HomeNalar PolitikCorona: Lembaga Survei ala Foucauldian

Corona: Lembaga Survei ala Foucauldian

Seri pemikiran Michel Foucault #1

Menyusul rencana dan skenario pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) untuk melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di tengah pandemi virus Corona (Covid-19), beberapa lembaga survei – seperti Lingkaran Survei Indonesia (LSI Denny JA) – mulai menerbitkan hasil survei dan penelitiannya.


PinterPolitik.com

“Pay the knockoff to come model us” – Dreezy, penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)

Siapa yang tidak bosan dengan kehidupan karantina di tengah pandemi virus Corona (Covid-19) ini? Sebagian besar masyarakat mungkin sudah merasa bosan dan frustrasi dengan kehidupan isolatif di tengah kebijakan pemerintah yang disebut sebagai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Mungkin, kali ini, pemerintah berusaha mendengarkan aspirasi rakyat. Pasalnya, di tengah penyebaran Covid-19 yang tampaknya belum sepenuhnya mereda, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) – meski telah menegaskan belum ada kebijakan pelonggaran PSBB – dikabarkan tengah mengkaji dan membahas mengenai berbagai skenario dan rencana agar masyarakat dapat kembali beraktivitas secara produktif.

Presiden Jokowi juga sempat menganjurkan agar masyarakat mulai dapat berdamai dengan Covid-19 ini. Kabarnya, ucapan mantan Wali Kota Solo tersebut mengacu pada ungkapan dari World Health Organization (WHO) terkait tidak mungkinnya virus ini untuk hilang seratus persen dari permukaan bumi.

Rencana pelonggaran dan anjuran dari presiden ini tentu membuat beberapa pihak merasa geram dan mengungkapkan kritik. Salah satunya datang dari mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang mempertanyakan imbauan tersebut.

Belum lagi, tagar #IndonesiaTerserah hingga kini masih mewarnai lini masa media sosial. Tagar tersebut pun disertai dengan kekesalan para tenaga kesehatan yang merasa usahanya semakin sia-sia di tengah pandemi ini.

Uniknya, meski beberapa penolakan dan kritik mencuat terhadap rencana pelonggaran PSBB, muncul beberapa hasil survei dan usulan dari lembaga-lembaga survei untuk mendukung rencana pemerintah itu. Lingkaran Survei Indonesia (LSI Denny JA) misalnya memberikan rekomendasi yang mengatakan bahwa Indonesia telah layak membuka kembali aktivitas ekonomi per Juni 2020 nanti.

Tak hanya LSI Denny JA, Median juga merilis hasil survei yang mengatakan bahwa 49,8 persen masyarakat sepakat dengan rencana pelonggaran PSBB. Menurut survei tersebut, sebagian besar responden ingin kembali bekerja dan berharap ekonomi dapat kembali berjalan seperti semula.

Boleh jadi, hasil survei dan usulan dari lembaga-lembaga ini patut diperhitungkan oleh pemerintah. Bagaimana pun juga, pemerintah juga perlu mempertimbangkan aspirasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan, bukan?

Meski begitu, beberapa pertanyaan pun masih tersisa di benak dan pikiran kita. Mengapa hasil riset dan usulan lembaga-lembaga survei ini perlu dipertimbangkan? Lantas, apa pengaruh yang dimiliki oleh lembaga-lembaga ini?

Untuk Pemerintahan?

Dalam jalannya kebijakan dan pemerintahan, lembaga survei kerap mengisi posisi penting. Biasanya, lembaga survei dinilai mampu menangkap aspirasi dan suara masyarakat umum terhadap jalannya pemerintahan.

Baca juga :  Anies Di-summon PKS!

Matt Henn dari Nottingham Trent University dalam tulisannya yang berjudul Polls and the Political Processmenjelaskan bahwa polling pendapat masyarakat sebenarnya mengambil peran yang signifikan dalam demokrasi. Biasanya, polling yang dilakukan oleh lembaga survei digunakan oleh pemerintah, partai politik, dan media massa.

Hasil-hasil survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga seperti LSI Denny JA dan Median dinilai dapat memberikan kesempatan bagi para aktor politik untuk mengartikulasi pandangan, kebutuhan, dan aspirasi dari warga terhadap urusan-urusan politik.

