BerandaNalarCegah Kepala Desa Jadi Tirani (Part 2)

Cegah Kepala Desa Jadi Tirani (Part 2)

Tuntutan para Kepala Desa agar 10 persen APBN dialokasikan untuk Dana Desa merupakan suatu ironi di tengah terus naiknya kasus korupsi di desa. Pemerintah harus melakukan pencegahan agar Kepala Desa tidak menjadi tirani baru.


PinterPolitik.com

“The tyrant dies and his rule is over, the martyr dies and his rule begins.” – Søren Kierkegaard

Ipik Permana, Sri Wulandari, dan Acep Komara dalam penelitian berjudul Developing Good Village Governance to Prevent Corruption of Village Fund, menyebutkan terdapat berbagai modus operandi korupsi Dana Desa, seperti penyalahgunaan anggaran, proyek palsu, laporan palsu, penggelembungan anggaran, gratifikasi, hingga desa fiktif seperti yang disebutkan Sri Mulyani.

Menurut temuan mereka, berbagai modus operansi itu bertolak pada masalah mendasar terkait kualitas SDM di desa. Mulai dari Kepala Desa, perangkat desa, anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD), dan masyarakat desa.

Banyaknya Kepala Desa dan perangkat desa yang memiliki tingkat pendidikan rendah mempengaruhi kualitas, kemampuan kreatif dan inovatif, serta kemampuan untuk memahami peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan dan penggunaan Dana Desa.

Hal serupa juga mendera sebagian besar masyarakat pedesaan. Rendahnya tingkat pendidikan membuat mereka tidak mampu dan enggan untuk berpartisipasi dalam pengelolaan Dana Desa. Kemudian terdapat persoalan mentalitas. Banyak masyarakat memandang mengurus desa bukan tugasnya karena fokus bekerja menghidupi keluarga.

Lantas, dengan banyaknya persoalan yang melanda Dana Desa, apakah itu membuat program ini perlu dihapus?

Tentu tidak.

Terlepas dari sekelumit masalahnya, Dana Desa merupakan bagian penting upaya pembangunan ekonomi saat ini. Berdasarkan keterangan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar, program Dana Desa terbukti efektif meningkatkan pembangunan desa dan menurunkan jumlah desa tertinggal.

Berdasarkan data Kemendes PDTT sampai 2022, status desa sangat tertinggal mengalami penurunan drastis dari awalnya 13.453 desa menjadi 4.982 desa. Artinya, 8.471 desa berhasil meninggalkan status sangat tertinggal setelah program Dana Desa dikucurkan.

Mendes PDTT Abdul Halim Iskandar juga melaporkan peningkatan jumlah desa mandiri. Pada 2022 jumlahnya menjadi 6.064 desa mandiri dari sebelumnya hanya 174 desa pada 2015. Desa maju juga bertambah dari hanya 3.608 pada 2015 menjadi 20.249 desa. Pertambahan juga terjadi pada desa berkembang menjadi 33.902 desa atau bertambah 11.020 desa.

Baca juga :  Datangkan Messi, Erick Bagaikan Kresna?

Chanif Nurcholis, Sri Wahyu Krida Sakti, Ace Sriati Rachman dalam penelitian berjudul Village Administration in Indonesia: A Socio-Political Corporation Formed by State, menjelaskan bahwa pemerintah desa merupakan unit pemerintah paling bawah di Indonesia.

Dengan status itu, kita dapat menyebut bahwa Indonesia sebagai negara pada dasarnya adalah akumulasi pemerintah desa. Konteks ini sama dengan penjelasan bahwa negara merupakan akumulasi dari warganya.

image 35

Francis Fukuyama dalam bukunya State-Building: Governance and World Order in the 21st Century memberikan penjabaran yang memperkuat pentingnya membangun ekonomi negara dari desa.

