HomeNalar PolitikCorona: Strategi Sun Tzu Tiongkok?

Corona: Strategi Sun Tzu Tiongkok?

Pemerintah Indonesia kini tengah disibukkan oleh pandemi virus Corona (Covid-19) yang melanda wilayahnya. Namun, di tengah kesibukan tersebut, kapal-kapal nelayan asing Tiongkok – disertai dengan kapal Coast Guard – dikabarkan masuk ke wilayah Laut Natuna Utara. Apakah Tiongkok tengah menggunakan strategi ala Sun Tzu?


PinterPolitik.com

“Two birds, one stone. My aim is amazing” – Drake, penyanyi rap asal Kanada

Pandemi global yang disebabkan oleh virus Corona (Covid-19) sekarang ini mungkin telah membuat banyak kegiatan berhenti untuk sementara. Tak hanya di Indonesia, negara-negara lain akhirnya harus mengalihkan fokusnya pada penanganan pandemi ini.

Tiongkok yang menjadi pusat penyebaran virus pertama misalnya harus menerapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown) bagi warganya – khususnya Kota Wuhan di Provinsi Hubei. Jalanan kota yang biasanya ramai dengan aktivitas penduduk harus sempat terhenti sejenak akibat serangan satu virus yang tak kasat mata.

Sontak, ketika wabah baru meletus di negeri Tirai Bambu tersebut, banyak pihak akhirnya menilai bahwa pertanda akan menurunnya kekuatan Tiongkok – dan Presiden Xi Jinping – mulai terlihat. Tantangan pandemi ini seakan-akan menjadi ujian terberat bagi negara yang disebut-sebut dapat menjadi “penantang” Amerika Serikat (AS) tersebut.

Namun, ternyata, ketika giliran pandemi merongrong negara-negara lainnya – seperti Indonesia, AS, Italia, dan sebagainya, Tiongkok malah bangkit dengan mencitrakan dirinya sebagai negara yang telah mampu mengatasi tantangan dari Covid-19. Bahkan, negara itu disebut-sebut memiliki penanganan yang lebih baik dibandingkan AS yang kini dipimpin oleh Presiden Donald Trump.

Mungkin, inilah saat yang tepat untuk menunjukkan ke dunia siapa Tiongkok sebenarnya, termasuk kepada Indonesia. Pasalnya, di tengah kesibukan pemerintah Indonesia dalam penanganan pandemi Covid-19, kapal-kapal nelayan berbendera Tiongkok – dibantu dengan kapal penjaga pantai (coast guard) – mulai beraktivitas kembali di wilayah laut yang selama ini dianggap sebagai zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.

Alhasil, banyak nelayan Natuna yang merasa terancam dengan kehadiran kapal-kapal besar (trawlers) asal Tiongkok tersebut. Selain itu, warga setempat juga khawatir dengan keadaan hayati laut yang semakin dirusak oleh kapal-kapal tersebut.

Apa yang dilakukan oleh Tiongkok di Laut Natuna Utara ini tentu terdengar tidak berperasaan. Bagaimana tidak? Kala Indonesia masih kelimpungan karena pandemi, kapal-kapal nelayan asal negeri Tirai Bambu malah terkesan memanfaatkan keadaan.

Bila benar begitu, mengapa Tiongkok malah memanfaatkan keadaan pandemi ini untuk “menantang” kembali klaim ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara? Lalu, apakah ada pesan tersembunyi di balik tindakan tersebut?

Strategi ala Sun Tzu

Mungkin, bagi sebagian orang, apa yang dilakukan Tiongkok di Natuna saat pandemi Covid-19 melilit Indonesia merupakan sikap antarnegara yang tidak sensitif. Meski begitu, negeri Tirai Bambu itu bisa juga memiliki kepentingan tertentu di Laut China Selatan.