Dalam pemikiran J.A. Schumpeter – dikutip oleh Henn dalam tulisannya, lembaga dan hasil survei memiliki posisi penting dalam demokrasi perwakilan (representative democracy). Bila selama ini elite politik dianggap memiliki kekuatan politik lebih besar dari masayrakat, lembaga survei dinilai justru membalikkan keseimbangan kekuatan kepada rakyat dengan menyuarakan aspirasi mereka.

Schumpeter menyebut kondisi pembalikan keseimbangan tersebut sebagai popular sovereignty (kedaulatan rakyat). Dalam skenario proses politik ini, aspirasi yang dibawakan oleh hasil survei merupakan upaya yang sekaligus bertujuan agar desentralisasi kekuatan politik elite sehingga dapat menghalau kekuatan dominan mereka dalam masyarakat.

Henn mencontohkan bahwa peran lembaga dan hasil survei seperti ini pernah terjadi di Hongaria pada tahun 1991. Pemerintah negara tersebut akhirnya mengadakan polling terhadap masyarakatnya terkait kebijakan reformasi tanah (land reform).

Lembaga dan hasil survei (pollsters) memiliki posisi penting dalam demokrasi Share on X

Selain Hongaria, terdapat juga negara-negara poskomunis yang disebutkan oleh Henn. Beberapa di antaranya adalah Romania. Pada tahun 1990, Perdana Menteri Petru Roman mengadakan survei melalui perusahaannya yang bernama IRSOP guna mengidentifikasi mana rencana kebijakan reformasi ekonomi dan pasar yang disepakati oleh publik.

Bila lembaga survei di Romania dan Hongaria digunakan untuk mencari preferensi kebijakan yang sesuai, bagaimana dengan di Indonesia di tengah pandemi Covid-19 ini?

Bukan tidak mungkin kemunculan survei-survei ini mampu memberikan masukan kepada pemerintah terkait preferensi kebijakan yang dapat digunakan dalam penanganan pandemi Covid-19 ini. Usulan dan hasil survei yang dijalankan oleh LSI Denny JA dan Median boleh jadi mengisi peran serupa.

Mengacu pada pemikiran Schumpeter, bukan tidak mungkin juga rekomendasi dan hasil survei tersebut memunculkan gagasan-gagasan lain mengenai kondisi pandemi Covid-19 ke permukaan ruang publik Indonesia. Apalagi, tak dapat dipungkiri dampak ekonomi dari pandemi ini juga terasa luas di masyarakat.

Namun, meski dapat mengemukakan gagasan yang berbeda tersebut, bagaimana dampak sebenarnya yang ditimbulkan oleh lembaga dan hasil survei kepada masyarakat? Apa kekuatan politik tersendiri yang dimiliki oleh mereka?

Kekuatan Foucauldian

Kehadiran hasil dan lembaga survei di tengah pandemi Covid-19 ini bukan tidak mungkin disertai dengan kekuatan dan pengaruh politik lainnya. Bagaimana pun juga, pengetahuan turut menghasilkan kekuatan (power).

Apa yang dijelaskan oleh Schumpeter mungkin berfokus pada bagaimana dinamika kekuatan politik dapat memengaruhi preferensi kebijakan dalam sebuah demokrasi.

Namun, seperti yang dijelaskan oleh seorang filsuf berkebangsaan Prancis yang bernama Michel Foucault, kekuatan tidak bersifat statis. Bukan tidak mungkin lembaga survei sendiri memiliki kekuatan politik melalui upayanya dalam menangkap pendapat masyarakat.

Baca juga :  “Parcok” Kemunafikan PDIP, What's Next?

Dampak lembaga survei ala Foucauldian ini dijelaskan oleh James R. Beniger dalam tulisannya yang berjudul The Impact of Polling on Public Opinion. Beniger setidaknya menjelaskan bahwa kekuatan (power) dalam kacamata Foucault lebih terletak pada proses dan praktik dibandingkan sebagai sesuatu yang dimiliki secara statis.