Menurut Fukuyama, terdapat hubungan menarik antara kekuatan negara dengan cakupan negara. Semakin luas cakupan pengelolaan negara, maka akan semakin mengurangi kekuatannya. Kekuatan negara didefinisikan sebagai kemampuannya dalam menegakkan hukum, menjaga ketertiban, dan memastikan lembaga/institusi menjalankan fungsinya.

statenessandefficiency
Matriks hubungan cakupan dan kekuatan negara (Sumber: buku State-Building)

Temuan bahwa kekuatan negara berkurang jika cakupannya luas menjadi legitimasi untuk mengurangi tingkat intervensi negara. Kita banyak menemukan pembahasan ini pada dukungan terhadap pasar bebas. Bahkan terdapat dorongan agar negara menjadi minimal state yang hanya mengatur kebutuhan mendasar seperti pertahanan dan makroekonomi.

image 34
Lingkup fungsi-fungsi negara (Sumber: buku State-Building)

Dengan luasnya cakupan wilayah dan banyaknya masyarakat Indonesia, sulit membayangkan negara melakukan tindakan yang cukup untuk meningkatkan kesejahteraan. Oleh karenanya, lahirnya UU Desa plus Dana Desa merupakan kesadaran atas keterbatasan itu. Membangun ekonomi negara harus dimulai dari desa sebagai unit pemerintahan paling bawah.

Bertolak dari postulat ini, terkait tuntutan Dana Desa menjadi 10 persen APBN sebenarnya dapat dilihat positif. Namun, pertanyaannya tentu satu, bagaimana menciptakan sistem agar Dana Desa diresap maksimal dan tidak menjadi lahan basah korupsi?

Digitalisasi Dana Desa

Jawabannya adalah digitalitasi.

Darusalam, Marijn Janssen, Jamaliah Said, Normah Omar, Sri Delasmi Jayanti dalam penelitian berjudul Public administration digitalization effect on corruption: Lesson learned from Indonesia, bertolak pada keberhasilan aplikasi M-PASPOR, yakni aplikasi pendaftaran paspor online.

Dalam temuan Darusalam dkk, M-PASPOR yang diperkenalkan pada 26 Januari 2022 tidak hanya mempercepat proses pengajuan paspor, melainkan juga mengurangi potensi korupsi karena mencegah komunikasi langsung antara petugas imigrasi dan pemohon paspor. M-PASPOR dinilai efektif mengurangi korupsi karena prosesnya dilakukan secara otomatis dan transparan di setiap tahapannya.

Baca juga :  Siasat Jokowi "Prank" Gubernur Lampung

Poyek Kecamatan Development Program (KDP) dari Bank Dunia sebenarnya membawa ruh tersebut, namun tidak optimal mengurangi korupsi desa karena tidak terdigitalisasi. Berbagai aturan ketat KDP masih mengandalkan kesadaran agen untuk mengikuti kebaikan utama yang dimandatkan prinsipal.

Sebagai solusi, pemerintah mungkin bisa membuat aplikasi seperti M-PASPOR. Nantinya, setiap pengajuan, pengadaan, dan pertanggungjawaban Dana Desa dilakukan secara digital. Setiap penggunaan Dasa Desa akan dilacak alirannya. Apakah dibelanjakan untuk memperbaiki jalan atau untuk membeli kendaraan pribadi Kepala Desa.

Namun, meskipun digitalisasi Dana Desa dapat menjadi solusi, terdapat beberapa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah terlebih dahulu.

Deepika Saxena dan Navneet Joshi dalam penelitian berjudul Digitally Empowered Village: Case of Akodara in Gujarat, India, menyebut keberhasilan digitalitas desa berpangkal pada pembangunan infrastruktur penunjang.

Di Indonesia, infrastruktur utama yang harus dibenahi adalah akses internet di pedesaan. Tentu pertanyaannya, bagaimana mungkin menciptakan sistem digital terintegrasi jika tidak terdapat akses internet memadai.

Berdasarkan laporan Bank Dunia yang berjudul Beyond Unicorn: Memanfaatkan Teknologi Digital untuk Inklusi di Indonesia, hampir setengah (49 persen) dari populasi orang dewasa di Indonesia masih belum memiliki akses ke teknologi digital.