Pasalnya, klaim nine-dashed line di Laut China Selatan yang tumpang tindih dengan ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara merupakan salah satu aspek geopolitik yang selalu dipertahankan oleh Tiongkok. Oleh karenanya, bukan tidak mungkin pandemi Covid-19 ini adalah saat yang tepat bagi negara Tirai Bambu ini untuk kembali menegaskan pengaruhnya di wilayah perairan tersebut.

Baca juga :  Gemoy Effect: Prabowo Menang Karena TikTok Wave?

Mungkin, kini Tiongkok tengah menggunakan salah satu prinsip strategi yang dikemukakan oleh Sun Tzu – seorang ahli strategi, jenderal, dan filsuf Tiongkok kuno. Penulis The Art of War ini setidaknya menyebutkan beberapa prinsip strategi yang penting untuk digunakan dalam situasi perang.

Prinsip-prinsip ini akhirnya diadopsi dalam peperangan modern (modern warfare). Pengadopsian inilah yang coba dijelaskan oleh Mark R. McNeilly dalam bukunya yang berjudul Sun Tzu and the Art of Modern Warfare.

McNeilly menjelaskan bahwa Sun Tzu memiliki prinsip “to avoid strength and strike weakness”. Dengan prinsip strategi itu, “serangan” perlu dilakukan pada dan ketika lawan memiliki kelemahan.

Strategi ini pernah digunakan oleh Tentara Merah Uni Soviet ketika mengepung Stalingrad pada Perang Dunia II. McNeilly menyebutkan bahwa Tentara Merah tidak secara langsung menyerang pasukan Jerman Nazi yang kuat, melainkan menyerang titik-titik lemah musuh dengan menyerang pasukan aliansi Jerman yang lebih lemah, seperti Hongaria, Romania, dan Italia.

Dengan prinsip strategi ala Sun Tzu, “serangan” perlu dilakukan pada dan ketika lawan memiliki kelemahan. Click To Tweet

Lantas, bagaimana dengan tindakan Tiongkok di Natuna? Apakah Tiongkok juga memanfaatkan situasi kelemahan Indonesia untuk “menyerbu” Laut Natuna Utara?

Bisa jadi, Tiongkok juga menggunakan strategi serupa di Laut Natuna Utara. McNeilly juga menjelaskan bahwa strategi ala Sun Tzu ini juga menyarankan penyerangan di titik atau wilayah yang tidak dilindungi oleh lawan.

Lengahnya pemerintah Indonesia ini juga sesuai dengan konsep strategic surprise (kejutan strategis). Konsep ini dapat didefinisikan sebagai perkembangan atau peristiwa yang tidak dapat diprediksi dengan dampak yang transformatif.

Hal inilah yang kini tengah dialami oleh pemerintah Indonesia di tengah pandemi Covid-19. Pasalnya, menurut Evan Laksmana – peneliti Strategic and International Studies (CSIS), terdapat sekuritisasi (securitization) terhadap ancaman pandemi di Indonesia.

Boleh jadi, sekuritisasi ini membuat fokus pemerintah dan masyarakat Indonesia beralih penuh pada persoalan Covid-19. Fokus inilah yang mungkin membuat pemerintah lengah soal pelanggaran penangkapan ikan yang dilakukan oleh Tiongkok di ZEE Indonesia.

Meski begitu, pemanfaatan strategi ala Sun Tzu ini bisa jadi upaya melempar batu dengan sasaran dua burung (kill two birds with one stone). Kira-kira, upaya diplomatis seperti apa yang ada di balik tindakan Tiongkok tersebut?

Two Birds, One Stone?

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Tiongkok dapat dipastikan memiliki kepentingan guna mempertahankan klaim nine-dashed line miliknya yang tumpang tindih dengan ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara. Namun, di sisi lain, upaya ini juga dapat dipengaruhi oleh situasi geopolitik antarnegara di Indonesia.