Dalam hal ini, praktik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survei tentu membawa konsekuensi power terhadap masyarakat karena – mengacu pada pemikiran Foucault – power sendiri tidak bergantung pada penggunaan force oleh negara, melainkan pada kontrol melalui aliran informasi secara resiprokal. Foucault menyebutnya sebagai upaya untuk memproduksi pengetahuan (production of knowledge).

Di sinilah lembaga survei dapat menggunakan perannya melalui hasil survei dan penelitian yang dilakukannya. Berdasarkan kajian Limor Peer yang dikutip oleh Beniger, lembaga survei memiliki kontrol tersendiri terhadap masyarakat (societal control).

Hal ini disebabkan oleh adanya kekuatan disipliner (disciplinary power) dari lembaga survei yang tersalurkan melalui rasionalisasi, metodologi ilmiah, pengumpulan data, kuantifikasi, kalkulasi, dan sebagainya. Kekuatan seperti ini akhirnya menjadikan publik sebagai objek dari kekuatan itu sendiri.

Lantas, bagaimana dengan hasil survei dan riset yang dirilis oleh LSI Denny JA dan Median terkait pelonggaran PSBB?

Bukan tidak mungkin hasil-hasil riset tersebut dapat berujung pada kekuatan disipliner terhadap masyarakat Indonesia. Secara tidak sadar, lembaga-lembaga itu memiliki fungsi kontrol tertentu terhadap diskursus masyarakat.

Hal yang menjadi persoalan adalah apabila societal control tersebut berada di tangan aktor politik tertentu. Pasalnya, seperti yang telah ditengarai dalam Pilpres 2019 lalu, tak semua lembaga survei terbebas dari pengaruh politik.

LSI Denny JA misalnya disebut-sebut memiliki bias politik tertentu terhadap pemerintah. Isu ini juga semakin diperkuat dengan adanya rumor bahwa Denny Januar Ali (Denny JA) meminta posisi tertentu di pemerintahan Jokowi.

Bukan tidak mungkin kontrol societal tersebut dimanfaatkan untuk mendorong preferensi kebijakan yang diinginkan oleh para pelaku politik tersebut. Alhasil, masyarakat yang terperangkap dalam kekuatan disipliner ala Foucault tersebut terpengaruhi oleh hasil riset dan survei lembaga-lembaga pollster.

Meski begitu, gambaran kemungkinan ini belum tentu benar terjadi. Yang jelas, lembaga pollsters melalui hasil survei dan risetnya tetap memiliki kekuatan dan pengaruh politik dalam kadar tertentu, entah untuk apa pengaruh tersebut digunakan. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?

Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Partai Gerindra di bawah komando Prabowo Subianto seolah sukses menguasai Pulau Jawa setelah tiga “mahapatih” mereka, yakni Andra Soni, Dedi Mulyadi, serta Ahmad Luthfi hampir dapat dipastikan menaklukkan Pilkada 2024 sebagai gubernur. Hal ini bisa saja menjadi permulaan kekuasaan lebih luas di Jawadwipa. Mengapa demikian?

Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Dengan kekalahan Ridwan Kamil dan Airin Rachmi Diany di Pilkada Serentak 2024. Mungkinkah Golkar akan semakin jatuh di bawah Bahlil Lahadalia?

Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Hasil tidak memuaskan yang diperoleh pasangan Ridwan Kamil-Suswono (RIDO) dalam versi quick count Pemilihan Gubernur Jakarta 2024 (Pilgub Jakarta 2024) menjadi pertanyaan besar. Mengapa calon yang didukung koalisi besar tidak tampil dominan? 

Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Pemerintahan Prabowo Subianto siapkan sejumlah strategi untuk tingkatkan investasi dan SDM. Mungkinkah Prabowo siap untuk “lompat katak”?

More Stories

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?

Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Dengan kekalahan Ridwan Kamil dan Airin Rachmi Diany di Pilkada Serentak 2024. Mungkinkah Golkar akan semakin jatuh di bawah Bahlil Lahadalia?

Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Pemerintahan Prabowo Subianto siapkan sejumlah strategi untuk tingkatkan investasi dan SDM. Mungkinkah Prabowo siap untuk “lompat katak”?