam sistem global yang kian dinamis, mereka yang berada di tengah justru bisa menjadi yang paling rentan.
Eropa saat ini dihadapkan pada realitas pahit: terlepas dari kekuatan ekonomi dan nilai-nilai multilateralismenya, ia tetap tidak memiliki posisi tawar yang cukup kuat dalam permainan bilateral yang dimainkan AS dan Tiongkok. Ini mencerminkan sebuah dilema filosofis dalam politik internasional: apakah idealisme kerjasama multilateral masih relevan di dunia yang semakin ditentukan oleh kepentingan nasional dan perjanjian dua arah?
Dalam hal ini, Eropa seolah menjadi pengingat bahwa kekuatan ekonomi saja tidak cukup. Tanpa keberanian strategis, diplomasi yang agresif, dan narasi geopolitik yang tajam, bahkan aktor sebesar Uni Eropa bisa terlihat seperti pion yang menunggu giliran dimainkan.
Tantangannya kini adalah apakah Eropa mampu mengartikulasikan kembali posisinya dalam dunia yang semakin tak ramah terhadap kompromi dan konsensus. Jika tidak, Eropa akan terus menjadi ruang kosong di antara dua kekuatan besar yang berlaga di sekelilingnya. (D74)