Upaya seperti ini bisa dipahami sebagai doublespeak. William Lutz dari AS dalam tulisannya yang berjudul The World of Doublespeak menjelaskan bahwa konsep Orwellian ini merupakan penggunaan bahasa dalam sebuah pernyataan atau ucapan yang ditujukan untuk menutupi, mendistorsi, atau mengubah makna sebenarnya.

Bisa jadi, makna sebenarnya yang ada di balik tindakan Tiongkok ini merupakan gertakan tertentu untuk Indonesia. Pasalnya, insiden-insiden antara Indonesia dan negara tersebut tidak sekali ini saja terjadi.

Baca juga :  Biden ‘Setengah Hati’ Selamati Prabowo?

Pada Juni 2016 misalnya, terjadi insiden yang disebabkan oleh upaya kapal penjaga pantai Tiongkok yang menabrak bagian kapal Indonesia guna menyelamatkan kapal nelayan asing dari upaya penangkapan. Hal ini sontak membuat publik ramai.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemudian memutuskan untuk melakukan deterrence (pencegahan) dengan berkunjung ke Natuna. Selain itu, upaya deterrence terhadap Tiongkok itu juga didukung dengan rencana pembangunan pangkalan militer di wilayah tersebut.

Uniknya, beberapa bulan sebelum insiden itu terjadi, Tiongkok ternyata sempat “adu mulut” dengan pemerintah Indonesia soal proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Kala itu, pemerintah negara Tirai Bambu itu meminta agar pemerintah Indonesia dapat memberikan jaminan atas proyek tersebut.

Pola yang sama juga terlihat pada paruh akhir tahun 2019. Beberapa waktu setelah Presiden Jokowi menyusun kabinet barunya, sinyal akan adanya upaya menggeser pengaruh Tiongkok di bidang investasi mulai terlihat.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir misalnya menyebutkan bahwa akan memberikan kesempatan pada negara-negara lain, seperti Jepang dan Korea Selatan. Bahkan, beberapa menteri di Kabinet Indonesia Maju disebut-sebut memiliki afiliasi yang dekat dengan Jepang.

Akhirnya, pada akhir Desember 2019, insiden di Natuna kembali terjadi. Publik kembali diramaikan oleh insiden tersebut. Alhasil, Jokowi juga kembali mengadakan kunjungan kerja ke Natuna.

Lantas, bagaimana dengan masuknya kapal Tiongkok ke Natuna akhir-akhir ini? Apakah Tiongkok kembali mencoba mengirim gertakan lagi terhadap Indonesia yang masih disibukkan dengan pandemi Covid-19?

Pola gertakan Tiongkok yang sama bisa jadi juga kembali terjadi di tengah pandemi Covid-19 ini. Pasalnya, beberapa bulan lalu, Indonesia – disebut-sebut karena tekanan AS – membatalkan rencana pembelian kapal patroli dari Tiongkok.

Rencana pembelian itu memiliki nilai sekitar 200 juta dolar AS atau sekitar Rp 2,8 triliun (kurs Rp 14.000). Pembatalan ini dikabarkan terjadi karena kekhawatiran pemerintahan Jokowi akan sanksi dari pemerintahan Trump di AS.

Dari sini, tindakan Tiongkok di Natuna ini bisa saja dipahami sebagai gertakan terhadap Indonesia di tengah kesibukan akan penanganan pandemi Covid-19. Boleh jadi, tindakan itu membuat pemerintah Indonesia semakin merasa “khawatir” terhadap manuver-manuver Tiongkok.

Meski begitu, penjelasan akan pola manuver seperti ini belum pasti benar-benar tengah terjadi. Hal yang sudah jelas terjadi adalah kapal-kapal asal Tiongkok itu tengah memanfaatkan situasi pandemi yang terjadi di Indonesia guna menangkap ikan dari ZEE Indonesia. Menarik untuk dinanti kelanjutannya. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

Jokowi “Akuisisi” Golkar?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut ingin menempatkan orangnya menjadi ketum Golkar. Mungkinkah ini cara Jokowi "akuisisi" Golkar?