Kesenjangan konektivitas internet antara daerah perkotaan dan pedesaan juga belum menyempit. Di perkotaan, 62 persen orang dewasa telah terhubung ke internet. Sementara di pedesaan angkanya hanya menyentuh 36 persen.

Kemudian, seperti yang ditemukan Permana, Wulandari, dan Komara, persoalan mendasar soal SDM desa juga harus dibenahi. Perlu ada sosialisasi dan pelatihan masif menyeluruh agar Kepala Desa, perangkat desa, dan masyarakat desa mengetahui aturan soal Dana Desa dan pendayagunaannya.

Jika tidak ada pembenahan SDM, infrastruktur, dan sistem, Dana Desa dapat membuat Kepala Desa menjadi tirani baru. Ini sudah mulai terlihat akhir-akhir ini.

Ketika melakukan demonstrasi untuk menuntut penambahan masa jabatan dan kenaikan Dana Desa, para Kepala Desa mengancam untuk “menghabisi” partai politik yang tidak mendukung tuntutan tersebut di desa mereka pada Pemilu 2024 mendatang.

<<< Part 1

spot_imgspot_img

#Trending Article

Pilpres 2024 Hampir Pasti Ganjar vs Prabowo?

Salah satu pendiri CSIS Jusuf Wanandi menyebut Pilpres 2024 akan diisi oleh dua paslon. Dengan PDIP secara terang-terangan menginginkan dua paslon, apakah pernyataan Jusuf...

Datangkan Messi, Erick Bagaikan Kresna?

Pertandingan antara tim nasional (Timnas) Indonesia melawan Timnas Argentina seolah menguntungkan Ketua Umum (Ketum) PSSI Erick Thohir secara politis karena namanya masuk dalam kandidat...

Kok Aldi Taher Pede Nyaleg?

Komedian sekaligus politisi, Aldi Taher, berhasil menarik perhatian publik karena ulahnya yang unik dalam sebuah wawancara beberapa waktu lalu. Menarik kemudian untuk kita pertanyakan, mungkinkah Aldi sebenarnya menyimpan intensi politik yang serius di balik wataknya yang menggelitik?

Sakti, Rahasia Tiga Periode Erdoğan?

Di tengah kritikan dan krisis yang terjadi menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) Turki, Recep Tayyip Erdoğan kembali terpilih untuk ketiga kalinya sebagai Presiden. Erdoğan berhasil mengalahkan Kemal Kılıçdaroğlu yang...

Airlangga Hartarto Sedang Disembunyikan?

Tidak seperti kandidat lainnya, manuver politik Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto justru senyap terdengar. Apakah Airlangga menarik diri dari perlombaan kandidat, atau justru...

Melihat Gibran dari “Sendoknya”

Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka dinilai buat panik PDIP usai bertemu dengan Prabowo Subianto. Apakah ini berkat "sendok" Gibran?

Siapa Untung Di Balik Proporsional Tertutup?

Perdebatan mengenai penggunaan sistem proporsional tertutup kembali meruncing. Hal ini diperkuat dengan dugaan kebocoran pergantian sistem pemilihan umum oleh Mahkamah Konstitusi. Apabila proporsional tertutup...

Gerindra dan PDIP Harus “Bermusuhan”?

Di tengah konsolidasi parpol dan elite jelang 2024, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Desmond J. Mahesa menyebut Megawati Soekarnoputri selama ini banyak membohongi...

More Stories

Cegah Kepala Desa Jadi Tirani (Part 1)

Tuntutan para Kepala Desa agar 10 persen APBN dialokasikan untuk Dana Desa merupakan suatu ironi di tengah terus naiknya kasus korupsi di desa. Pemerintah...

Memahami Hubungan Bahasa dan Hukum

Bahasa digunakan manusia untuk saling berkomunikasi. Tentu, bahasa yang digunakan juga turut saling mempengaruhi terhadap hukum.

Sekilas Sejarah Hukum

Hukum eksis sebagai sistem yang atur tingkah laku dan hak-hak. Bagaimana sejarah hukum bisa mencapai sebuah sistem seperti sekarang ini?